Kamis, 02 Mei 2019

KONTROVERSI PEMIKIRAN NEGARA DALAM PERSPEKTIF ISLAM


KONTROVERSI PEMIKIRAN NEGARA DALAM PERSPEKTIF ISLAM
M. SYAMSUDINI

 

Abstrak

Diskursus tentang agama dan negara selalau mewarnai perdebatan fiqh siyasih dalam Islam. Suatu negara memang diperlukan untuk mengatur kehidupan sosial masyarakat secara bersama-sama dalam rangka mencapai kemashlahatan hidup. Di sini otoritas politik memiliki urgensinya dan harus ada yang terwakilkan dalam bentuk institusi yang disebut negara. Berdasarkan realitas tersebut, di antara pemikir kaum muslimin merasa perlu untuk merumuskan konsep negara. Ada yang menawarkan konsep negara berdasarkan agama (Paradigma Integralistik), ada yang menawarkan  Paradigma Simbiotik dan ada pula yang menawarkan konsep Paradigma Sekularistik.

A.   PENDAHULUAN
Dewasa ini , salah satu perdebatan yang sangat mengemuka dikalangan umat Islam adalah persoalan agama dan negara. Pembicaraan tentang masalah ini tidak akan ada habis-habisnya. Menurut Nurcholish Madjid (1998,48), hal ini bisa terjadi disebabkan  ; pertama, karena kekayaan sumber bahasan , sebagai hasil dari lima belas abad sejarah  akumulasi pengalaman Dunia Islam dalam membangun  kebudayaan  dan peradaban. Kedua, pembahasan tentang agama dan negara (politik) dalam Islam ini agaknya akan terus berkepanjangan, mengingat sifatnya yang mau tak mau melibatkan  pandangan ideologis berbagai kelompok masyarakat khususnya kalangan umat Islam sendiri.
Pada saat Islam memasuki periode dini dari kehadirannya dalam sejarah, pergumulan antara perintah moral dan realitas sosio-politik umat telah berlangsung, sekalipun belum terlalu seru. Nabi dan para sahabat saat itu masih berada dalam posisi keagungan moral yang prima. Dengan demikian sampai batas-batas yang jauh, politik tetap berfungsi sebagai kendaraan moral yang efektif. Sehingga tidak mengherankan bila kita sebagai seorang muslim mengidealkan periode dini ini.
 Sejarah Islam pada periode dini itu mencerminkan semangat demokrasi yang otentik, tapi sayang selama berabad-abad kemudian semangat ini terpasung dalam budaya imperial Islam dalam bentuk kerajaan yang despotis. Teori-teori politik yang berkembang pada periode itu bukanlah mengambil inspirasi utama dari masa awal Islam. Teori-teori itu pada umumnya bercorak pragmatis, sekedar mencarikan pembenaran agama terhadap kecenderungan politik yang sedang berlaku.
 Dalam perkembangan serlanjutnya, kita dapat melihat adanya pandapat kontroversial tentang pemikiran negara dalam Islam. Menurut penulis terjadinya kontroversi pemikiran negara dalam Islam ini bertolak dari suatu asumsi yang berbeda. Yang pertama, bertolak dari asumsi bahwa Islam memiliki konsep tertentu tentang negara, dan yang kedua, berasumsi bahwa Islam tidak membawa konsep tertentu tentang negara, tapi hanya menawarkan prinsip-prinsip dasar berupa etika dan moral. Kendati kedua maksud tersebut berbeda dalam pendekatan, namun keduanya mempunyai tujuan yang sama, yakni menemukan rekonsiliasi antara idealitas agama dan realitas politik.
Perbedaan pandangan ulama politik tentang hubungan agama dan negara, di samping disebabkan oleh dimensi kultural (setting sosio-kultural) dan dimensi politis, juga disebabkan oleh tidak terdapatnya keterangan yang jelas dan rinci dalam sumber-sumber Islam. Memang terdapat beberapa terma yang sering dihubungkan dengan konsep tentang negara dalam al-Qur'an dan hadis, seperti dawlah, ulu al-Amr, khilafah, hukm, namun terma-terma tersebut mengandung signifikansi yang mengundang penafsiran (interpretable). Pandangan ulama politik tentang hubungan agama dan negara, pada giliran berikutnya, mempengaruhi corak konsepsi mereka tentang negara itu sendiri.
            Telaah terhadap pencarian konsep tentang negara dalam sejarah pemikiran politik Islam perlu dimulai dari teori negara dan masyarakat serta kategorisasi pemikiran.Tulisan ini mencoba memahami beberapa kecenderungan dan penekanan yang ada pada konsep tentang negara dalam pemikiran beberapa tokoh pemikir Islam. Sebagai catatan fokusnya, pemahaman tersebut tidak memasuki secara rinci pemikiran ahli, tetapi hanya menarik benang merah dari pemikiran mereka.

B.   TEORI NEGARA DAN MASYARAKAT
            Perbincangan mengenai konsep Ulu al-Amr dari waktu ke waktu  dalam konteks yang berbeda-beda itu menghasilkan berbagai ide tentang negara dan masyarakat. Dalam pembicaraan mengenai hal ini, ternyata telah timbul beberapa gagasan dan konsep. Pertama, tentang suatu hukum wajib bagi kaum muslim untuk memilih pemimpin atau membentuk lembaga kepemimpinan yang memiliki kewibawaan  atau  kekuasaan yang disebut Ulu al-Amr. Kedua, tentang perintah untuk melakukan musyawarah di antara orang-orang atau pihak-pihak dalam mengambil keputusan yang menyangkut urusan bersama, melalui ahl al-halli wa al-'aqdi. (al-Din, 1957,167-168). Ketiga, melaksanakan doktrin amar ma'ruf nahi munkar, sebagai ikhtiar humanisasi, liberasi dari belenggu dunia dan kedzhaliman. (Kuntowijoyo, 1991). Keempat, perihal hukum wajib bagi individu untuk tunduk kepada orang atau lembaga yang memiliki otoritas yang dibentuk melalui satu dan lain bentuk kesepakatan. Dan Kelima, tentang konsep legetimasi terhadap kepemimpinan dan lembaga-lembaga yang memiliki otoritas yang harus ditaati atau bisa ditentang oleh individu.   
Berbagai kesimpulan mengenai timbulnya ide-ide yang berkembang dari interpretasi pengertian ulu al-amr di atas, memberikan bahan bagi diskursus tentang konsep negara dan masyarakat yang akhir-akhir ini muncul kembali, termasuk tentang hubungan Islam dan negara.  Teori negara biasa muncul dari empat jurusan. Pertama, mengacu pada teori tentang khilafah yang timbul dari realitas sejarah sesudah Nabi Muhammad Saw. Wafat. (Manzhur, 1968, 83). Istilah Khilafah  mengandung arti”perwakilan”, “pergantian”, atau “jabatan Khalifah”. Istilah ini berasal dari kata Arab, khalf  yang berarti  wakil, pengganti dan penguasa. (Syahrur,1990,918).  Dalam perspektif politik sunni, khilafah didasarkan pada  dua rukun, yaitu: konsensus elit politik (ijma’) dan pemberian legitimasi (bay’ah). (Enayat, 1988, 9). Oleh karenanya, setiap pemilihan pemimpin Islam , cara yang digunakan dengan memilih pemimpin yang ditetapkan oleh elit politik. Setelah itu baru dibay’ah oleh rakyatnya.  Kedua, bertolak dari imamah yang terutama berkembang di lingkungan Syi’ah (Imam). (Ridha, tt., 10). Dalam lingkungan Syi’ah imamah menekankan dua rukun, yaitu kekuasaan imam (wilayah) dan kesucian imam (ishmah). (Esposito, 1987, 14). Ketiga  dapat pula berkembang dari teori imarah (pemerintahan). (Ma’luf, 1973,192). Dan  Keempat bisa juga berasal dari konsep dawlah. Istilah dawlah berasal dari bahasa Arab yakni dawlah yang berarti; bergilir beredar dan berputar (rotate, alternate, take turns, or occur periodically). Kata ini dapat diartikan sebagai kelompok social yang menetap pada suatu wilayah tertentu dan diorganisir oleh suatu pemerintahan yang mengatur kepentingan dan kemaslahatan umat.(Ahmed, 1988, 47). Namun menurut Olaf Schumann, istilah dawlah adalah dinasti atau wangsa, yaitusistem kekuasaan yang berpuncak pada seorang pribadi yang didukung didukung oleh keluarganya atau clan-nya. (Schumann, 1999, 59). Analogi keempat kata tersebut tampak pula dalam penggunaannya di dalam kitab Fiqih Siyasah. Al-Mawardi dalam karyanya Al-Ahkam al-Shulthoniyah menggunakannya secara bergantian. Tapi istilah khilafah dan imamah lebih popular pemakaiannya dalam berbagai literature ulama Fiqih daripada istilah imarah. Menurut Muhammad Rasyid Ridha, keempat istilah itu mengandung pengertian yang sama yaitu menyangkut pemerintahan yang meliputi kepentingan-kepentingan sekuler (dunia) maupun keagamaan. (Ridha, tt., 10).
Khilafah menurut Ibnu Khaldun adalah tanggung jawab umum yang dikehendaki oleh peraturan syareat untuk mewujudkan kemashlahatan dunia akhirat dengan merujuk kepadanya. Karenanya kemashlahatan akhirat adalah tujuan akhir, maka kemashlahatan dunia seluruhnya harus berpedoman kepada syareat. Hakekatnya , sebagai pengganti fungsi pembuat syareat dalam memelihara urusan agama dan mengatur politik keduniaan.(Khaldun, tt., 134).  Pengertian ini sinonim pula dengan imamah secara istilah. Imamah adalah “Kepemimpinan menyeluruh yang berkaitan dengan urusan keagamaan dan urusan dunia sebagai pengganti fungsi Rasulullah Saw..(Raziq, 1925, 2) Demikian pula pendapat al-Mawardi bahwa imamah dibentuk untuk menggantikan fungsi kenabian Nabi  Saw. Guna memelihara agama dan mengatur kehidupan dunia.(Mawardi, tt., 5).
Pengertian khilafah, imamah dan imarah tersebut, baik dari segi etimologis maupun secara terminologis, menunjukkan bahwa istilah-istilah itu muncul dalam sejarah Islam sebagai sebutan bagi institusi politik yang menggantikan fungsi kenabian dalam urusan agama dan urusan politik.
Secara historis institusi khilafah muncul sejak terpilihnya Abu Bakar sebagai khalifah Rasulullah (pengganti Rasulullah) dalam memimpin umat Islam sehari setelah beliau wafat. Kemudian setelah Abu Bakar wafat berturut-turut terpilih Umar Ibnu al-Khaththab, Usman Ibnu Affan dan Ali Ibnu Abi Thalib dalam kedudukan yang sama. Jadi perkembangan arti khilafah dari “penggantian” kepada pemerintahan alias “institusi pemerintah” dirasionalisasikan dan diberi label agama yang dikaitkan dengan kedudukan Abu Bakar dan penerusnya dalam memimpin umat Islam dalam urusan agama dan politik. Keempat konsep di atas  sebenarnya masih dapat dibeda-bedakan. Teori khilafah dan dawlah dapat dipakai untuk memahami gejala negara, teori imarah untuk gejala pemerintahan, sedang teori imamah untuk gejala kepemimpinan masyarakat.
Terlepas dari adanya pengertian yang varian dari empat teori negara di atas. Bagi penulis, walaupun Islam  dengan tegas tidak menyebut bentuk atau sistem suatu negara. Negara adalah sebuah kaharusan dan kebutuhan suatu masyarakat. Dalam hukum syara’ kekuasaan adalah wajib syar’iy. Ini tidak hanya berdasarkan tradisi yang telah diciptakan Nabi Saw., tetapi juga berdasarkan suatu ajaran agama. Karena itu maka diperlukan suatu lembaga kekuasaan untuk menyelenggarakan kepentingan (amanat) masyarakat  dan menegakkan keadilan. Lembaga kekuasaan itu kemudian diwujudkan menjadi ulu al-amr (baca ulul amr), suatu lembaga yang mempunyai kewenangan untuk memerintah dan menyelenggarakan kepentingan umum. Tapi bagaimana kepentingan umum itu dapat diidentifikasikan dan dirumuskan  ? Dalam suarat al-Nisa’ ayat 114 dijelaskan yang artinya :
Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka , kecuali bisikan-bisikan dari orang  yang menyuruh  (manusia) untuk membelanjakan hartanya, atau berbuat yang ma’ruf dan mengadakan  perdamaian (kerukunan) di antara manusia.

Teori-teori di atas untuk bisa berkembang lebih lanjut perlu dikonfrontasikan dengan realitas histories  (sejarah) atau realitas politik. Refleksi dari kenyataan empiris bersifat menguji ketepatan teori-teori di atas. Teori ini telah menjadi model realitas (mode  of reality)  yang memuat gambaran kenyataan dalam abstraksi.



C.   HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA
Dengan menengok selintas negara-negara yang saat ini dikenal sebagai negara Islam, kita dapat melihat atau bahkan menyimpulkan adanya variasi dalam konsep Islam sebagai dasar negara. Variasi seperti ini dapat dihubungkan dengan kenyataan tidak pernah adanya consensus  di antara para ulama dalam interpretasi mereka tentang ajaran maupun sejarah Islam yang digunakan sebagai dasar dalam membangun suatu system yang Islami. (Khan, 1985, 127)
Dalam pemikiran  politik Islam terdapat, paling tidak tiga paradigma tentang hubungan agama dan negara. (Sjadzali, 1993, 1-2). Kendati Islam dipahami sebagai agama yang memiliki totalitas, dalam pengertian meliputi keseluruhan aspek kehidupan manusia, termasuk politik, namun sumber-sumber Islam juga mengajukan pasangan istilah seperti Dunya-akhirat, din-dawlah . Pasangan istilah-istilah tersebut menunjukkan adanya perbedaan konseptual dan mengesankan adanya dikotomi.
Paradigma pertama memecahkan masalah dikotomi tersebut dengan mengajukan konsep bersatunya agama dan negara..  Agama (Islam) dan negara dalam hal ini, tidak dapat dipisahkan (integrated). Paradigma ini dikenal dengan nama  Paradigma integralistik ( Unified Paradigm) (Wahid, 2001, 24).Wilayah agama juga meliputi politik dan negara. Karenanya menurut paradigma ini, negara merupakan lembaga politik dan keagamaan sekaligus. Pemerintahan negara diselenggarakan atas dasar kedaulatan Ilahi (divine sovereignty),  karena memang kedaulatan itu berasal dan berada di tangan Tuhan. (Khumaini, 1981, 55). Dalam kaitna ini kita sering  mendengar pernyataan  umum bahwa Islam adalah din wa dawlah (Islam adalah agama dan  negara). Statement ini muncul dari adanya  interpretasi bahwa Islam adalah agama yang sempurna dan mengandung segalanya. Sehubungan dengan ini hassan al-Banna menyatakan : Islam adalah tata aturan yang lengkap meliputi semua segi kehidupan. Islam adalah negara dan bangsa atau pemerintahan dan masyarakat. Moral dan kekuasaan (Banna, 1371, 1). Senada dengan itu al-Mawdudi mengatakatan : “ Syariat adalah skema kehidupan yang sempurna dan melipuiti seluruh tatanan kemasyarakatan; tidak ada yang lebih dan tidak ada yang kurang. (Mawdudi, 1967,243). Paradigma ini dianut oleh kelompok Syi’ah. Paradigma pemikiran Syi’ah memandang bahwa negara (istilah yang relevan dengan hal ini adalah imamah) adalah lembaga keagamaan dan mempunyai fungsi keagamaan. Menurut pandangan Syi’ah, berhubung legitimasi keagamaan berasal dari Tuhan dan diturunkan lewat garis keturunan Nabi Muhammad Saw., legitimasi politik ini harus berdasarkan legitimasi keagamaan dan hal ini hanya dimiliki oleh para keturunan  Nabi Saw. Imam dalam keyakinan mereka adalah sesuatu yang sacral (ma’shum) sebagai salah satu dasar agama. Pengangkatannya berdasaran wasiat melalui nash syareat serta menempatkannya pada posisi Nabi.(Nazmi, tt., 116-117). Kedudukan imam dalam pandangan Syi’ah berfungsi sebagai pemimpin spiritual juga berfungsi sebagai pemimpin politik. Pandangan ini sebenarnya bertolak belakang dengan pandangan Imam Syi’ah  sendiri Ja’far al-Shadiq yang secara efektif memisahkan agama dari poltik, seperti yang ditulis oleh Karen Armstrong dalam bukunya The Battle for God (46, dikutip dari Asysyaukani, Internet).
Berbeda dengan paradigma pemikiran politik Sunni, yang menekankan ijma’ (pemufakatan) dan bay’ah (pembaitan) kepada kepala negara (“khalifah”), paradigma Syi’ah menekankan walayah (kecintaan dan pengabdian kepada Tuhan) dan ishmah (kesucian dari dosa), yang hanya dimiliki oleh para keturunan Nabi Saw. Sebagai yang berhak dan absah untuk menjadi kepala negara (Imam).(Enayat, 1992, 6). Dan yang boleh berlaku hanyalah hukum dari Tuhan. (Khumaini, 1981, 55).
Paradigma penyatuan agama dan negara juga menjadi anutan kelompok Fundamentalisme Islam yang cenderung berorientasi pada nilai-nilai Islam yang dianggapnya mendasar dan prinsipil. Paradigma Fumndamentalis menekankan totalitas Islam. Menurut salah satu tokoh kelompok ini, al-Mawdudi, syariah tidak mengenal pemisahan antara agama dan negara. Syariah adalah skema kehidupan yang sempurna dan meliputi seluruh tatanan kemasyarakatan, tidak ada yang lebih dan tidak ada yang kurang.(Mawdudi, 1967, 243.).
Paradigma kedua, memandang agama dan negara berhubungan secara simbiotik, yaitu berhubungan timbal balik dan saling memerlukan. Paradigma ini disebu dengan  Paradigma Simbiotik (Symbiotic Paradigm). Dalam hal ini agama memerlukan negara, karena dengan negara agama dapat berkembang. Sebaliknya negara memerlukan agama, karena dengan agama , negara dapat berkembang dalam bimbingan etika dan moral.
Pandangan tentang simbiosa agama dan negara ini dapat ditemukan , umpanya dalam pemikiran al-Mawardi. Pada baris pertama dari karyanya yang terkenal, al-Ahkam al-Sulthaniyah, al-Mawardi menegaskan bahwa kepemimpinan negara (imamah) merupakan instrumen untuk meneruskan misi kenabian guna memelihara agama dan mengatur dunia. (Mawardi, tt., 5). Pemeliharaan agama dan pengaturan dunia merupakan dua jenis aktifitas yang berbeda, namun berhubungan secara simbiotik. Keduanya merupakan dua dimensi dari misi kenabian.
Dalam kerangka hubungan simbiotik ini, Ibnu Taymiyah dalam al-Siyasah al-Syar’iyah (1979,162) juga mengatakan: Sesungguhnya adanya kekuasaan yang mengatur urusan manusia merupakan kewajiban agama yang terbesar, sebab tanpa kekuasaaan agama tidak bisa berdiri tegak.
Paradigma ketiga bersifat sekularistik (Secularistic Paradigm).. Paradigma ini menolak baik hubungan integralistik maupun hubungan simbiotik antara agama dan negara. Sebagai gantinya  paradigma sekularistik mengajukan pemisahan antara agama dan negara. Dalam konteks Islam paradigma sekularistik menolak pendasaran negara kepada Islam, atau paling tidak menolak determinasi Islam akan bentuk tertentu suatu negara.
Salah seorang pemerakarsa paradigma ini adalah  ‘Ali Abd al-Raziq, seorang cendekiawan Muslim dari Mesir.. Pada tahun 1925 M. ia menerbitkan sebuah risalah yang berjudul al-Islam wa Ushul al-Hukm , yang menimbulkan kontroversi dan menyebabkan ia dipecat dari jabatannya sebagai Hakim Agama oleh semacam Majlis Ulama Mesir. Argumen utama Ali Abd al-Raziq adalah bahwa kekhalifahan tidak mempunyai dasar baik dalam al-Qur’an maupun al-Hadis. Kedua sumber ini tidak menyebutkan istilah khilafah dalam pengertian kekhalifahan yang pernah dilakukan dan ada dalam sejarah. Lebih dari itu, tidak ada petunjuk yang jelas dalam al-Qur’an dan al-Hadis yang menentukan suatu bentuk system politik (baca system negara) untuk didirikan oleh umat Islam.(Raziq, 1925, 42).  Ali Abd al-Raziq menolak keras pendapat bahwa Nabi pernah mendirikan suatu negara Islam di Madinah. Menurutnya Nabi Saw. adalah semata-mata utusan Tuhan, bukan seorang kepala negara atau pemimpin politik.(Raziq, 1925, 42).   Dalam hal ini Ali Abd al-Raziq bermaksud membedakan antara agama dan politik, tepatnya antara misi kenabian dan aktifitas politik. Memisahkn domain wahyu dan domain ijtihadi.

D.  PENUTUP
Adanya pendapat yang varian dalam proses pencarian konsep tentang negara, para pemikir politik Islam berhadapan dengan dua tantangan yang saling tarik menarik, yaitu tantangan realitas politik yang harus dijawab dan tantangan idealitas agama yang harus dipahami  untuk menemukan jawaban. Oleh karena itu, perbedaan konsepsi lebih berada pada tataran metodologis, yang pada gilirannya menentukan perbedaan pada substansi pemikiran dan tindakan.
Agama adalah sesuatu yang sakral (suci), dan negara  (politik) adalah sesuatu yang profan. Kita harus tegaskan itu, karena keterlibatan agama dalam  wilayah politik  akan membuka kembali potensi-potensi pelecehan terhadap agama. Ingat pernyataan Gus Dur yang berkaitan dengan ICMI, “ Saya tidak mau masuk ICMI justru karena saya tak mau ikut berebut pangkat. Sebab di sana sangat banyak orang yang begitu.(Tempo,10-11-1991).  Kita tahu bahwa ICMI adalah organisasi yang mengatasnamakan agama yang hanya sekedar menjadi alat kekuasaan (politik). Oleh sebab itu kita harus mempunyai komitmen keimanan yang benar sebagai sebuah fondasi mentransendenkan Tuhan dari tangan-tangan yang ingin mendistorsikannya, dan sekaligus membebaskannya dari tangan-tangan kotor oportunis politik , yang selalu memanipulasi  ajaran agama dan membawa nama Tuhan  serta agamanya  dalam setiap tindakannya.
Kalau kita mau serius membersihkan dan mensucikan agama dari noda politik (kekuasaan) . Kita harus keluarkan agama dari politik, atau kita keluarkan politik dari agama:   agama is agama, politik is politik. Pemisahan ini tidak berlaku dalam hal yang bersifat etis dan moral. Akan tetapi pemisahan ini hanya berlaku  dalam pendekatan teknis struktural dan praktis prosedural, yang memang menjadi lahan pemikiran manusia. Dalam hal ini, memang besar sekali peranan pemikiran ijtihadi manusia. Inilah sesungguhnya essensi dari sebuah proses sekularisasi dalam Islam , yaitu menduniakan hal-hal atau nilai-nalai yang semestinya bersifat dunia dan melepaskan  umat Islam dari kecenderungan mengakhiratkannya.
Dari berbagai varian yang ada , secara umum penulis dapat membedakan beberapa polarisasi kecenderungan di kalangan  pemikir politikus Islam dalam memandang konsep negara sebagai berikut: Antara skripturalistik dan Rasionalistik, dan antara Idealistik dan Realistik serta antara Formalistik dan Substantivistik.
DAFTAR PUSTAKA


Ahmed, Manzooruddin, al-Nazhariyah al-Siyasah al-Islamiyah fi al-‘Ashr al-Hadits, Karaci, Pakistan, 1988.
Al-Banna, Hassan,  al-‘Aqaid, Syarh Ushul al-‘Isyrin Ila al-Syabab,  Maktabah al-manar al-Islamiyah, Kuwait, 1371 H.
al-Din, Muhammad Dhiya’, Al-Nazhariyah al-Siyasah al-Islamiyah, Maktabah al-Anjalu al-Mishriyah, Mesir, 1957..
al-Raziq ,Ali Abd, Al-Islam wa Ushul al-Hukm, Al-Qahirah, Mesir, 1925.
Al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sulthaniyah, Dar al-Fikr, Beirut, tt., .
Enayat Hamid,, Modern Islamic Political Thought, Austin, 1992.
Esposito,John L., Living Islam : Tamasya Budaya Menyusuri Samarkand hingga stonorway, Terj., Pangestuningsih, mizan, Bandung, 1997.
Ibnu Khaldun ,Abd al-Rahman, Muqaddimah, Dar al-Fikr, Beirut, tt..
Karen Armstrong,The Battle for God, dalam Luthfi Assyaukanie, dalam  kelompok diskusi Milis,  Akar-Akar Sekularisme dalam Islam, Internet.
Khan, Omar Asghar Political and Economic Aspects of Islamization, dalam Omar Asghar Khan, Khan (Ed.), Islam, Politics and State, Zed Books, London, 1985.
Khumaini,Imam, Islam and Revolution, Writing and Declaration of Imam Khumaini, terj. Hamid al-Gar, Berkely, 1981.
Kuntowijoyo, Paradigma Islam, Mizan, Bandung, 1991.
Madjid, nurcholish,  Agama Dan Politik dalam Ioslam, Jurnal Pemikiran Islam Paramadina,  Vol. I Nomor 1 Juli- Desember 1998.
Manzhur, Ibnu , Lisan al-Arab, Vol. IX, Dar al-Shadr, Beirut, 1968.
Mawdudi, Political Theory of Islam , dalam Khurshid Ahmad (ed.), Islamic Law and Constitution, Lahore, 1967.
Nazhami  S., M. Aziz, Al-Fikr al-Siyasi wa al-Hukm fi al-Islam, Muassasat Syabab, Iskandariyah, tt..
Ridha, Rasyid, Al-Khilafah aw al-Imamah al-Uzhmah, Al-Manar, Al-Qahirah, tt..
Schumann, Olaf, Dilema Islam Kontemporer: Antara Masyarakat Madani dan Negara Islam, Jurnal Pemikiran Islam Paramadina, Vol  1 Nomor 2  , 1999.
Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara,; Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, UI Press, Jakarta, 1993.
Taymiyah, Ibnu, Al-Siyasah al-Syar’iyah fi Ishlah al-Ra’yi wa al-Ra’iyyah, Dar al-Kitab al-‘Arabi, Mesir, 1979.
Wahid, Marzuki dan Rumadi, Fiqh Madzhab Negara: Kritik Atas Hukum Islam Di Indonesia, LkiS, Yogyakarta, 2001.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar