KONTROVERSI PEMIKIRAN NEGARA DALAM PERSPEKTIF
ISLAM
M. SYAMSUDINI
Abstrak
Diskursus
tentang agama dan negara selalau mewarnai perdebatan fiqh siyasih dalam Islam.
Suatu negara memang diperlukan untuk mengatur kehidupan sosial masyarakat
secara bersama-sama dalam rangka mencapai kemashlahatan hidup. Di sini otoritas
politik memiliki urgensinya dan harus ada yang terwakilkan dalam bentuk
institusi yang disebut negara. Berdasarkan realitas tersebut, di antara pemikir
kaum muslimin merasa perlu untuk merumuskan konsep negara. Ada yang menawarkan
konsep negara berdasarkan agama (Paradigma Integralistik), ada yang
menawarkan Paradigma Simbiotik dan ada
pula yang menawarkan konsep Paradigma Sekularistik.
A.
PENDAHULUAN
Dewasa
ini , salah satu perdebatan yang sangat mengemuka dikalangan umat Islam adalah
persoalan agama dan negara. Pembicaraan tentang masalah ini tidak akan ada
habis-habisnya. Menurut Nurcholish Madjid (1998,48), hal ini bisa terjadi
disebabkan ; pertama, karena
kekayaan sumber bahasan , sebagai hasil dari lima belas abad sejarah akumulasi pengalaman Dunia Islam dalam
membangun kebudayaan dan peradaban. Kedua, pembahasan
tentang agama dan negara (politik) dalam Islam ini agaknya akan terus
berkepanjangan, mengingat sifatnya yang mau tak mau melibatkan pandangan ideologis berbagai kelompok
masyarakat khususnya kalangan umat Islam sendiri.
Pada
saat Islam memasuki periode dini dari kehadirannya dalam sejarah, pergumulan
antara perintah moral dan realitas sosio-politik umat telah berlangsung,
sekalipun belum terlalu seru. Nabi dan para sahabat saat itu masih berada dalam
posisi keagungan moral yang prima. Dengan demikian sampai batas-batas yang
jauh, politik tetap berfungsi sebagai kendaraan moral yang efektif. Sehingga
tidak mengherankan bila kita sebagai seorang muslim mengidealkan periode dini
ini.
Sejarah Islam pada periode dini itu
mencerminkan semangat demokrasi yang otentik, tapi sayang selama berabad-abad
kemudian semangat ini terpasung dalam budaya imperial Islam dalam bentuk
kerajaan yang despotis. Teori-teori politik yang berkembang pada periode itu
bukanlah mengambil inspirasi utama dari masa awal Islam. Teori-teori itu pada
umumnya bercorak pragmatis, sekedar mencarikan pembenaran agama terhadap kecenderungan
politik yang sedang berlaku.
Dalam perkembangan serlanjutnya, kita dapat
melihat adanya pandapat kontroversial tentang pemikiran negara dalam Islam.
Menurut penulis terjadinya kontroversi pemikiran negara dalam Islam ini
bertolak dari suatu asumsi yang berbeda. Yang pertama, bertolak dari
asumsi bahwa Islam memiliki konsep tertentu tentang negara, dan yang kedua,
berasumsi bahwa Islam tidak membawa konsep tertentu tentang negara, tapi hanya
menawarkan prinsip-prinsip dasar berupa etika dan moral. Kendati kedua maksud
tersebut berbeda dalam pendekatan, namun keduanya mempunyai tujuan yang sama,
yakni menemukan rekonsiliasi antara idealitas agama dan realitas politik.
Perbedaan
pandangan ulama politik tentang hubungan agama dan negara, di samping
disebabkan oleh dimensi kultural (setting sosio-kultural) dan dimensi politis,
juga disebabkan oleh tidak terdapatnya keterangan yang jelas dan rinci dalam
sumber-sumber Islam. Memang terdapat beberapa terma yang sering dihubungkan
dengan konsep tentang negara dalam al-Qur'an dan hadis, seperti dawlah, ulu
al-Amr, khilafah, hukm, namun terma-terma tersebut mengandung signifikansi
yang mengundang penafsiran (interpretable). Pandangan ulama politik
tentang hubungan agama dan negara, pada giliran berikutnya, mempengaruhi corak
konsepsi mereka tentang negara itu sendiri.
Telaah
terhadap pencarian konsep tentang negara dalam sejarah pemikiran politik Islam
perlu dimulai dari teori negara dan masyarakat serta kategorisasi
pemikiran.Tulisan ini mencoba memahami beberapa kecenderungan dan penekanan
yang ada pada konsep tentang negara dalam pemikiran beberapa tokoh pemikir
Islam. Sebagai catatan fokusnya, pemahaman tersebut tidak memasuki secara rinci
pemikiran ahli, tetapi hanya menarik benang merah dari pemikiran mereka.
B.
TEORI NEGARA DAN MASYARAKAT
Perbincangan
mengenai konsep Ulu al-Amr dari waktu ke waktu dalam konteks yang berbeda-beda itu
menghasilkan berbagai ide tentang negara dan masyarakat. Dalam pembicaraan
mengenai hal ini, ternyata telah timbul beberapa gagasan dan konsep. Pertama,
tentang suatu hukum wajib bagi kaum muslim untuk memilih pemimpin atau
membentuk lembaga kepemimpinan yang memiliki kewibawaan atau
kekuasaan yang disebut Ulu al-Amr. Kedua, tentang perintah untuk
melakukan musyawarah di antara orang-orang atau pihak-pihak dalam mengambil
keputusan yang menyangkut urusan bersama, melalui ahl al-halli wa al-'aqdi. (al-Din,
1957,167-168). Ketiga, melaksanakan doktrin amar ma'ruf nahi munkar,
sebagai ikhtiar humanisasi, liberasi dari belenggu dunia dan kedzhaliman.
(Kuntowijoyo, 1991). Keempat, perihal hukum wajib bagi individu untuk
tunduk kepada orang atau lembaga yang memiliki otoritas yang dibentuk melalui
satu dan lain bentuk kesepakatan. Dan Kelima, tentang konsep legetimasi
terhadap kepemimpinan dan lembaga-lembaga yang memiliki otoritas yang harus
ditaati atau bisa ditentang oleh individu.
Berbagai kesimpulan mengenai timbulnya ide-ide yang berkembang
dari interpretasi pengertian ulu al-amr di atas, memberikan bahan bagi diskursus
tentang konsep negara dan masyarakat yang akhir-akhir ini muncul kembali,
termasuk tentang hubungan Islam dan negara.
Teori negara biasa muncul dari empat jurusan. Pertama, mengacu
pada teori tentang khilafah yang timbul dari realitas sejarah sesudah
Nabi Muhammad Saw. Wafat. (Manzhur, 1968, 83). Istilah Khilafah mengandung arti”perwakilan”, “pergantian”,
atau “jabatan Khalifah”. Istilah ini berasal dari kata Arab, khalf yang berarti wakil, pengganti dan penguasa.
(Syahrur,1990,918). Dalam perspektif
politik sunni, khilafah didasarkan pada
dua rukun, yaitu: konsensus elit politik (ijma’) dan pemberian
legitimasi (bay’ah). (Enayat, 1988, 9). Oleh karenanya, setiap pemilihan
pemimpin Islam , cara yang digunakan dengan memilih pemimpin yang ditetapkan
oleh elit politik. Setelah itu baru dibay’ah oleh rakyatnya. Kedua, bertolak dari imamah
yang terutama berkembang di lingkungan Syi’ah (Imam). (Ridha, tt., 10). Dalam
lingkungan Syi’ah imamah menekankan dua rukun, yaitu kekuasaan imam (wilayah)
dan kesucian imam (ishmah). (Esposito, 1987, 14). Ketiga dapat pula berkembang dari teori imarah
(pemerintahan). (Ma’luf, 1973,192). Dan Keempat
bisa juga berasal dari konsep dawlah. Istilah dawlah berasal dari
bahasa Arab yakni dawlah yang berarti; bergilir beredar dan berputar (rotate,
alternate, take turns, or occur periodically).
Kata ini dapat diartikan sebagai kelompok social yang menetap pada suatu
wilayah tertentu dan diorganisir oleh suatu pemerintahan yang mengatur
kepentingan dan kemaslahatan umat.(Ahmed, 1988, 47). Namun menurut Olaf
Schumann, istilah dawlah adalah dinasti atau wangsa, yaitusistem kekuasaan yang
berpuncak pada seorang pribadi yang didukung didukung oleh keluarganya atau
clan-nya. (Schumann, 1999, 59). Analogi keempat kata tersebut tampak pula dalam
penggunaannya di dalam kitab Fiqih Siyasah. Al-Mawardi dalam karyanya Al-Ahkam
al-Shulthoniyah menggunakannya secara bergantian. Tapi istilah khilafah dan
imamah lebih popular pemakaiannya dalam berbagai literature ulama Fiqih
daripada istilah imarah. Menurut Muhammad Rasyid Ridha, keempat istilah itu
mengandung pengertian yang sama yaitu menyangkut pemerintahan yang meliputi
kepentingan-kepentingan sekuler (dunia) maupun keagamaan. (Ridha, tt., 10).
Khilafah menurut Ibnu Khaldun adalah tanggung jawab umum yang
dikehendaki oleh peraturan syareat untuk mewujudkan kemashlahatan dunia akhirat
dengan merujuk kepadanya. Karenanya kemashlahatan akhirat adalah tujuan akhir,
maka kemashlahatan dunia seluruhnya harus berpedoman kepada syareat. Hakekatnya
, sebagai pengganti fungsi pembuat syareat dalam memelihara urusan agama dan
mengatur politik keduniaan.(Khaldun, tt., 134).
Pengertian ini sinonim pula dengan imamah secara istilah. Imamah adalah
“Kepemimpinan menyeluruh yang berkaitan dengan urusan keagamaan dan urusan
dunia sebagai pengganti fungsi Rasulullah Saw..(Raziq, 1925, 2) Demikian pula
pendapat al-Mawardi bahwa imamah dibentuk untuk menggantikan fungsi kenabian
Nabi Saw. Guna memelihara agama dan mengatur
kehidupan dunia.(Mawardi, tt., 5).
Pengertian khilafah, imamah dan imarah tersebut, baik dari segi
etimologis maupun secara terminologis, menunjukkan bahwa istilah-istilah itu
muncul dalam sejarah Islam sebagai sebutan bagi institusi politik yang
menggantikan fungsi kenabian dalam urusan agama dan urusan politik.
Secara historis institusi khilafah muncul sejak terpilihnya Abu
Bakar sebagai khalifah Rasulullah (pengganti Rasulullah) dalam memimpin umat
Islam sehari setelah beliau wafat. Kemudian setelah Abu Bakar wafat
berturut-turut terpilih Umar Ibnu al-Khaththab, Usman Ibnu Affan dan Ali Ibnu
Abi Thalib dalam kedudukan yang sama. Jadi perkembangan arti khilafah dari
“penggantian” kepada pemerintahan alias “institusi pemerintah”
dirasionalisasikan dan diberi label agama yang dikaitkan dengan kedudukan Abu
Bakar dan penerusnya dalam memimpin umat Islam dalam urusan agama dan politik.
Keempat konsep di atas sebenarnya masih
dapat dibeda-bedakan. Teori khilafah dan dawlah dapat dipakai untuk memahami gejala
negara, teori imarah untuk gejala pemerintahan, sedang teori imamah untuk
gejala kepemimpinan masyarakat.
Terlepas dari adanya pengertian yang varian dari empat teori
negara di atas. Bagi penulis, walaupun Islam
dengan tegas tidak menyebut bentuk atau sistem suatu negara. Negara
adalah sebuah kaharusan dan kebutuhan suatu masyarakat. Dalam hukum syara’
kekuasaan adalah wajib syar’iy. Ini tidak hanya berdasarkan tradisi yang telah
diciptakan Nabi Saw., tetapi juga berdasarkan suatu ajaran agama. Karena itu
maka diperlukan suatu lembaga kekuasaan untuk menyelenggarakan kepentingan
(amanat) masyarakat dan menegakkan
keadilan. Lembaga kekuasaan itu kemudian diwujudkan menjadi ulu al-amr
(baca ulul amr), suatu lembaga yang mempunyai kewenangan untuk memerintah dan
menyelenggarakan kepentingan umum. Tapi bagaimana kepentingan umum itu dapat
diidentifikasikan dan dirumuskan ? Dalam
suarat al-Nisa’ ayat 114 dijelaskan yang artinya :
Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka ,
kecuali bisikan-bisikan dari orang yang
menyuruh (manusia) untuk membelanjakan
hartanya, atau berbuat yang ma’ruf dan mengadakan perdamaian (kerukunan) di antara manusia.
Teori-teori di atas untuk bisa berkembang lebih lanjut perlu
dikonfrontasikan dengan realitas histories
(sejarah) atau realitas politik. Refleksi dari kenyataan empiris
bersifat menguji ketepatan teori-teori di atas. Teori ini telah menjadi model
realitas (mode of reality) yang memuat gambaran kenyataan dalam
abstraksi.
C. HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA
Dengan menengok selintas negara-negara yang saat ini dikenal
sebagai negara Islam, kita dapat melihat atau bahkan menyimpulkan adanya
variasi dalam konsep Islam sebagai dasar negara. Variasi seperti ini dapat
dihubungkan dengan kenyataan tidak pernah adanya consensus di antara para ulama dalam interpretasi
mereka tentang ajaran maupun sejarah Islam yang digunakan sebagai dasar dalam
membangun suatu system yang Islami. (Khan, 1985, 127)
Dalam pemikiran politik
Islam terdapat, paling tidak tiga paradigma tentang hubungan agama dan negara.
(Sjadzali, 1993, 1-2). Kendati Islam dipahami sebagai agama yang memiliki
totalitas, dalam pengertian meliputi keseluruhan aspek kehidupan manusia,
termasuk politik, namun sumber-sumber Islam juga mengajukan pasangan istilah
seperti Dunya-akhirat, din-dawlah . Pasangan istilah-istilah tersebut
menunjukkan adanya perbedaan konseptual dan mengesankan adanya dikotomi.
Paradigma pertama memecahkan
masalah dikotomi tersebut dengan mengajukan konsep bersatunya agama dan
negara.. Agama (Islam) dan negara dalam
hal ini, tidak dapat dipisahkan (integrated). Paradigma ini dikenal dengan
nama Paradigma integralistik ( Unified
Paradigm) (Wahid, 2001, 24).Wilayah agama juga meliputi politik dan negara.
Karenanya menurut paradigma ini, negara merupakan lembaga politik dan keagamaan
sekaligus. Pemerintahan negara diselenggarakan atas dasar kedaulatan Ilahi
(divine sovereignty), karena
memang kedaulatan itu berasal dan berada di tangan Tuhan. (Khumaini, 1981, 55).
Dalam kaitna ini kita sering mendengar
pernyataan umum bahwa Islam adalah din
wa dawlah (Islam adalah agama dan
negara). Statement ini muncul dari adanya interpretasi bahwa Islam adalah agama yang
sempurna dan mengandung segalanya. Sehubungan dengan ini hassan al-Banna
menyatakan : Islam adalah tata aturan yang lengkap meliputi semua segi
kehidupan. Islam adalah negara dan bangsa atau pemerintahan dan masyarakat.
Moral dan kekuasaan (Banna, 1371, 1). Senada dengan itu al-Mawdudi mengatakatan
: “ Syariat adalah skema kehidupan yang sempurna dan melipuiti seluruh tatanan
kemasyarakatan; tidak ada yang lebih dan tidak ada yang kurang. (Mawdudi,
1967,243). Paradigma ini dianut oleh kelompok Syi’ah. Paradigma pemikiran
Syi’ah memandang bahwa negara (istilah yang relevan dengan hal ini adalah
imamah) adalah lembaga keagamaan dan mempunyai fungsi keagamaan. Menurut
pandangan Syi’ah, berhubung legitimasi keagamaan berasal dari Tuhan dan
diturunkan lewat garis keturunan Nabi Muhammad Saw., legitimasi politik ini
harus berdasarkan legitimasi keagamaan dan hal ini hanya dimiliki oleh para
keturunan Nabi Saw. Imam dalam keyakinan
mereka adalah sesuatu yang sacral (ma’shum) sebagai salah satu dasar agama.
Pengangkatannya berdasaran wasiat melalui nash syareat serta menempatkannya
pada posisi Nabi.(Nazmi, tt., 116-117). Kedudukan imam dalam pandangan Syi’ah
berfungsi sebagai pemimpin spiritual juga berfungsi sebagai pemimpin politik.
Pandangan ini sebenarnya bertolak belakang dengan pandangan Imam Syi’ah sendiri Ja’far al-Shadiq yang secara efektif
memisahkan agama dari poltik, seperti yang ditulis oleh Karen Armstrong dalam
bukunya The Battle for God (46, dikutip dari Asysyaukani, Internet).
Berbeda dengan paradigma pemikiran politik Sunni, yang menekankan ijma’
(pemufakatan) dan bay’ah (pembaitan) kepada kepala negara (“khalifah”),
paradigma Syi’ah menekankan walayah (kecintaan dan pengabdian kepada
Tuhan) dan ishmah (kesucian dari dosa), yang hanya dimiliki oleh para
keturunan Nabi Saw. Sebagai yang berhak dan absah untuk menjadi kepala negara
(Imam).(Enayat, 1992, 6). Dan yang boleh berlaku hanyalah hukum dari Tuhan.
(Khumaini, 1981, 55).
Paradigma penyatuan agama dan negara juga menjadi anutan kelompok
Fundamentalisme Islam yang cenderung berorientasi pada nilai-nilai Islam yang
dianggapnya mendasar dan prinsipil. Paradigma Fumndamentalis menekankan
totalitas Islam. Menurut salah satu tokoh kelompok ini, al-Mawdudi, syariah
tidak mengenal pemisahan antara agama dan negara. Syariah adalah skema
kehidupan yang sempurna dan meliputi seluruh tatanan kemasyarakatan, tidak ada
yang lebih dan tidak ada yang kurang.(Mawdudi, 1967, 243.).
Paradigma kedua, memandang
agama dan negara berhubungan secara simbiotik, yaitu berhubungan timbal balik
dan saling memerlukan. Paradigma ini disebu dengan Paradigma Simbiotik (Symbiotic Paradigm).
Dalam hal ini agama memerlukan negara, karena dengan negara agama dapat
berkembang. Sebaliknya negara memerlukan agama, karena dengan agama , negara
dapat berkembang dalam bimbingan etika dan moral.
Pandangan tentang simbiosa agama dan negara ini dapat ditemukan ,
umpanya dalam pemikiran al-Mawardi. Pada baris pertama dari karyanya yang
terkenal, al-Ahkam al-Sulthaniyah, al-Mawardi menegaskan bahwa
kepemimpinan negara (imamah) merupakan instrumen untuk meneruskan misi kenabian
guna memelihara agama dan mengatur dunia. (Mawardi, tt., 5). Pemeliharaan agama
dan pengaturan dunia merupakan dua jenis aktifitas yang berbeda, namun
berhubungan secara simbiotik. Keduanya merupakan dua dimensi dari misi
kenabian.
Dalam kerangka hubungan simbiotik ini, Ibnu Taymiyah dalam
al-Siyasah al-Syar’iyah (1979,162) juga mengatakan: Sesungguhnya adanya
kekuasaan yang mengatur urusan manusia merupakan kewajiban agama yang terbesar,
sebab tanpa kekuasaaan agama tidak bisa berdiri tegak.
Paradigma ketiga bersifat
sekularistik (Secularistic Paradigm).. Paradigma ini menolak baik
hubungan integralistik maupun hubungan simbiotik antara agama dan negara.
Sebagai gantinya paradigma sekularistik
mengajukan pemisahan antara agama dan negara. Dalam konteks Islam paradigma
sekularistik menolak pendasaran negara kepada Islam, atau paling tidak menolak
determinasi Islam akan bentuk tertentu suatu negara.
Salah seorang pemerakarsa paradigma ini adalah ‘Ali Abd al-Raziq, seorang cendekiawan Muslim
dari Mesir.. Pada tahun 1925 M. ia menerbitkan sebuah risalah yang berjudul al-Islam
wa Ushul al-Hukm , yang menimbulkan kontroversi dan menyebabkan ia dipecat
dari jabatannya sebagai Hakim Agama oleh semacam Majlis Ulama Mesir. Argumen
utama Ali Abd al-Raziq adalah bahwa kekhalifahan tidak mempunyai dasar baik
dalam al-Qur’an maupun al-Hadis. Kedua sumber ini tidak menyebutkan istilah
khilafah dalam pengertian kekhalifahan yang pernah dilakukan dan ada dalam
sejarah. Lebih dari itu, tidak ada petunjuk yang jelas dalam al-Qur’an dan
al-Hadis yang menentukan suatu bentuk system politik (baca system negara) untuk
didirikan oleh umat Islam.(Raziq, 1925, 42).
Ali Abd al-Raziq menolak keras pendapat bahwa Nabi pernah mendirikan
suatu negara Islam di Madinah. Menurutnya Nabi Saw. adalah semata-mata utusan
Tuhan, bukan seorang kepala negara atau pemimpin politik.(Raziq, 1925,
42). Dalam hal ini Ali Abd al-Raziq
bermaksud membedakan antara agama dan politik, tepatnya antara misi kenabian
dan aktifitas politik. Memisahkn domain wahyu dan domain ijtihadi.
D. PENUTUP
Adanya pendapat yang varian dalam proses pencarian konsep tentang
negara, para pemikir politik Islam berhadapan dengan dua tantangan yang saling
tarik menarik, yaitu tantangan realitas politik yang harus dijawab dan
tantangan idealitas agama yang harus dipahami
untuk menemukan jawaban. Oleh karena itu, perbedaan konsepsi lebih
berada pada tataran metodologis, yang pada gilirannya menentukan perbedaan pada
substansi pemikiran dan tindakan.
Agama adalah sesuatu yang sakral (suci), dan negara (politik) adalah sesuatu yang profan. Kita
harus tegaskan itu, karena keterlibatan agama dalam wilayah politik akan membuka kembali potensi-potensi
pelecehan terhadap agama. Ingat pernyataan Gus Dur yang berkaitan dengan ICMI,
“ Saya tidak mau masuk ICMI justru karena saya tak mau ikut berebut pangkat.
Sebab di sana sangat banyak orang yang begitu.(Tempo,10-11-1991). Kita tahu bahwa ICMI adalah organisasi yang
mengatasnamakan agama yang hanya sekedar menjadi alat kekuasaan (politik). Oleh
sebab itu kita harus mempunyai komitmen keimanan yang benar sebagai sebuah
fondasi mentransendenkan Tuhan dari tangan-tangan yang ingin mendistorsikannya,
dan sekaligus membebaskannya dari tangan-tangan kotor oportunis politik , yang
selalu memanipulasi ajaran agama dan
membawa nama Tuhan serta agamanya dalam setiap tindakannya.
Kalau kita mau serius membersihkan dan mensucikan agama dari noda
politik (kekuasaan) . Kita harus keluarkan agama dari politik, atau kita
keluarkan politik dari agama: agama is
agama, politik is politik. Pemisahan ini tidak berlaku dalam hal yang bersifat
etis dan moral. Akan tetapi pemisahan ini hanya berlaku dalam pendekatan teknis struktural dan
praktis prosedural, yang memang menjadi lahan pemikiran manusia. Dalam hal ini,
memang besar sekali peranan pemikiran ijtihadi manusia. Inilah sesungguhnya
essensi dari sebuah proses sekularisasi dalam Islam , yaitu menduniakan hal-hal
atau nilai-nalai yang semestinya bersifat dunia dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan
mengakhiratkannya.
Dari berbagai varian yang ada , secara umum penulis dapat
membedakan beberapa polarisasi kecenderungan di kalangan pemikir politikus Islam dalam memandang
konsep negara sebagai berikut: Antara skripturalistik dan Rasionalistik, dan
antara Idealistik dan Realistik serta antara Formalistik dan Substantivistik.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmed,
Manzooruddin, al-Nazhariyah al-Siyasah al-Islamiyah fi al-‘Ashr al-Hadits,
Karaci, Pakistan, 1988.
Al-Banna,
Hassan, al-‘Aqaid, Syarh Ushul
al-‘Isyrin Ila al-Syabab, Maktabah
al-manar al-Islamiyah, Kuwait, 1371 H.
al-Din,
Muhammad Dhiya’, Al-Nazhariyah al-Siyasah al-Islamiyah, Maktabah
al-Anjalu al-Mishriyah, Mesir, 1957..
al-Raziq ,Ali Abd, Al-Islam wa Ushul
al-Hukm, Al-Qahirah, Mesir, 1925.
Al-Mawardi, Al-Ahkam
al-Sulthaniyah, Dar al-Fikr, Beirut, tt., .
Enayat Hamid,, Modern Islamic Political
Thought, Austin, 1992.
Esposito,John
L., Living Islam : Tamasya Budaya Menyusuri Samarkand hingga stonorway, Terj.,
Pangestuningsih, mizan, Bandung, 1997.
Ibnu Khaldun ,Abd al-Rahman, Muqaddimah,
Dar al-Fikr, Beirut, tt..
Karen Armstrong,The Battle for God, dalam Luthfi
Assyaukanie, dalam kelompok diskusi
Milis, Akar-Akar Sekularisme dalam
Islam, Internet.
Khan,
Omar Asghar Political and Economic Aspects of Islamization, dalam Omar Asghar
Khan, Khan (Ed.), Islam, Politics and State, Zed Books, London, 1985.
Khumaini,Imam, Islam and Revolution,
Writing and Declaration of Imam Khumaini, terj. Hamid al-Gar, Berkely,
1981.
Kuntowijoyo, Paradigma Islam, Mizan,
Bandung, 1991.
Madjid, nurcholish, Agama
Dan Politik dalam Ioslam, Jurnal Pemikiran Islam Paramadina, Vol. I Nomor 1 Juli- Desember 1998.
Manzhur,
Ibnu , Lisan al-Arab, Vol. IX, Dar al-Shadr, Beirut, 1968.
Mawdudi, Political Theory of Islam , dalam Khurshid Ahmad
(ed.), Islamic Law and Constitution, Lahore, 1967.
Nazhami S., M. Aziz, Al-Fikr
al-Siyasi wa al-Hukm fi al-Islam, Muassasat Syabab, Iskandariyah, tt..
Ridha, Rasyid, Al-Khilafah aw al-Imamah al-Uzhmah,
Al-Manar, Al-Qahirah, tt..
Schumann, Olaf, Dilema Islam Kontemporer:
Antara Masyarakat Madani dan Negara Islam, Jurnal Pemikiran Islam
Paramadina, Vol 1 Nomor 2 , 1999.
Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara,;
Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, UI Press, Jakarta, 1993.
Taymiyah, Ibnu, Al-Siyasah al-Syar’iyah fi
Ishlah al-Ra’yi wa al-Ra’iyyah, Dar al-Kitab al-‘Arabi, Mesir, 1979.
Wahid, Marzuki dan Rumadi, Fiqh Madzhab
Negara: Kritik Atas Hukum Islam Di Indonesia, LkiS, Yogyakarta, 2001.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar