PENDIDIKAN
ISLAM PADA MASA NABI SAW DAN SAHABAT.
Pendidikan
Islam mempunyai sejarah yang panjang. Dalam pengertian seluas-luasnya,
pendidikan Islam berkembang seiring dengan kemunculan Islam itu sendiri. Dalam
konteks masyarakat Arab, dimana Islam lahir dan berkembang, kedatangan Islam
lengkap dengan usaha-usaha pendidikan merupakan transformasi besar. Sebab
masyarakat Arab pra-Islam tidak mempunyai sistem pendidikan formal. Pada Masa
Nabi, Pendidikan Islam merupakan pendidikan
yang mengukuhkan kembali tradisi moral masyarakat Arabia yang berisi nilai-nilai
kebajikan tradisional bangsa Arab dengan nuansa baru yang bersifat Islam.
Sedang Masa Sahabat, Pendidikan Islam berlangsung tak lebih dalam rangka
penyebaran risalah yang dibawa Rasulullah SAW kepada umat manusia, yang
kemudian berlanjut menjadi sebuah upaya sadar pemberdayaan umat.
Kata Kunci : Pendidikan Islam, Moral masyarakat dan
Pemberdayaan umat.
Prawacana
Peradaban Islam
telah melewati beberapa tahap perkembangan. Dan sebagian besar pencapaian materialnya justru tidak
terjadi selama periode-periode awal.
Pencapaian terbesar (secara material) terjadi pada abad ke-3 dan ke-4
hijriah. Karena itu sejarawan Barat, Adam Mitez, berpendapat bahwa abad
keempat merupakan puncak peradaban Islam, karena periode itu sangat mendukung
kegiatan ibadah. Jika dikomparasikan dengan abad ke-4 hijriah, perilaku muslim
abad I jelas lebih sesuai dengan ajaran-ajaran syariat.[1]
Nabi sendiri menegaskan hal ini dalam sabdanya:[2]
خير الناس قرنى ثم الذين
يلونهم ثم الذين يلونهم. (رواه البخاري)
Artinya :
“Sebaik-baik generasi adalah generasiku, generasi setelah mereka dan generasi
setelah itu.”
Dari hadith itulah, penulis berasumsi bahwa masa awal
sejarah Islam merupakan rentang waktu yang sangat penting, karena pada periode
itu ajaran Islam yang komprehensif betul-betul diimplementasikan. Masa tersebut
merupakan prototipe dan ideal yang harus ditiru oleh masyarakat kita sekarang.
Karena itulah mengetahui tradisi intelektual dan perkembangan pendidikan di masa
itu menjadi hal yang sangat signifikan.
A. Sejarah Pendidikan Islam Pra Hijrah
Semenjak turun wahyu pertama, Muhammad menyampaikan
pengalaman keagamaannya kepada sanak keluarganya dan teman-teman dekatnya.
Apabila mereka ingin berlatih atau mempraktekkan ibadah maka mereka datang ke
tempat yang sepi di mekkah agar tidak diketahui oleh orang-orang Quraisy. [3]
Ketika umat Islam mencapai 30 orang dari kalangan
laki-laki dan perempuan maka Rasulullah memilih rumah al-Arqam bin Abi al-Arqam
sebagai tempat pertemuan mereka untuk kepentingan pendidikan dan pengajaran
ajaran-ajaran Islam. Berkat pertemuan-pertemuan itulah maka umat Islam hampir
mencapai 40 orang. Mayoritas mereka terdiri dari para fakir, budak, dan orang-orang
yang tidak punya peran dari kalangan Quraisy.[4]Mereka
berkumpul mengelilingi Rasulullah untuk mendengarkan pembacaan wahyu al-Qur’an dan
penjelasannya. Materi yang sering disampaikan oleh Rasulullah adalah tentang
aqidah dan ibadah.
Pada masa tersebut, Islam merupakan agama yang mengukuhkan
kembali tradisi moral masyarakat Arabia .
Dengan kata lain, di bidang moralitas, Islam membentuk kembali nilai-nilai yang
sejenis. Nilai-nilai kebajikan tradisional bangsa Arab diberi arti baru yang
bersifat Islam.[5]
B. Sejarah Pendidikan Islam Pasca Hijrah
1.
Mesjid
Masa Rasulullah
Setelah
kira-kira 12 tahun menjalankan tugas kerasulan di Mekkah, maka Allah
memerintahkan Nabi untuk hijrah ke Madinah. Karena itulah pada hari Senin tanggal
12 Rabiul Awal (28 Juli 622 Masehi) Nabi meninggalkan Mekkah pergi ke Quba,
selatan Yathrib yang sesudah itu bernama Madinah.[6]
Di kota itulah Nabi
pertama kali membangun mesjid Quba yang didasarkan pada taqwa dan berfungsi
sebagai pusat pergerakan Negara, tempat menyampaikan nasehat-nasehat, tempat
mengatur siasat, pusat pendidikan pertama, dan sebagai kantor Pengadilan Tinggi.[7]
Enam
bulan setelah Nabi hijrah ke Madinah, kiblat shalat diganti dari Baitul Maqdis
(Jerussalem) ke Ka’bah di Mekkah. Sebagai akibat perubahan geografis tadi,
tembok arah kiblat pertama menjadi di belakang tembok Mesjid Nabi. Nabi memerintahkan
supaya di atas tembok itu dibuat atap. Tempat itulah yang kemudian dikenal
dengan sebutan ash shuffah ‘podium’/’bangku’ atau azh zhillah ‘naungan’,
tetapi pada ketiga sudutnya tetap terbuka.[8]
Ahlu
Suffah mencurahkan banyak perhatian terhadap ilmu pengetahuan dan terus menetap
di dalam mesjid untuk beribadah. Mereka terbiasa dengan kesederhanaan dan
asketisme.
Tetapi,
keterlibatan mereka yang begitu intens dalam ilmu pengetahuan dan ibadah, tidak
menghalangi mereka untuk ikut berpatisipasi dalam kehidupan sosial dan jihad.[9]
Menurut
analisa penulis, tradisi imtelektual yang dilakukan oleh Rasulullah dan umat Islam
pasca Hijrah adalah
a. Rasulullah mengajarkan agama pada umat
islam di masjid oleh karena Ahlus As Suffah tinggal di masjid maka mereka lebih
sering mengikutinya dari pada yang lain
b. Rasulullah mengadakan perjanjian
dengan para tawanan perang badar bahwa tawanan yang bisa mengajarkan baca tulis
pada 10 anak Madinah maka ia akan
dibebaskan.[10]
c. Umat Islam dikirim ke medan perang secara
bergantian agar secara bergantian pula mempelajari agama Islam.
d. Pendelegasian sahabat kedaerah –
daerah kekuasaan islam untuk mengajarkan ilmu – ilmu agama Islam.
- Mesjid
Pasca Rasulullah Wafat
Pada
mulanya fungsi mesjid semakin luas setelah Rasulullah wafat, Amr bin al-‘Ash
membangun rumah panglima sebagai penguasa sipil dan militer berada di sebelah
timur mesjid yang dibangunnya di Mesir. Bahkan pada periode selanjutnya, tempat
tinggal Amir dan Gubernur tetap berada di dekat mesjid. Dengan demikian mesjid
merupakan tempat kegiatan pemerintahan.
Perubahan
terjadi pada masa pemerintahan Banî ‘Abbâs. Ketika Baghdad dibangun pada 762
M., didirikan istana sebagai pusat kegiatan pemerintahan. Mesjid tidak lagi
merupakan pusat kegiatan politik dan militer. Tetapi mesjid terus merupakan tempat
khalifah atau amir menyampaikan pengumuman-pengumuman penting kepada rakyat.
Lambat laun mesjid putus hubungannya dengan kegiatan politik, dan mulai menjadi
pusat peribadatan dan ilmu pengetahuan saja.[11]
Pada
abad X, di Baghdad kokon memiliki sekitar
30.000 mesjid yang berfungsi sebagai rumah ibadah, lembaga pendidikan, dan
pusat kegiatan masyarakat.[12]
Khilafah al Ma’mun membangun mesjid jami’ dan non jami’.
Mengingat
fungsi pendidikannya, mesjid dapat diterjemahkan sebagai “Mesjid - Akademi”,
satu model institusi pendidikan yang muncul pada abad VIII dan secara konsisten
mendominasi arena pendidikan sepanjang periode klasik Islam.[13]
2.
Kuttab
Nasr dalam bukunya Science And Civilization in Islam menyatakan
: “The kuttab (maktab) has thus served both as the center for the religious and
literary education of general community and also as the preparatory stage for
the advanced instutions of learning, in which the some sciences have been
taught.”[14]
Artinya : Kuttab telah
dipergunakan sebagai pusat yang berhubungan dengan keagamaan dan pendidikan
sastra bagi masyarakat umum dan juga sebagai tahap persiapan bagi institusi
pengajaran lebih lanjut, dimana beberapa disiplin ilmu telah diajarkan.
Menurut
Ibnu Haukal, di satu kota saja dari kota di Sicilia ada 300
Kuttab bahkan ada beberapa kuttab yang luas sehingga satu kuttab bisa menampung
ratusan, bahkan ribuan siswa. Dalam sejarah disebutkan bahwa Abul Qasim
al-Balkhi memiliki sebuah kuttab yang ditempati oleh 3.000 siswa. Dalam
perkembangannya kuttab berkembang menjadi sejenis universitas pertama di abad
pertengahan (Middle Ages) dan dipergunakan sebagai model bagi permulaan
universitas-universitas di Eropa selama abad XI.[15]
3.
Madrasah
Menurut
George Makdisi dalam kajiannya yang terfokus pada Madrasah Nidzamiyyah periode
pertengahan di Baghdad ,
bahwa asal muasal pertumbuhan madrasah merupakan hasil tiga tahap:
a. Mesjid sebagai tempat pendidikan
adalah mesjid biasa (mesjid college) yang disamping untuk tempat jama’ah
shalat juga untuk majelis ta’lim (pendidikan).
b. Mesjid-khan, yaitu mesjid yang
dilengkapi dengan bangunan khan (asrama, pemondokan) yang masih bergandengan
dengan mesjid.
c. Madrasah yang demikian menyatukan kelembagaan
mesjid-biasa dengan mesjid-khan. Kompleks madrasah yang terdiri dari ruang
belajar, ruang pondokan, dan mesjid. Diduga berasal dari Khurasan.[16]
Misalnya : Al Azhar didirikan oleh para kholifah mesir pada abad 10 [17]dan
Madrasah Nidzamiyah yang didirikan oleh seorang Wazir Persia , Nizamul Muluk pada tahun 1067.
4.
Rumah
Sakit
Rumah
sakit juga merupakan sekolah – sekolah kedokteran. Disetiap rumah sakit
terdapat ruangan besar untuk kuliah[18]
dan perpustakaan yang penuh dengan buku – buku.[19]
Rumah
sakit bukan hanya sebagai tempat untuk merawat dan mengobati orang-orang sakit
tapi juga juga mendidik tenaga – tenaga yang berhubungan dengan perawatan dan
pengobatan mereka juga mengadakan penelitian dan percobaan dalam ilmu
kedokteran[20].
Dengan demikian rumah sakit juga dilengkapi dengan observatorium. Misalnya
rumah sakit Adhudi, RS besar An Nũri, RS Al Masyhuri, RS Marra Kesh.
5.
Maktabah
(Perpustakaan)
Perpustakaan
dibagi dua yaitu :
a.
Perpustakaan umum yaitu
perpustakaanyang dirikan oleh para khalifah, Amir, Ulama’ dan Hartawan seperti
perpustakaan Darul Hikmah di Kairo perpustakaan Al Hakam di Andalus dan
sebagainya.
b.
Perpustakaan pribadi
Seperti perpustakaan Al Fath bin Khaqan, perpustakaan
Ibnu Khasyab dan sebagainya.[21]
6.
Halaqah merupakan
institusi pendidikan Islam setingkat dengan pendidikan tingkat lanjutan atau
college. Sistem ini merupakan gambaran tipikal dari murid murid yang berkumpul
dan duduk melingkar untuk belajar bersama dengan dipandu oleh seorang guru.[22]
7.
Majelis adalah institusi
pendidikan untuk transmisi keilmuan dari berbagai disiplin ilmu misalnya :
Mejelis Al Hadith, Majelis Al Syu’ara, Majelis Al fatwa dan sebaginya.[23]
8.
Toko kitab selama periode
Abbasiyah, banyak sekali kitab – kitab dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan
yang ditulis umat islam sehingga berdirilah toko – toko kitab. Hitty menegaskan
bahwa pada zaman itu (891 M ) terdapat pusat pertokoan yang berjejer lebih dari
100 buah toko buku dalam satu jalan. Para
pemilik toko tersebut umumnya adalah yang memiliki tulisan bagus pandai
menyalin dan menguasai literatur yang ada.[24]
Sehingga di toko buku seringkali didapatkan orang – orang yang mendiskusikan
isi kitab yang diperjual belikan.
9.
Manazil Ulama’ ( Rumah –
rumah ahli ilmu pengetahuan ).
Diantara rumah ulama yang
terkenal menjadi tempat belajar adalah rumah Ibnu Sina, Al Ghozali, Ya’qub Ibnu
Killis dan lain – lain.[25]
10. Ribath adalah tempat kegiatan kaum sufi yang ingin menjauhkan dari
kehidupan duniawi untuk mengkonsentrasikan diri dari beribadah semata.[26]
11. Ikhwan Al Shafa adalah perkumpulan para mujtahidin dalam bidang
filsafat yang banyak menfokuskan perhatiannya pada bidang da’wah dan
pendidikan. Perkumpulan ini berkembang pada abad ke-2 H. di kota bashrah, Irak. Semua anggota wajib
menjadi guru dan muballig terhadap orang lain yang terdapat di masyarakat.[27]
12. As Shalûnât al Adabiyyah yaitu sanggar seni dan sastra.
KESIMPULAN
1.
Sebelum Hijjrah, Rasulullah
menunjuk rumah al Arqam bin Abi Al Arqam sebagai pusat pendidikan, tempat
Rasulullah mendidik dan mengajarkan ajaran – ajaran islam. Materi yang
disampaikan adalah aqidah, ibadah dan akhlaq.
2.
Setelah Hijrah,
Rasulullah menggunakan Mesjid sebagai pusat pergarakan negara, tempat
menyampaikan nasehat, mengatur siasat perang, pusat pendidikan dan sebagai kantor
pengadilan tinggi.
3.
Tradisi intelektual yang
dilakukan oleh Rasulullah dan umat islam pasca Hijrah adalah :
a.
Mengajarkan agama pada
umat islam di Mesjid. Dalam hal ini Ahlu as Shuffah lebih sering mengikutinya.
b.
Tawanan perang badar
dibebaskan apabila bisa mengajarkan baca tulis ….orang islam
c.
Umat islam dikirim ke medan perang secara
bergantian, agar ada yang menpelajari agama islam
d. Pendelegasian sahabatke daerah – daerah kekuasaan islam untuk
mengajarkan agama Islam sehingga dari daerah – daerah tersebut juga muncul
tokoh – tokoh islam.
4.
Setelah Rasulullah wafat,
tradisi intelektual umat islam semakin mantap, hingga mancapai puncaknya pada
zaman Dinasti Abbasiyah. Hal ini di tandai dengan menculnya beberapa lembaga
pendidikan dengan sistem pandidikan yang semakin mapan, seperti masjid, Kuttab,
Madrsah, Rumah Sakit, Maktabah, Halaqoh, Maje;is, Toko Buku, Rumah Ulama’,
Ribath dan Ikhwan al Safa.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul
Jabbar, Amr. Khulashah Nur al Yaqin, juz 2. Surabaya : Maktabah Muhammad bin Ahmad Nabahan
wa Awladini, 1969.
Al
Bukhāry, Abi Abdillah Muhamad bin Ismail. Fathul Bary .Darul Fikr, tt.
Al Ghadbân, Munîr
Muhammad. al-Manhaj al-Haraky lil As-Sîrah an Nabawiyyah. Juz I .Az-Zarqâ’: Maktabah
al-Mannar.
Al Buthy, Muhammad
Said Ramadhan. Fiqh as Sirah. Beirut :
Dar al-Fikr, 1990.
As Siba’i, Mustofa Husni. Min Rawâ’i Hadaratina. terj.
Abdullah Zaky al-Kaaf .Bandung: Pustaka Setia, 2002.
Amstrong, Karen. Islam : A Short History. Terj. Ira Puspito Rini.
Yogyakarta : Ikon Tetalitara, 2002.
Gazalba, Sidi .Mesjid
Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam. Jakarta :
al Husna Zika, 2001.
Kitti, Philip
K. History of the Arabs. New York : Mac Millan
Press, 1970.
Lapidus, Ira M, .A
History Of Islamic Societies, Terj. Ghufron A. Mas’adi .Jakarta : Raja
Gravindo Persada, 1999.
Makdisi, George. Muslim
Institutions Of Learning in Eleventh - Century Baghdad ,”Bulletin
Of the School Of Oriental And African Studies 25
: 1961.
Nasr, Seyyed
Hossein. Science and Civilization in Islam. New York : New Ameri Can Library, 1970.
Nasabe, Hisyam. Moslem Educational Institutions. Beirut : Riyad Solh Sguare, 1998.
Nasution, Harun. Islam
Rasional Gagasan dan Pemikiran. Bandung :
Mizan, 1998.
Nata, Abuddin.
Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta : Logos Wacana
Ilmu, 1997.
Stanton, Charles
Michael. Pendidikan Tinggi Dalam Islam. terj. Afandi dan Basri .Jakarta:
Logs, 1994.
Suwito, Fauzan. Sejarah Sosial Pendidikan Islam. Jakarta : Prenada Media, 2005.
Umari, Akram Diyāuddin.
Madinah Society at The Time Of The Prophet, Its Characteristics and
Organization. terj. Mun’im A.
Sirry .Jakarta: Gema Insani Press, 1999.
Zihairini, et. Al ; Sejarah Pendididkan Islam. Jakarta
: Bumi Aksara, 1997.
[1] Akram Dhiyauddin Umari, Madinah
Society at The Time Of The Prophet: Its Characteristics and Organization, terj. Mun’im A. Sirry (Jakarta: Gema Insani
Press, 1999), 34.
[2] Abi Abdillah Muhamad bin Ismail al Bukhary,
Fathul Bary (Darul Fikr, tt), 244.
[3] Munîr Muhammad al-Ghadbân, al-Manhaj
al-Haraky lil As-Sîrah an Nabawiyyah Juz I, (Az-Zarqâ’: Maktabah al-Mannar),
21.
[4] Muhammad Said Ramadhan al Buthy, Fiqh
as Sirah, (Beirut: Dar al-Fikr,
1990), 94.
[5] Ira M. Lapidus, A History Of
Islamic Societies, Terj. Ghufron A. Mas’adi (Jakarta: Raja Gravindo
Persada, 1999), 51.
[6] Sidi Gazalba, Mesjid Pusat Ibadat
dan Kebudayaan Islam (Jakarta :
al Husna Zika, 2001), 121.
[7] Al Ghadbân, Al Manhaj, 203.
[8] Umari, Masyarakat Madani , 98.
[9] Ibid, 101.
[10] Amr Abdul Jabbar, Khulashah Nur al
Yaqin, juz 2 (Surabaya: Maktabah Muhammad bin Ahmad Nabahan wa Awladini,
1969), 15.
[11] Harun Nasution, Islam Rasional
Gagasan dan Pemikiran, (Bandung: Mizan, 1998), 249.
[12] Charles Michael Stanton, Pendidikan
Tinggi Dalam Islam, terj. Afandi dan Basri (Jakarta: Logs, 1994), 23.
[14] Seyyed
Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (New York: New Ameri Can
Library, 1970), 66.
[16] Lapidus,
A History, 253.
[17] Karen Amstrong, Islam: A Short History, Terj. Ira Puspito Rini,
(Yogyakarta : Ikon Tetalitara, 2002), 98.
[27] Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam ( Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997 ),
181.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar