PEMIKIRAN “NEO-MODERNISME”
ABDURRAHMAN WAHID
TENTANG ISLAM DAN DEMOKRASI
Oleh: M.
Syamsudini
A.
PENDAHULUAN
Makalah ini berbicara tentang pemikiran ”neo-modernisme”1 Abdurrahman Wahid. Kajian tentang pemikiran seseorang
menarik untuk diteliti, karena pemikiran seseorang mempunyai kontribusi yang
besar dalam dinamika perubahan sebuah bangsa. Banyak sudah karya ilmiah tentang
pemikiran seseorang atau tokoh yang telah dipublikasikan, baik yang berupa
thesis, penelitian dan karya-karya penelitian lainnya.
Fenomena yang demikian ini, menunjukkan kepada kita betapa pentingnya
arti pemikiran seseorang dalam konteks dinamika perubahan sosial yang sedang
berlangsung. Begitu juga dengan pemikiran neo modernisnya K.H. Abdurrahman
Wahid, terlepas dari sisi positif dan negatifnya, juga mempunyai kontribusi
yang besar dalam perkembangan pemikiran Islam khusunya dan bangsa Indonesia yang Pancasilais pada
umumnya. Lebih menarik lagi, apabila konteks pemikiran Gus Dur tersebut
diletakkan dalam perspektif pergulatan politik pasca Orde Baru.
Sejak runtuhnya Orde Baru dari panggung kekuasaan
pada tanggal 21 Mei 1998, telah terjadi perubahan yang dramatis dalam perubahan
percaturan sosial-politik yang amat menentukan bagi masa depan bangsa
Indonesia. Kejadian yang banyak mengejutkan para peminat dan pemerhati
sosial-politik di Indonesia itu berdampak luas terhadap eksistensi sistem
sosial-politik serta pergulatan kekuatan politik yang terlibat di dalamnya,
sehingga terjadi banyak gejolak dan meningkatnya suhu politik nasional.
Oleh sebab itu, mengamati dinamika pemikiran dan
gerakan Islam di Indonesia sangatlah menarik, karena ada sejumlah paradoks dan
gesekan yang cukup tajam, terutama pasca Orde Baru (era Reformasi). Sehingga
dengan bergulirnya era Reformasi membutuhkan pembacaan ulang terhadap peta
pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia, karena berbagai pemikiran dan gerakan
Islam yang pada mulanya terbungkam oleh kekuatan Orde Baru, kembali muncul dan
berusaha membangkitkan kembali romantisme masa lalu. Dari sinilah muncul
berbagai kekuatan pemikiran dan gerakan Islam baik Islam politik maupun Islam
kultural, sehingga membentuk varian yang sangat beragam,
Peristiwa jatuhnya rezim Orde Baru tahun 1998 itu, kemudian mengubah dasar-dasar
konstelasi sosial politik mutakhir2; Pertama, runtuhnya
hegemoni Orde Baru dengan pilar utama Golkar yang ditopang oleh birokrasi dan
militer. Kedua, munculnya sistem
politik multipartai yang memberi peluang bagi setiap kelompok politik dengan
beraneka ragam latar belakang aspirasi. Ketiga, terjadinya
pergeseran hubungan antara Islam dan
negara.
Masalah pergulatan Islam dan Negara di Indonesia
sendiri sebenarnya tidak berjalan secara linier. Hubungan itu ditandai dengan
friksi, ketegangan dan akomodasi yang telah melahirkan berbagai perspektif
teoritik tentang hubungan Islam, politik
dan negara di Indonesia3. Pencarian teoritik mengenai
hubungan yang pas antara Islam dan negara di Indonesia yang pluralistik
ini telah banyak dihasilkan, namun menurut Bakhtiar Effendi (1998, 23), seluruh
upaya teoritis itu lebih didasarkan kepada
pengalaman sejarah akan kekalahan-kekalahan politik Islam di satu sisi,
dan pengabaian terhadap wilayah-wilayah
normatif pada sisi yang lain. Secara singkat, teoritisi itu lebih
mendasarkan diri kepada realitas empirik, ketimbang realitas normatif.
Munculnya gerakan-gerakan Islam yang bangkit kembali
memperjuangkan aspirasi Islam di era reformasi
yang dulu pada masa Orde Baru ditekan tidak bisa muncul di pentas
politik nasional selama tiga dekade lebih, ternyata tidak melemahkan
gerakannya, bahkan menjadikan momentum ini sebagai awal kebangkitannya di
tengah perubahan perebutan kekuasaan politik. Gerakan Islam yang sedang bangkit
ini ditandai dengan dua tipikal; yakni struktural dan kultural.
Gerakan struktural pada tipikal pertama ini ditandai
dengan maraknya pendirian partai-partai Islam selain PPP yang eksis di masa
Orde Baru, seperti PBB, PK, PKU, PUI, PNU, PSII, PSII 1905, Masyumi, Masyumi
Baru, PP, dan PBR. Sedang gerakan kultural pada tipikal kedua ditandai dengan
menjamurnya sejumlah gerakan Ormas Islam selain KISDI dan PPMI yang sudah lebih
dulu ada masa Orde Baru, seperti; FPI, FKASW yang dikenal dengan Laskar Jihad,
Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, HAMMAS. Bangkitnya gerakan Ormas Islam ini
diwarnai dengan karakternya yang formalistik, fundamentalistik, militan dan
radikal. Dalam perspektif pertama ini, Islam harus terwujud secara formal
kelembagaan sebagaimana tampak dalam bentuknya seperti partai Islam, negara
Islam, sistem ekonomi Islam dan berbagai lebel Islam lainnya.
Sebagai anti tesa dari
gerakan Islam dalam perspektif yang pertama ini, muncullah perspektif yang
kedua, yaitu suatu gerakan yang mempunyai corak pemikiran yang menghendaki
hubungan Islam dengan semua aspek kehidupan secara substansial. Dalam
perspektif kedua ini, Islam lebih dilihat pada tataran moral, etik dan
spiritual (Abdalla, 2002: 6, Abdalla, 2005: 4; Assyaukanie, 2005: 4; dan Utomo,
2005: 10). Dengan pemaknaan seperti ini, maka Islam lebih ditampilkan dengan
wataknya yang inklusif. Dan dalam hubungannya dengan negara, cara pandang
semacam ini mendorong tumbuhnya keterbukaan, keadilan dan toleransi sebagai
landasan moral kehidupan berbangsa yang majmuk (Sachedina, 2005: 10), dari pada
bersikeras memperjuangkan ideologi dan negara Islam secara formal. Perspektif
yang kedua ini lebih dikenal dengan sebutan Islam neo-modernis bahkan
ada yang menyebutnya Islam Progresif, Islam Dinamis, Islam Liberalis, yang
secara diametral berhadapan dengan perspektif
pertama yang anti demokrasi.
Dalam konteks sosiologis, agenda dan persoalan yang
diangkat oleh Islam Neo-Modernis sudah tidak lagi menyinggung masalah-masalah
klasik, namun mulai mengarah ke dimensi-dimensi baru yang bersifat universal
(Barton, 1995: 6, Azra, 1996: xi). Hal ini karena adanya tuntutan yang semakin kompleks
untuk menerjemahkan Islam secara multi-dimensional dan lebih antisipatif
terhadap tantangan masa depan (Kurzman,
1998; Binder, 1988).
Rumusan seperti itu persis dikembangkan oleh para pemikir
Islam Indonesia. Sebagaimana diketahui, problem utama umat Islam Indonesia
sejak paruh pertama abad XX adalah mengembangkan penghayatan keislaman yang
lebih relevan dengan tuntutan kemoderenan dan tidak lepas dari akar kulturalnya
(Arifin, 1996: 99). Oleh karenanya gerakan Neo-modernisme Islam Indonesia
mempunyai asumsi dasar bahwa Islam di samping harus dilibatkan dalam pergulatan-pergulatan modernisme, harus pula
menjadi leading-ism (ajaran-ajaran yang memimpin) di masa depan.
Secara lebih
khusus, ia cenderung meletakkan dasar-dasar keislaman dalam konteks
keindonesiaan dengan mengedepankan isu-isu universal Islam bergandengan dengan
kepentingan kebangsaan. Gerakan ini disinyalir mulai tumbuh sejak tahun 1970-an
sebagai respon atas: (1) lambatnya perubahan sosial keagamaan yang dicapai oleh
organisasi pembaru tradisional dan modern yakni NU dan Muhamadiyah sebagai arus
Islam terbesar di Indonesia. Bahkan keduanya tak kunjung selesai dalam
perdebatan masalah-masalah keagamaan sehingga melalaikannya merumuskan tatapan
ke depan. (2) menguatnya gerakan idealisme Islam yang bercita-cita menjadikan
Islam sebagai dasar negara Republik Indonesia. (3) pembangunan negeri yang
mengutamakan kepentingan bersama dengan tidak membedakan suku dan agama.
Yang dapat disebut sebagai tokoh kunci neo-modernime Islam Indonesia adalah
Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid (Ali, 1986: 176; Barton, 1988). Kedua
intelektual ini dalam pengalaman pribadi sama-sama pernah mengalami
sosialisasi pemikiran tradisionalis dan modernis sekaligus. Sebagai
laboratorium gerakan Neo-modernismenya, Nurcholis mendirikan yayasan wakaf
Paramadina pada tahun 1986. Yayasan ini merupakan lembaga keagamaan yang
menyadari keterpaduan antara visi keislaman dan keindonesiaan sebagai
perwujudan dari nilai-nilai Islam universal dengan tradisi lokal Indonesia.
Sedangkan Gus Dur (1979, 1994, 1998: 22), karena di
samping intelektual juga polikus dan budayawan, memilih mengembangkan prinsip
neo-modernismenya dalam berbagai jalur. Dalam jalur intelektual misalnya, ia
pernah mengembangkan wacana baru tentang paham Ahlussunnah waljamaah, sedang
selaku politikus ia mengedepankan wawasan kebangsaan yang luas dan menolak
paham eksklusifisme Islam. Dalam dimensi budaya ia berusaha merangkul semua kalangan termasuk pemeluk agama
lain untuk diajak bekerja sama
menyelesaikan persoalan-persoalan umat beragama secara umum. Karena
pergulatannya yang luas dengan berbagai problem keagamaan, menempatkannya
menjadi tokoh penting dalam pembaruan Islam.
Sebagai kecenderungan baru, neo-modernisme mempunyai ciri
khusus, yaitu wilayah kajiannya yang melampaui batasan kaum tradisionalis dan
modernis. Pada giliranya ini membawa konsekwensi pada adanya apresiasi yang
kuat dari para tokohnya untuk terlibat dalam pembahasan problema-problema keumatan
yang mutakhir. Jadi mereka selalu aktif dalam mendiskusikan tema-tema
kontemporer. Inilah yang nanti dapat melahirkan konsep-konsep
sosial-kemasyarakatan yang tipikal Islam kontemporer. Sebagai contoh, tema
pluralisme dan demokrasi menjadi isu mendasar yang banyak menjadi pembahasan.
Umumnya pemikiran mereka dalam hal ini cenderung mengungkap kepentingan dan
urgensi pemasyarakatan paham pluralisme secara luas ke seluruh kalangan
masyarakat. Sebagai sebuah kenyataan, masyarakat Indonesia memang telah majemuk,
tetapi kesadaran yang mendalam akan arti pluralisme dan demokrasi itu sendiri
belum memuaskan kalangan neo-modernis. Oleh karena itu mereka merasa perlu
memberikan penafsiran yang lebih rinci baik berdasarkan nash agama, sejarah
maupun konteks sosial. Tokoh neo-modernis Islam berusaha mencari penjelasan
yang relevan dengan penghayatan agama bagi masyarakat kontemporer. Tema inilah
yang selama ini banyak memicu perbincangan hangat. Oleh karenanya cukup
beralasan untuk mengkaji sejauh mana gagasan yang mereka kembangkan.
Di samping itu, kajian ini akan tetap menjadi sesuatu
yang menarik karena salah satu wacana intelektual yang cukup mengesankan di
abad ini adalah maraknya perbincangan mengenai Islam dan Demokrasi. Hal ini tidak
berdiri sendiri, banyak hal yang melatarbelakangi, di antaranya adalah: Pertama,
Crisis of modernity/krisis modernitas (Kepel, 1993: 191). Kedua,
adanya kecenderungan eksklusivisme dan intoleransi di sebagian umat beragama
yang pada gilirannya memicu terjadinya konflik dan permusuhan yang berlabel
agama. Ketiga, ada kesenjangan
yang jauh antara cita-cita ideal agama dan realitas empirik kehidupan umat beragama (Achmad, 2001: ix; Armer dan Katsillis,
1992: 1300). Beberapa latar belakang di atas menjadi sebab mengapa tema Islam
dan Demokrasi menjadi sesuatu yang semakin urgen, menarik untuk dikaji dan
didalami lebih jauh, lebih-lebih bila dilhat dalam perspekti pemikiran
Neo-Modernisme Gus Dur yang sudah menjadi iconnya gerakan progresif generasi
muda Islam di Indonesia.
B. GUS DUR WACANA
NEO-MODERNISME ISLAM INDONESIA
1. Islam Dan
Demokrasi
Bagi
kalangan Neo-modernis Islam, demokrasi dan agama sesungguhnya dapat di
pertemukan. Demokrasi di pandang sebagai aturan politik yang paling layak,
sementara agama di posisikan sebagai wasit moral dalam pengaplikasian
demokrasi.
Menurut
Abdurrahman Wahid, nilai demokrasi ada yang bersifat pokok dan yang bersifat
deviasi atau lanjutan dari yang pokok itu. Ada tiga hal nilai pokok demokrasi:
kebebasan, keadilan, dan musyawarah. Yang dimaksud kebebasan di sini adalah
kebebasan Individu dihadapan kekuasaan negara, atau hak-hak individu warga
negara dan hak kolektif dari masyarakat. Kedua, keadilan, merupakan landasan
demokrasi, dalam arti terbukanya peluang kepada semua orang dan berarti juga
ekonomi atau kemandirian dari orang yang bersangkutan untuk mengatur hidupnya
sesuai dengan apa yang ia ingini. Jadi masalah keadilan penting dalam arti
seseorang mempunyai hak untuk menentukan jalan hidupnya, tetapi orang itu harus
di hormati haknya dan diberi peluang serta kemudahan untuk mencapainya. Maka
keadilan terwujud manakala orang tidak mendapat halangan untuk mengekspresikan
cita-citanya. Nilai demokrasi yang ke tiga syura (Musyawarah), artinya
bentuk atau cara memelihara kebebasan dan memperjuangkan keadilan itu lewat
jalur permusyawaratan ( Wahid, 1993: 90; 2004: 1 dan 9; 2007: 12 ). Karena
nilai-nilai pokok dalam demokrasi sedemikian itulah maka sesungguhnya bagi
Abdurrahman Wahid, paham demokrasi memiliki kesamaan yang kuat dengan misi
Agama. Sebab agama pada dasarnya adalah juga menegakkan keadilan bagi
kesejahteraan rakyat. Karena
itu, ia tegas menolak bila demokrasi di perlawankan dengan agama.
Namun
demikian ia memberi catatan khusus, agama dapat berjalan seiring dengan demokrasi manakala ia telah malakukan
transformasi bagi dirinya, secara Intern maupun ekstern. Tetapi transformasi
ekstern yang tidak tertumpu pada transformasi intern di lingkungan lembaga atau
kelompok keagamaan itu hanya akan merupakan sesuatu yang dangkal dan temporal.
Oleh sebab itu, menurut Abdurahman Wahid, untuk dapat melakukan transformasi
Intern itu agama harus merumuskan kembali pandangan-pandanganya mengenai
martabat manusia, kesejajaran kedudukan semua manusia di muka undang-undang,
dan solidaritas hakiki antar sesama umat manusia ( Wahid, 1994 : 273; 2007:
12).
Sementara
itu elaborasi yang di kembangkan Abdurrahman Wahid tertuju pada pengaplikasia
demokrasi. Ia tidak begitu tertarik membahas soal-soal teoritis demokarasi,
tetapi berkepentingan dalam upaya-upaya manifestasinya. Menurut Abdurrahman
Wahid, suatu Negara disebut demokratis manakala mampu manjamin hak-hak dasar
asasi manusia, yang meliputi: ( 1 ) Jaminan keselamatan fisik; ( 2 ) Jaminan
Keselamatan keyakinan agama; ( 3 ) Jaminan kehidupan keutuhan rumah tangga; ( 4
) Jaminan keselamatan hak milik: dan ( 5 ) Jaminan Keselamatan akal ( Wahid,
1993: 97-97 ).
Diakuinya,
perwujudan nilai-nilai itu jelas tidak mudah. Demokrasi itu sendiri adalah suatu
proses. Karena itulah bagi Abdurrahman Wahid, perlu usaha yang kontinyu dalam
menyosialisasikan demokrasi. Sebab tanpa itu demokrasi mustahil berjalan.
Tentang bagaimana cara menyosialisasikannya ia mengatakan :
Ada beberapa cara, pertama, di
upayakan untuk menerapkan kepada rakyat, kepada masyarakat umum tentang
pentingnya nilai-nilai dasar demokrasi untuk kepentingan mereka. Ini merupakan
pendekatan normatif. Kedua, pendekatan
empirik, pendekatan yang sifatnya membangun kesadaran tentang niala-nilai
demokrasi dari prektek pengalaman ( Wahid, 1993, 100 ).
Pemikiran
Neo-modernisme juga sampai pada fakta riel dan pengalaman Indonesia dalam
proses pelaksanaan demokrasi. kiranya siapapun mengakui, bangsa Indonesia dari
awal kemerdekaan sampai kini, sedang belajar berdemokrasi dan sedang mencari
rumusannya yang tepat. Berikut ini refleksi pemikiran Abdurrahman Wahid tentang perjalanan demokarsi Indonesia tahun
1980 an.
Di negeri kita demokrasi belum lagi
tegak dengan kokoh, masih berupa hiasan luar yang bersifat kosmetis dari pada
sikap yang melandasi pengaturan hidup sesungguhnya. Dalam suasana demikan ini
unsur-unsur masyarakat yang ingin melestarikan kepincangan sosial yang ada
dewasa ini, tentu akan berusaha sekuat tenaga membendung aspirasi demokratis
yang hidup di kalangan mereka yang telah sadar akan perlunya kebebasan di
tegakkan di negeri ini. Karenanya dari sekarang sebenarnya telah di tuntut dari
kita kesediaan bersama memperjuangkan kebebasan dan menyempurnakan demokrasi
yang hidup di negeri kita. Perjungan itu harus di mulai dengan kesediaan
menumbuhkan moralitas dalam kehidupan bangsa, yaitu moralita yang merasa
terlibat dengan penderitaan rakyat bawah
( Wahid, 1978: 22; dan Wawancara, 29 Mei 2007 ).
Pandangan
ini tidaklah bentuk kepesimisan, sebab di sisi lain Abdurrahman Wahid melihat
di Indonesia telah mulai muncul ‘Civil Society’. Menurutnya, civil
society itu pada dasarnya telah terbangun di kalangan kaum muslimin justru
dalam bentuknya yang paling primer, yakni dalam bentuk paguyuban yang kuat,
yang punya rasa memiliki yang kokoh dan mampu menciptakan solidaritas sosialnya
sendiri. Ia menunjuk ormas-ormas Islam seperti Muhammadiyah, NU, SI, dan
lainnya, merupakan bentuk paguyuban yang mempunyai ikatan sosial sangat kokoh.
Tetapi pertanyaannya, apakah semua itu
merupakan representasi civil society? Bagi Abdurrahman Wahid,
mereka ini merupakan civil society selama gerakannya diarahkan pada
perjuangan tempat dan posisi masyarakat dalam konteks kehidupan bernegara.
Artinya selama mereka masih aktif dalam usaha memperkokoh posisi masyarakat,
selama itu pula mereka berhak di sebut sebagai representasi civil society (Wahid,
1998: 22).
Pandangan
tersebut hendak menandaskan bahwa umat Islam sebenarnya mempunyai potensi yang
sangat besar dalam mengembangkan gagasan demokrasi yang khas di Indonesia.
Walaupun gagasan awal demokrasi bersumber dari Barat, akan tetapi konsep-konsep
kunci bahasa polotik di negeri ini sarat dengan muatan demokrasi yang bersal
dari khazanah Islam. Konsep seperti musyawarah-mufakat dan kedaulatan rakyat
menunjukkan bahwa prinsip-prinsip demokrasi telah jauh tertanam. Karena itulah
sangat tepat jika kita mengembangkan sistem demokrasi yang lebih sesuai dengan
keadaan bangsa sendiri dan tingkat perkembangan bangsanya.
2. Islam dan Negara
Relasi
agama dan negara disadari merupakan concern pemikiran Abdurrahman Wahid
yang sangat menonjol. Perhatian ini sangat
beralasan, tidak saja Abdurrahman
Wahid adalah orang yang terlahir dari sebuah komunitas keagaman yang cukup kuat
(pesantren) tetapi juga karena komitmennya untuk merumuskankembali atau minimal mencari format yang tepat bagaimana menghubungkan agama dan negara dalam konteks demokratisasi. Abdurrahman Wahid melihat bahwa
di negeri ini, persoalan antar keduanya telah menjadi problem krusial yang harus
dicarikan jalan keluar. Hampir di
setiap dekade, bangsa ini hanya disibukkan untuk kembali mengungkit persoalan klasik mengenai hubungan agama dan negara, tanpa ada jalan keluarnya.
Abdurrahman Wahid merupakan salah seorang yang berusaha secara gigih memberikan alternatif-alternatif dalam dua
pertentangan tersebut. Secara teoretis, menurut Abdurrahman Wahid (1999: 55-56), pemikiran negara dalam pandangan Islam pada dasarnya dapat dibagi ke dalam dua jenis pemikiran, yaitu pemikiran idealistik dan pemikiran realistik. Pemikiran idealistik berusaha secara sadar merumuskan sebuah kerangka negara yang sepenuhnya berdasarkan wawasan Islam. Dalam pandangan ini, Islam merupakan sebuah konsep kenegaraan yang harus diwujudkan secara penuh (in toto) dalam sebuah bangunan masyarakat yng seratus persen islami. Sedangkan
pemikiran realistik tidak begitu tergoda
oleh bangunan utopis dari sebuah negara ideal menurut wawasan Islam, tetapi lebih tertarik pada pemecahan masalah bagaimana perkembangan historis dapat ditampung dalam Islam
tentang negara.
Kedua model pemikiran
tersebut mengambil pola pendekatan yang
berbeda pula. Model pemikiran yang pertama
lebih memilih pendekatan integralistik,
yang berpandangan bahwa Islam
diturunkan dalam kelengkapan yang
sudah utuh dan bulat. Dengan ungkapan lain, Islam telah dianggap memiliki konsep-konsep lengkap
untuk tiap bidang kehidupan.
Masalahnya justru terletak pada bagaimana
menggali konsep-konsep tersebut dari sumber-sumber otentik agama. Dari
perspektif inilah terdapat kesulitan terbesar dalam mencari kaitan antara Islam
dan negara, karena sifat Islam yang
seolah-olah supra rasional. Sebagaimana
semua agama, Islam menjangkau kemanusiaan
secara menyeluruh, tidak peduli asal usul etnisnya (Abdurrahman Wahid, 1989: 11; 2006: 12; 2007: 10).
Kategori pemikiran Abdurrahman Wahid dalam konteks relasi antara negara dan agama lebih cenderung pada pendekatan yang kedua. Abdurrahman Wahid adalah orang yang tidak setuju tentang pendirian sebuah negara yang didasarkan pada agama sebagai hukum formalnya. Dalam sebuah tulisannya yang cukup kontroversial, Islam: Punyakah Konsep Kenegaraan?, Abdurrahman Wahid (1999: 63), dengan mengutip pendapat `Ali
Abd al-Raziq, mengatakan bahwa agama tidak
memiliki sangkut paut dengan masalah kenegaraan, dengan
alasan, pertama, dalam Al-Qur'an tidak pernah ada doktrin yang jelas tentang konsep negara; kedua, perilaku Nabi Muhammad sendiri tidak
memperlihatkan watak politik, tetapi moral; dan ketiga, Nabi tidak pernah merumuskan
secara definitif mekanisme penggantian
jabatannya.
Kalau memang Nabi
menghendaki berdirinya `negara Islam', mustahil masalah suksesi kepemimpinan dan peralihan kekuasaan tidak dirumuskan secara
formal. Nabi cuma memerintahkan `bermusyawarahlah kalian dalam persoalan'. Masalah sepenting ini bukannya di lembagakan secara
konkret, melainkan dicakupkan dengan sebuah diktum saja, yaitu 'masalah mereka (haruslah) dimusyawarahkan antara mereka'. Mana ada
negara dengan bentuk seperti itu?
Pada bagian lain, Abdurrahman Wahid
(1999: 86) juga memberikan suatu alasan tentang
tidak adanya konsep negara dalam Islam, sehingga
formalisasi negara Islam dengan sendirinya harus ditolak.
Apapun bentuk negara tersebut selama pengaturannya
bertujuan untuk pencapaian tujuan bersama, maka negara tersebut
harus dipegang teguh. Alasan tersebut adalah, pertama, tidak adanya konsep negara dalam Islam.
...Bagi kita (umat Islam) yang penting adalah pengaturannya (al-hukmu). Sebab, konsep dasar Islam tentang
masyarakat adalah al-hukmu bukan al-daulatu (negara). Di dalam Al-Qur'an, kata-kata al-daulatu (edaran, siklus) itu tidak ada. Jadi, istilah kenegaraan dalam
Al-Qur'an tidak memakai al-daulatu. Pengertian kenegaraan dalam arti
istilah geografi menggunakan istilah baldah (baldatun thayyibatun wa Rabbun Ghafur).
Untuk alasan ini, Abdurrahman Wahid (1996: 235) memberikan berbagai contoh dalam lintasan sejarah Islam awal yang cenderung menampakkan tidak adanya proses pergantian kekuasaan
secara jelas.
Kedua, Islam tidak mengenal konsep
pemerintahan secara definitif. Buktinya, dalam satu
sistem pemerintahan yang paling pokok itu adalah persoalan suksesi kekuasaan
(pergantian). Ternyata, dalam sejarah Islam, penanganan persoalan suksesi tidak tetap. Kadang memakai istikhlaf (kasus Abu Bakar ke Umar bin
Khatab). Kadang juga memakai sistem bai'at (umat mem-bai'at Abu Bakar), kadang juga
memakai sistem ahl al-hall wa al-aqd (sistem formatur). Padahal,
perihal suksesi adalah persoalan yang cukup
urgen dalam masalah kenegaraan. Ketiga model tersebut terjadi hanya dalam tempo 13 tahun. Padahal kalau memang Islam mempunyai konsepnya, tentu tidak akan
demikian, apalagi para sahabat adalah
orang yang paling takut dan taat
terhadap Rasulullah (Abdurrahman Wahid, 1999: 87).
Islam memang sengaja tidak mengatur konsep kenegaraan, yang ada hanyalah 'komunitas agama' (kuntum khaira
ummatin ukhrijat linnas). Jadi khaira ummatin bukan khaira daulatin. Sebab, konsep-konsep negara yang definitif seperti
yang ada sekarang ini baru muncul belakangan.
Pola hubungan antara agama dan negara yang hendak dibangun oleh Abdurrahman Wahid menunjukkan sisi yang kuat ke arah sekularisasi politik dengan tidak menegasikan peran agama dalam memberikan inspirasi. Sekularisasi dalam
hal ini lebih diartikan sebagai upaya untuk membedakan, bukan memisahkan problem agama dengan problem
negara. Hal ini penting, bagi Abdurrahman Wahid (1996: 234), karena Islam tidak akan pernah bisa terlepas dari politik, ketika politik dimaknai sebagai proses transformatif, proses deferensiasi, sekaligus proses mengubah masyarakat. Tetapi yang demikian tidaklah kemudian
menunjukkan suatu ajaran untuhk meng-agamakan negara atau membuat legislasi negara agama.
Itulah
sebabnya dalam setiap gagasan makronya, Abdurrahman Wahid
menolak setiap bentuk peng-agamaan negara atau membuat legislasi
agama secara formal dalam negara. Menurut Abdurrahman
Wahid, ajaran-ajaran agama berjalan di kalangan
masyarakat melalui proses persuasi, bukan melalui
perundang-undangan negara yang bersifat koersif. Jika tidak
demikian, maka agama (tertentu) akan menjadi kekuatan pemaksa
melalui kekuasaan negara dan segala aparatusnya. Abdurrahman
Wahid, sebagaimana dijelaskan oleh Rumadi (dalam Khamami Zada, (ed.), 2002: 125), selalu memperingatkan agar masyarakat
tidak mencari legitimasi
masalah-masalah keagamaan kepada negara,
demikian pula sebaliknya. Agama sebagai dimensi private paling independen dari manusia tidak boleh diintervensi dan diformalkan dalam negara yang
berada dalam wilayah publik.
Formalisasi agama dalam negara justru
menjadikan agama tidak independen, karena ia disubordinasi oleh negara,
sehingga yang terjadi adalah politisasi
agama.
3. Islam dan Pancasila
Abdurrahman Wahid sendiri adalah orang yang
berkeyakinan bahwa bangsa Indonesia haruslah tetap berpegang pada Pancasila.
Baginya, Pancasila merupakan syarat bagi demokratisasi dan perkembangan Islam
spiritual yang sehat dalam
konteks nasional. Pancasila adalah
kompromi politik yang memungkinkan semua orang Indonesia hidup bersama-sama dalam sebuah negara kesatuan nasional non-Islam (Abdurrahman Wahid sebagaiman dikutip Douglas E. Ramage, dalam Greg
Fealy dan Greg Barton, ed, 1997: 196).
Pengakuan atas Pancasila sebagai ideologi nasional merupakan bukti adanya penolakan Abdurrahman Wahid terhadap formalisasi agama ke dalam politik, termasuk keinginan untuk menghidupkan kembali Piagam Jakarta. Pancasila adalah ideologi nasional yang esensial untuk mempertahankan kesatuan nasional. Karena Indonesia adalah sebuah negara yang dibentuk berdasarkan konsensus dan kompromi, sedangkan kompromi itu inheren dalam Pancasila.
Di
lain pihak, Abdurrahman Wahid juga menolak anggapan
bahwa Pancasila adalah ideologi sekuler. Baginya tidak ada pertentangan antara Islam dan nasionalisme.
NU berpegang pada konsepsi nasionalisme
yang sesuai dengan Pancasila dan UUD
1945. NU telah menjadi pionir dalam masalah ideologi. Ini tentu hanya satu kasus, karena di seluruh dunia Islam hubungan antara nasionalisme dan Islam masih menjadi persoalan, para penulis Saudi menganggap nasionalisme sebagai bentuk sekularisme. Mereka belum mengerti bahwa nasionalisme seperti yang dipraktikkan di Indonesia tidaklah sekuler,
tetapi sangat menghormati agama
(Abdurrahman Wahid, dalam majalah Aula juli 1992: 26; 2006: 215,2007: 2).
Berdasarkan pemahaman ini, Abdurrahman Wahid sangat mendukung Pancasila sebagai finalitas ideologi negara dalam konteks ke-Indonesiaan. Artinya, ia juga melakukan penolakan atas upaya-upaya untuk menjadikan syariah agama
(Islam) sebagai hukum nasional.
Dengan penuh keyakinan, ia pun berpendapat bahwa hukum nasional harus melakukan pilihan antara sebagai hukum agama atau hukum sekuler, tidak boleh ada kemungkinan jalan tengah (Abdurrahman Wahid, 2000: 36). Atas dasar konsensus nasional, pilihan itu harus ditetapkan, bukan sekadar pilihan satu kelompok tertentu. Inilah yang ingin Abdurrahman Wahid tunjukkan bahwa dalam melihat negara itu harus didasarkan pada realitas obyektif, bukan sekadar idealisasi konseptual.
Negara yang plural dari segala aspeknya memerlukan common denominator yang tidak berasal dari satu aspek. Dominasi satu
kelompok atas kelompok lainnya dalam pluralitas tersebut berakibat pada
pereduksian konsep negara bangsa yang di dalamnya berisi
berbagai agama, suku, dan bahasa. Karenanya,
penerimaan Pancasila dalam keadaan seperti itu adalah konsekuensi
logis yang tidak bisa ditolak. Bagi Abdurrahman Wahid, penerimaan itu bukanlah untuk menggantikan posisi agama dalam kehidupan
bermasyarakat, melainkan hanya untuk mengatur pola
relasi antar berbagai elemen yang ada.
.....kalau berurusan dengan tetangga
yang Muslim dalam soal agama, saya menggunakan keislaman saya, kalau berurusan dengan sesama Muslim dalam urusan
negara atau dengan orang beragama lain dalam soal agama digunakanlah Pancasila (Abdurrahman Wahid, 1999: 93).
Pola hubungan antara agama dan Pancasila dengan
demikian tidak digambarkan sebagai pola yang bersifat polaritatif, melainkan dialogis yang sehat, yang berjalan terus menerus secara dinamis. Jadi, salahlah kalau Islam dan
Pancasila dipertentangkan, karena peranannya justru saling mengisi,
mendukung dan menutup. Keabadian Islam
mendapatkan jalur konkretisasinya melalui Pancasila, sedangkan kehadiran Pancasila itu sendiri bersumber juga pada ajaran agama (Abdurrahman Wahid, 1999: 94)
Agama dan Pancasila tidak boleh diidentikkan secara menyeluruh. karena fungsi masing-masing saling berbeda.
Pancasila berfungsi sebagai landasan hidup berbangsa dan
bernegara. Dalam keadaan demikian, Pancasila haruslah mewadahi aspirasi agama dan menopang kedudukannya secara fungsional. Agama merupakan landasan keimanan warga masyarakat dan menjadi unsur motivatif, yang memberikan warna spiritual kepada kegiatan mereka. Agama menempatkan seluruh kegiatan masyarakat pada tingkat yang tidak sekadar bersifat incidental belaka (Abdurrahman Wahid, 1999: 99).
4. Islam dan Pluralisme Agama
Kalangan
neo-modernis mempunyai konsep yang cukup dalam untuk membangun visi masyarakat
tentang paham kemajemukan agama. Mereka hendak mengukuhkan konsep pluralisme
agama itu dari tinjauan doktrin agama, perspektif sosio-historis, dan dari
sudut kepentingan intergasi nasional.
Hubungan
Islam dengan pluralisme memiliki dasar argumentasi yang kuat. Sementara
Abdurrahman Wahid melihat hubungan Islam dengan pluralisme dalam konteks
manifestasi universalisme dan kosmopolitanisme ajaran Islam. Menurut Islam
secara tegas menjamin lima hak dasar kemanusian :
(1).
Keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan di luar hukum.
(2).
Keselamatan keyakinan agama tanpa paksaan,
(3).
Keselamatan keluarga dan keturunan,
(4).
Keselamatan harta benda dan hak milik pribadi, dan
(5).
Keselamatan profesi. (
Wahid, 1995: 546; 2007:2).
Berangkat
dari kerangka normatif singkat tersebut, Abdurrahman Wahid lebih banyak
menyorot pluralisme agama dari tujuan sosiologis. Berdasarkan pengalaman di
Indonesia, ia melihat toleransi dan kerukunan hidup beragama berjalan cukup
baik. Islam yang masuk ke Nusantara bercorak sangat akomodatif terhadap budaya
lokal, sehingga mengakibatkan akulturasi budaya yang kompleks. Ini tidak hanya
dialami oleh Islam tradisional yang menyerap budaya mistik masyarakat
Hindhu-Budha, tetapi juga Islam modern terhadap simbol Kristen. Contohnya,
tradisi penyebutan dari Ahad telah bergeser ke hari Minggu,
sesuatu yang diterimah secara masif. Fakta seperti ini menggambarkan adanya mozaik
yang indah dalam kerukunan hidup, seperti dikatakannya :
Mereka juga menyebut hari Arab Ahad
dengan sebutan hari Minggu, yang berasal dari Domingo, yang berarti
Tuhan bagi orang-orang Katolik Portugal, dan kemudian diikuti orang-orang Eropa
lain untuk pergi ke gereja. Penyerapan ‘nama Kristen’ bagi hari Arab Ahad itu
akhirnya sekarang menyembulkan faset baru berupa kegiatan keagamaan kaum
muslimin, seperti majlis ta’lim dan pengajian umum pada hari tutup kantor dan
hari tutup sekolah itu. Perubahan ‘hari Kristen’ menjadi ‘hari Islam’ tanpa
mengubah penyebutan nama harinya itu menunjukkan keindahan mozaik kerukunan
hidup antara umat beragama, yang menyejukkan hati dan menentramkan jiwa (Wahid,
1992: 6).
Dari
kutipan di atas, jelas bagi Abdurrahman Wahid, tradisi kerukunan hidup beragama
di negeri ini cukup mantap ditandai dengan adanya interaksi-sosial yang
harmonis antar berbagai pemeluk agama.6 Tetapi lebih lanjut ia menilai,
mekipun watak normatif Islam jelas-jelas kosmopolitanis didukung sejumlah
pengalaman sejarah, tetapi hal itu tidaklah berjalan mulus begitu saja. Bahkan
belakangan ini ia merasa, di kalangan kaum muslimin Indonesia ada suatu
kejanggalan, yakni apa yang disebutkanya sebagi proses ‘pendangkalan agama’.
Pendangkalan
itu muncul akibat pengaruh politik Islam di Timur Tengah, di mana Islam sudah
di jadikan sebagai ideologi atau komoditas polotik, baik oleh yang menindas
maupun yang ditindas. Faktor lain yang menyebabkan terjadinya pendangkalan,
menurut Abdurrahman Wahid adalah proses pendidikan dan dakwah Islam yang
cenderung bersifat memusuhi, mencurigai, dan tidak mau mengerti agama lain. Itu
tidak hanya dilakukan mubaligh-mubaligh di mimbar, tetapi juga guru-guru di
sekolah. Sebabnya ialah: Pertama, mereka sedang mengalami masa transisi
dari kehidupan tradisional ke kehidupan modern, yang kemudian berdampak pada
hilangnya akar-akar psikologis dan kultural. Kedua, Islam telah
dijadikan ajang kepentingan dan bendera politik yang di pakai untuk menghadapi
orang lain (Wahid, 1998: 51-52.)
Pada
tahap berikutnya, kaum muslimin tidak mampu membaca di mana kepentingan Islam
dan di mana pula posisi kaum non-muslim, bahkan secara pukul rata sering
dianggap sebagai musuh atau lawan. Yang lebih tidak disukai Abdurrahman Wahid,
manakala pandangan demikian itu dijustifikasi dengan sejumlah ayat, padahal
belum tentu konteks ayat itu relevan dengan apa yang dimaksudkan. Misalnya,
ayat: “seharusnya pengikut Nabi Muhammad itu keras terhadap orang Kafir dan
santun kepada sesamanya.” (QS. 48: 29.)
Oleh sebagian umat Islam, ayat itu dimaknai sebagai keharusan bersikap keras
terhadap non-muslim. Padahal, yang dituju ayat itu adalah Kuffar
(orang-orang kafir) yang tidak beragama, bukan Yahudi, Kristen, atau kaum
beragama lainnya. Banyak ayat Al-Qur’an yang menurutnya sering dipahami salah
seperti itu. Lebih lanjut ia kemukakan :
Ada lagi satu ayat
Al-Qur’an yang sering dikutip untuk membenarkan sikap dan tindakan
anti-toleransi. Yaitu, ayat yang berbunyi: “Wahai Muhammad, sesungguhnya
orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela kepadamu sampai kamu ikuti agama
mereka” (QS. 2 : 120). Kata ‘tidak rela’ di sini dianggap melawan atau
memusuhi, penginjilan atau pengabaran Injil, dan sebagainya. Dua hal yang
berbeda sama sekali diletakkan dalam satu hubungan yang tidak jelas. Padahal
kalau masalahnya didudukkan secara proporsional, kita tidak akan keliru
memahami arti ‘tidak rela’ di situ. Tidak rela
itu artinya tidak bisa menerima konsep-konsep dasar. Bahwa Kristen dan Yahudi
tidak bisa menerima konsep dasar Islam itu sudah tentu. Sebab kalau mereka bisa
menerima, itu artinya bukan Kristen dan Yahudi lagi. Maksudnya, jawaban
kebalikan terhadap ayat tadi juga bisa kita buat sama: Walan Nardlo, artinya
kita tidak rela terhadap Yahudi dan Nasrani, misalnya konsep ketuhanannya sebab
memang sudah beda. Tapi itu tidak berarti ada permusuhan (Wahid, 1998, 53-54).
Pemikiran
Abdurrahman Wahid di atas pada intinya berusaha menghilangkan sikap kebencian
kepada agama lain, sebab kebencian hanya membawa pada permusuhan. Padahal misi
agama adalah perdamaian, sesuatu yang bertolak belakang dengan permusuhan.
Sikap benci dan memusuhi adalah lawan paham pluralisme. Pluralisme meniscayakan
adanya keterbukaan, sikap toleran, dan saling menghargai kepada manusia secara
keseluruhan.
Seorang
pluralis tidak pernah merendahkan nilai-nilai kemanusian kepada siapapun juga.
Dalam hubungan ini Abdurrahman Wahid memberikan refleksinya atas tokoh Kristen
Y.B. Mangunwijaya, yang ia anggap sebagai figur seorang pluralis yang konsisten
dengan perjuangan kemanusiaannya dan yang lebih mengedepankan nilai moralitas
seperti ditulisnya:
Ini
artinya ketika moralitas absolut diwujudkan melalui praksis maka yang muncul
adalah kebersamaan. Saya melihat dari sudut ini bahwa apa yang di lakukan Romo
Mangun, membangun kebersamaan antar kita semua, sebagai suatu sumbangan yang
sangat penting dan di sinilah letak inti teologinya. Kalau bisa menyimpulkan
bahwa Romo Mangun adalah orang yang membawa kebersamaan melalui keyakinan
keimanan yang dipegangnya, dan sudah tidak penting lagi melalui wahana agama
yang mana akan di lakukan. Ini merupakan suatu keagungan teologis yang dapat
dicapai oleh anak manusia. Seorang anak manusia yang kongkret (Wahid,
1995: 338).
Karena
pluralisme selalu pararel dengan dimensi kemanusiaan, maka tidak dapat
ditolerir adanya kekerasan dalam kehidupan, lebih-lebih jika membawa bendera
agama. Yang juga menjadi perhatian Abdurrahman Wahid dalam kaitan ini adalah
adanya kasus-kasus kerusuhan yang sejak beberapa waktu lalu terus menerus
terjadi, yang membawa dampak serius bagi konflik antar agama. Misalnya kasus
Pekalongan (1995) yang mengakibatkan rusaknya puluhan Gereja dan kelenteng,
kasus Surabaya (1996) yang merusak sembilan (9) gereja, dan kasus Situbondo
yang bahkan merusak 25 (dua puluh lima) gereja. Persoalannya, adakah itu murni
soal sentimen agama atau karena faktor-faktor lainnya yang menumpang simbol
agama? Hal itu masih perlu pembuktian lebih jelas, meskipun hipotesis sementara
menyebutkan bahwa sebenarnya kasus-kasus tersebut adalah berdimensi politis.
Tetapi karena sudah terjadi, maka yang menjadi terganggu adalah soal kerukunan
dan toleransi itu sendiri.
Bagi
Abdurrahman Wahid, motif kerusuhan tersebut umumnya politik belaka dengan
memanfaatkan sejumlah orang yang mudah dihasut, yaitu orang-orang yang
pemahaman agamanya masih dangkal. Pada akhirnya, dari apa yang telah terjadi,
menunjukkan makin perlunya peningkatan dialog agama-agama. Maka dalam kasus
situbondo, ia memberi komentarnya demikian :
Peristiwa Situbondo merupakan titik
yang baik untuk dapat menyadarkan betapa pentingnya dialog yang intens antar
umat beragama. Saya telah melakukan otokrotik kepada umat Islam dan kalangan
pemimpin Islam. Mereka, baik dalam kelompok organisasi, lembaga, yayasan,
maupun perorangan, masih banyak yang menganggap tidak penting mengenal agama
lain, bahkan menghina keyakinan agama lain. Padahal menghina Tuhan yang
dianggap milik orang lain sesungguhnya juga menghina Tuhan milik kita sendiri.
Karena pada dasarnya Tuhan itu hanya satu. Yang berbeda hanya
konseptualisasinya (Wahid, 1998, 58).
Dari
keseluruhan uraian di muka dapat digarisbawahi bahwa bagi kalangan
neo-modernis, Islam di Indonesia memiliki potensi besar dalam mempelopori
pluralisme dan toleransi beragama. Hanya saja, harus ada suatu usaha yang
kontinu dalam membina kerukunan seraya mencari penyelesaian secara damai
manakala timbul konflik. Karena itulah progam yang dikembangkan kalangan
neo-modernis tidak lain kecuali membangun kerja sama dan dialog antar umat
beragama. Disadari oleh mereka, sifat truth–claim memang selalu melekat
dalam diri pemeluk agama, tetapi justru karena adanya perbedaan pengalaman dan
penghayatan keagamaan itu dimungkinkan adanya titik temu.
Pada intinya pencarian gagasan titik
temu ini mengarah dua segi: Pertama:
Dialog teologis-spiritual. Dialog model ini baru memperoleh arti yang
sesungguhnya apabila disertai dengan keberanian para pemeluknya mempertanyakan,
menggugat, dan mengoreksi diri sendiri sudah memahami jantung pengalaman
keagamaan orang lain. Jika ini dapat di lakukan maka akan lahir pandangan
keagamaan yang inklusif, terbuka, dan tidak mudah menyalakan keyakianan
keagamaan orang lain. Model ini sering diistilahkan dengan dialog intra religius (intrareligius dialogue).
Kedua: Dialog sosial-kemanusian, artinya
antar pemeluk agama membicarakan masalah agama dan hubungannya dengan problem
kemanusiaan yang terjadi, yang kemudian berusaha secara bersama-sama mencari
alternatif pemecahannya. Dalam dialog ini agama-agama dimintai responnya
terhadap problem sosial kontemporer, yang tidak lain hal ini menuntut peran
kritis agama. Dalam hubungan ini tidak jarang terjadi kesamaan persepsi dan
visi masing-masing agama. Kedua model dialog tersebut selalu di kembangkan oleh
kalangan neo-modernis dalam rangka mengukuhkan konsep pluralisme agama di
Indonesia.
C.
PENUTUP
Terdapat
empat tema pokok yang menjadi wacana pemikiran neo-modernisme Abdurrahman Wahid
(Gus Dur) tentang Islam di Indonesia,
yaitu:
1.
Islam dan Demokrasi. Demokrasi merupakan pilihan politik satu-satunya
bagi masyarakat Indonesia. Prinsip pemikiran neo-modernisme Gus Dur menyatakan,
nilai-nilai dalam demokrasi sepenuhnya obyektif dan tidak ada satu pun yang
berlawanan dengan norma agama. Dalam aplikasinya harus ada saling mengisi, terutama
sekali bahwa agama dapat memberikan kekuatan etik, moral, dan spiritual bagi
berkembangnya demokratisasi.
2.
Relasi Islam dan Negara, menurut Gus Dur untuk mencarikan solusi atas ketegangan antara dua kutub yang berbeda
tersebut, yaitu menjadikan Islam sebagai etika sosial dalam kehidupan bernegara
dan pribumisasi Islam. Secara tidak langsung maka ia menolak formalisasi negara
Islam.
3.
Islam dan Pancasila di Indonesia, sebagai iderologi dan falsafah negara
adalah sesuatu yang final, karena tidak ada satu pun nilai-nilai Pancasila itu
bertentangan secara diametral dengan prinsip-prinsip dasar Islam.
4.
Islam dan Pluralisme. Kalangan neo-modernis intens mengeluti ini karena
secara riil-obyektif, masyarakat Indonesia sangat majemuk, tidak saja dari segi
etnis tetapi juga dari segi agama. Pada faktanya, kondisi masyarakat plural
sangatlah rawan konflik, karenanya jika isu sara terusik maka akibat sosial
yang ditimbulkannya besar sekali. Neo-modernis hendak membangun visi agar
pluralisme benar-benar dapat diterima oleh seluruh masyarakat Indonesia.
Indikator penerimaan paham pluralisme tercermin dari sikap keterbukaan dan
toleransi.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Fachry, dan
Bahtiar Effendy. 1986. Meramba Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran
Islam Indonesia Masa Orde Baru. Mizan: Bandung.
Amal, Taufik
Adnan. 1989. Islam dan Tantangan Modernitas. Mizan: Bandung.
Arifin, Syamsul.
1996. Spiritualisasi Islam dan Peradaban Masa Depan. Si-Press: Yogyakarta.
Arkoun,
Muhammad. 1987. Rethinking Islam Today. Occasional Papers Sereies. Center of Contemporary
Arab Studies: Georgetown University.
________.
1989. The Concept of Authority in Islamic Thought. dalam The Islamic World Classical to Modern Times:
Essays in Honor of Bernard Lewis. Princeton: Darwin Press.
Armer, J. Michael and John Katsillis.
“Modernization Theory”. dalam Edgar F. Borgotta Ed. Encyclopedia of
Sociology. Vol. I. Macmillan. Publishing Company: New York. 1992.
Ashcroft, Bill, at., al. 1998. Key Consepts in Post Colonial Studies. Routladge: New York.
A.
Luthfi Asyaukanie. Tipologi dan Wacana Pamikiran Arab Kontemporer. Jurnal Pemikiran Islam Paramadina Vol. I. No. 1. Juli-Desember 1998. hal.58.
Barton, Greg. 1995. “Neo-Modernism: A
Vital Synthesis of Traditionalist and Modernist Islamic Thought in Indonesia”.
in Studi Islamika. Vol. 2 No. 3 Tahun 1995.
________. 1995. The Emergence of New Modernism: Progressive,
Liberal, Movement of Islamic Thought in Indonesia. Disertasi Doctor: Monash
University.
________. 1996, NU Traditional Islam
and Modernity In Indonesia. Monash
Asia Institute: Monash.
________. 1999. Gagasan Islam
neo-modernisme di Indonesia. Paramadina:
Jakarta.
________. 2004. Biografi Gus Dur: The
Authorized Biography of Abdurrahman Wahid. LKiS: Yogyakarta.
Bellah, Robert N. 1964. Religious Evolution, American Sociological
Review 29: 358-374.
Berger, Peter L. 1967. The Sacred
Canopy:Elements of a Sociological Theory of Religion. Doubleday: Garden
City New York.
________. 1991. Langit Suci: Agama
Sebagai Realitas Sosial. LP3ES: Jakarta.
________. 1992. Kabar
Angin Dari Langit: Makna Teologi dalam Masyarakat Modern. LP3ES: Jakarta.
Berger, Peter L. and Thomas Luckmann.
1966. The Social Construction of Reality: A Treatise in The Sociology of
Knowledge. Doubleday: Garden City New York.
Binder, Leonard. 1988. Islamic
Liberalism. University of Chicago Press: Chicago.
Coward, Harold. 1996. Religious Pluralism.., Simon
& Schuster Inc.: New York
Daya, Burhanuddin. 1993. Hubungan Antar Agama di
Indonesia. Journal Ilmu dan Kebudayaan. Ulumul Qur’an. Nomor 4 Vol. IV. Tahun
1993,
Derrida, J. 1978. Writing and
Difference. terj. Inggris Alan Bass. Routledge & Kegal Paul: London.
Durkheim, Emile. 1992. The Elementary Form of the Religious Life. New York: Free Press.
Fealy, Greg. 1998. History of
Nahdlotul Ulama :1952-1967, Clyton: Centre of Southeast Asian Studies:
Monash University,
Foucault, Michel. 1972. The
Archeology of Knowledge. terj. Inggris oleh AM. Sheridan. London: Tavistock
Publication.
________.
1980. Power Knowledge: Selected Interviews and Other Writing 1972-1977. Colin Gordon (ed.) dan terj. Inggris Colin
Gordon, et. Al., Panteon Books: New York.
________. 1977. Dicipline And
Punish: The Birth of the Prison, terj. Alan Sheridan, Allen Lane. Penguin
Books: Harmondsworth. London
________.
1998. The History of Sexuality. Vol I: The Will to Knowledge, Peguin
Book: London
Gibb, H.A.R. 1990. Modern Trends in Islam. The
University of Chicago Press: USA.
Hafner,Robert
W. 2001, “Public Islam and The Problem of Democratization”, Journal
Sociology of Religion Vol. 62 No. 4 Winter 2001.
Hick, John. 1987. “Religious Pluralism”
dalam The World’s Religious
Traditions: Current Perspectives in Religious Studies, ed. Frank Whaling.
Crossroad: New York.
________. 1999. “Conflicting Truth
Claim”. dalam Gery E. Kesler. Philosophy of Religion: Toward a Global
Perspective, Wodsworth Publishing Company: California.
1Kata “
Neo modernis” sengaja ditulis dalam tanda
petik, karena istilah ini masih menjadi perdebatan tersendiri di
kalangan internal kelompok yang disebut Islam
Neo modernis. Ada yang senang
menggunakan Istilah Islam Liberalis, Islam Progresif, dan post Tradisionalisme
Islam. Terlepas apapun sebutannya titik tolak dari pemikiran Islam Neo modernis
di Indonesia adalah bahwa kaum muslimin tidak cukup menawarkan Islam dalam
kehidupan moderen hanya dengan menyodorkan Qur'an dan sunnah tanpa dibekali
kerangka pemahaman kontekstual yang memadai. Seluruh teks-teks keagamaan perlu
dilihat dari dua sudut ; "sudut legal-spesifik" dan "ide
moral-universal". Dengan membagi dua aspek ini secara adil maka
pengaplikasian nilai-nilai Islam akan lebih mengena sesuai tuntutan sosial
masyarakat modern yang senantiasa berubah. Menurut Charles Kurzman (1998) Model Islam ini bertitik
tolak pada suatu rasionalitas untuk terus menerus menjaga kesinambungan syariah
Islam dengan tuntutan sejarah, dan
pengembangan suatu metode sistematis yang mampu melakukan rekonstruksi Islam secara total dan tuntas
serta tetap setia pada akar-akar spiritualnya dan dapat menjawab kebutuhan
Islam moderen, tanpa mengalah secara membabi buta kepada barat atau
menafikannya. Di samping itu, Islam Neo modernis juga harus bersikap kritis terhadap warisan-warisan
sejarah keagamaannya.
2
Sebagai perbandingan tentang kekuatan hubungan Islam dan negara pada masa Orde
baru bisa dilihat dalam buku Kekuatan Islam dan Pergulatan Kekuasaan di
Indonesia Sebelum dan sesudah Runtuhnya
Rezim Soeharto (Aminuddin, 1999).
3
Syafi’i Anwar membuat tipologi pemikiran politik Islam di Indonesia sebagai
berikut;Formalistik, substantivistik, transformatik, Totalistik, Idealistik,
Realistik (Anwar, 1995, 143-182).Sedang Bakhtiar Effendi membuat lima model
teoritik; Dekonfensionalisasi Islam, domestikasi Islam, skismatik dan aliran,
trikotomi dan Islam kultural (Effendi, 1998, 23).
6Gus
Duir membuat kebijakan yang fenomenal pada tanggal 17 Januari 2000, ia
mengeluarkan Inpres No. 6/2000. Isinya mencabut Inpres No. 14 yang dibuat
Soeharto tentang agama, kepercayaan dan adat istiadat China. Dan selanjutnya
diikuti oleh Megawati meresmikan Imlek sebagai hari Libur nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar