TRADISI NGOSEK
PONJEN
(Refleksi ajaran Islam dan budaya lokal pada
masyarakat Osing Banyuwangi)
A. Latar
Belakang
Manusia hidup di berbagai belahan
dunia membentuk bangsa-bangsa dengan berbagai bentuk postur, karakter, adat,
budaya, tradisi dan pandangan hidupnya yang beranekaragam sesuai dengan
karakteristik lingkungan alam dan geografis tempat hidup mereka. Proses adaptasi manusia dengan alam akan
melahirkan budaya lokal dalam masyarakat.
Tradisi dan budaya lokal
semacam ini dapat ditemui ketika masa awal tersebarnya Islam di pulau Jawa.
Kontak kebudayaan antara para pendatang yang sering singgah di wilayah pesisir
pada masa-masa awal Islam di Jawa menyebabkan adanya proses tarik menarik
antara tradisi dan budaya lokal dengan budaya luar yang tak jarang menghasilkan
dinamika budaya masyarakat setempat..[1]
Pertemuan ajaran Islam dan
budaya lokal yang membentuk masyarakat adat muslim dapat dijumpai pada
masyarakat suku Osing Banyuwangi yang teguh untuk melestarikan kebudayaan nenek
moyangnya terutama pada hal-hal yang berhubungan dengan laku kehidupan
sehari-hari.
Tradisi dan budaya suku Osing
di Banyuwangi ini merupakan perwujudan atas pemahaman nilai-nilai spiritual
keagamaan yang dimanifestasikan dalam bentuk-bentuk tatanan hidup dan sosial
kemasyarakatan. Adat atau budaya
masyarakat seperti ini tidak dapat dilepaskan dengan pemahaman dan
kepercayaan yang mereka anut.
Potret tradisi masyarakat Osing Banyuwangi yang
mencerminkan keterkaitan antara budaya lokal dan pemahaman keagamaan salah
satunya adalah tradisi kosek ponjen yang
diselenggarakan sebagai manifestasi pemahaman agamanya. Tradisi ini adalah tradisi komunal dan sebagian
besar warga mengikutinya. Pada zaman dulu tradisi ini diselenggarakan pada
pernikahan anak kemunjilan ( bungsu ). Tradisi ini dipimpin oleh tokoh budayawan osing senior yang
sekaligus bertindak sebagai pelaksana kosek ponjen atau dikenal dengan
istilah perang bangkat untuk
pengantin bungsu.[2]
Menurut tetua adat Osing
Banyuwangi, tradisi Kosek Ponjen atau Perang Bangkat sudah jauh dilakukan oleh
nenek moyang suku Osing sebagai wujud rasa sayang mereka kepada anak kemunjilan
(bungsu). Sedangkan mereka hanya bertanggung jawab mewarisi peradaban budaya
dengan tetap melestarikannya. Masyarakat suku Osing Banyuwangi percaya bahwa
tradisi ini diwariskan untuk kebaikan dan kebahagian pengantin khususnya dan
masyarakat suku Osing Banyuwangi pada umumnya, karena tradisi ini mengandung
ajaran-ajaran tentang kehidupan berumah tangga yang tersirat pada setiap
pelaksanaan ritual dan sesajen-sesajennya.[3]
Bertolak dari latar belakang
di atas, tradisi kebudayaan masyarakat ” Osing muslim ” Banyuwangi dengan
Ngosek ponjennya menarik untuk diteliti. Sebab masyarakat suku Osing
menggunakan tradisi ini sebagai media menciptakan keharmonisan rumah tangga
melalui ritual-ritual dan sesajennya. Berdasarkan keingintahuan peneliti
tersebut maka penelitian ini dikemas dengan judul: “ Tradisi
Ngosek Ponjen ( Refleksi Ajaran Islam Dan Budaya Lokal Pada Masyarakat
Osing Banyuwangi )”.
B. Fokus
dan Tujuan Penelitian
Secara lebih jelas, masalah penelitian
ini diderivasi dalam pernyataan penelitian sebagai berikut:
1.
Tentang proses terjadinya integrasi
antara ajaran Islam dan tradisi lokal yang ada pada tradisi ngosek ponjen.
2.
Tentang pelaksanaan ritual tradisi ngosek
ponjen/perang bangkat.
3.
Tentang makna apa saja yang terkandung
dalam simbol peras-peras ( sesajen-sesajen) pada ritual tradisi ngosek ponjen.
C. Kontribusi Penelitian
Adapun kegunaan yang ingin dicapai
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Penelitian ini memberi
kontribusi bagi catatan sejarah peradaban masyarakat Banyuwangi dalam
mengekspresikan ajaran agamanya. Catatan ini penting bagi pengembangan budaya
masyarakat Banyuwangi di masa yang akan datang.
2. Penelitian ini dapat
memberikan sumbangan ilmu pengetahuan sosial, dengan beberapa pendekatan yang
bersifat multi-dimensional, khususnya yang berkaitan dengan sosial-budaya dan
keagaman.
3. Penelitian ini dapat
memberikan pemahaman analitis terhadap eksistensi dan fungsi tradisi-tradisi
pernikahan bernuansa Islami yang di era modern ini masih dilaksanakan oleh
komunitas masyarakat muslim di Kabupaten Banyuwangi dengan menggunakan istilah Ngosek
Ponjen, dengan pemahaman semacam ini
tidak lagi terjadi kesalahpahaman antara pihak yang tidak mendukung dengan
pihak yang mendukung tradisi ngosek ponjen ini.
4. Lebih jauh lagi, melalui
pengungkapan makna dan fungsi tradisi ngosek ponjen dalam konteks
kehidupan bermasyarakat, diharapkan agar berbagai pihak akan memahami bahwa ada
makna dan nilai-nilai tertentu di balik tradisi pernikahan ngosek ponjen ini,
bukan hanya sekedar berhura-hura. Makna dan nilai-nilai itulah pada gilirannya
akan menjadi anutan dan dilestarikan oleh generasi penerus.
D. Telaah Pustaka
Kajian empirik tentang
tradisi dalam ruang lingkup perkawinan telah banyak dilakukan oleh akademisi
dengan ragam lokus dan prespektif, baik dari sisi antropologi budaya,
antropologi hukum dan lain sebagainya. Seperti pada penelitian Muhammad Subhan
yang meneliti tentang Petungan bulan untuk mantu yaitu pemilihan bulan
untuk menentukan bulan tertentu untuk melangsungkan pernikahan.[4] Adapun hasil penelitian ini adalah
bagi sebagian masyarakat Jawa yang mempunyai hajat perkawinan tidak hanya
melakukan perkawinan begitu saja, tetapi ada proses yang sangat menarik yaitu
proses pemilihan bulan yang diharapkan akan membawa keberuntungan dan
keselamatan dari mara-bahaya, juga hidup kekal dan bahagia bersama pasangannya.
Karena sebagian masyarakat percaya bahwa semua yang diawali dengan kebaikan,
maka yang akan didapatkanpun baik. Pemilihan bulan yang disandarkan pada
“petungan” sebenarnya tidak bertentangan dengan syari’at Islam karena sebagian
sudah diatur dalam al-Qur’an dan Hadits.
Sejalan dengan penilitian
yang dilakukan oleh Muhammad Subhan, Anis Dyah Rahayu juga meneliti tentang
perkawinan dalam masyarakat Jawa. Penelitian tersebut membahas tentang
rangkaian prosesi perkawinan adat Jawa mulai dari nontoni, meminang, peningset,
serahan, pingitan, tarub, siraman, pingitan, resepsi, walimah, dan ngunduh
pengantin.[5] Hasil penelitiannya menunjukkan,
bahwa praktek/tata cara perkawinan adat Jawa ada yang sesuai dengan Islam dan
ada yang tidak sesuai dengan Islam. Sedang yang dianggap sesuai adalah nontoni,
meminang, melamar, upacara midodareni, Upacara ijab, dan upacara panggih.
Sedangkan yang tidak sesuai dengan Islam adalah peningset, srahserahan/asuk
tukon, upacara siraman pengantin, dan resepsi/walimah.
Selain itu, penelitian lain
dilakukan oleh Siti Suaifa. Penelitian ini dilakukan karena ada sebuah tradisi
yang menarik dalam merayakan pernikahan. Tradisi tersebut adalah tradisi Bubak
Kawah dan Tumplek Punjen yang dipercaya oleh masyarakat di Desa Wonokerso Kec.
Pakisaji Kabupaten Malang sebagai harapan agar mendapatkan keselamatan dan
kebahagiaan dalam kehidupan rumah tangganya. Penelitian ini membahas tentang
pelaksanaan dan pandangan hukum Islam terhadap tradisi Bubak Kawah dan Tumplek
Punjen. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pelaksanaan dan
pandangan hukum Islam terhadap tradisi tersebut.[6] Hasil
penelitian saudara Siti Suaifa menunjukkan bahwa tradisi Bubak Kawah dan
Tumplek Punjen terdapat unsur-unsur mistik yang menjadi tradisi pra Islam dan
tidak sesuai dengan ajaran Islam, yaitu adanya sesaji dan di dalam ritual
tersebut juga disertai dengan adanya keyakinan/kepercayaan dari sebagian warga
masyarakat, bahwa hanya dengan mengadakan ritual Bubak Kawah dan Tumplek Punjen
kehidupan rumah tangganya akan selamat sehingga dengan adanya unsur-unsur
itulah tradisi Bubak Kawah dan Tumplek Punjen haram dilaksanakan.
BAB II
KERANGKA TEORITIK
A.
Agama dan Masyarakat
Kajian penelitian ini
menggunakan konsep agama sebagai suatu sistem budaya yang mengatur hubungan
manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan lingkungannya
dalam bentuk pranata-pranata agama. Menurut Zamakhsari Dhofier dan Abdurrahman
Wahid bahwa agama tidak mengandung nilai-nilai di dalam dirinya, tetapi
mengandung ajaran-ajaran yang menanamkan nilai-nilai sosial pada penganutnya,
sehingga ajaran-ajaran agama tersebut merupakan salah satu elemen yang
membentuk sistem nilai budaya[7].
Menurut Durkheim agama adalah
sebuah sistem keyakinan yang dianut dan diwujudkan dalam tindaknan-tindakan
keagamaan oleh suatu kelompok atau masyarakat dalam menginterpretasi dan
memberi respon terhadap apa yang dirasakan dan diyakini sebagai sakral.[8]
Sedangkan Geertz
mendefinisikan agama sebagai suatu sistem budaya. Kebudayaan didefinisikannya
sebagai pola bagi kelakuan yang terdiri dari serangkaian aturan-aturan,
resep-resep, rencana-rencana dan petunjuk-petunjuk yang digunakan manusia untuk
mengatur tingkah lakunya. Kebudayaan dengan demikian juga dilihat sebagai
pengorganisasian pengertian-pengertian yang tersimpul dalam simbol-simbol yang
berkaitan dengan eksistensi manusia.[9]
|
Agama dan
estetika merupakan cara pemahaman yang berbeda yang relevansi antara satu
dengan lainnya tidak merupakan suatu keharusan. Agama bukan hal yang esensial
bagi seni, demikian pula sebaliknya seni terhadap agama. Herbert Read dalam Art
and Society menyatakan bahwa dorongan estetis itu inhern pada
manusia, dan masalah hubungan seni dengan agama terletak dalam pertanyaan,
seberapa jauh suatu agama mengembangkan atau menghambat dorongan itu[10]. Dalam hal ini Max Weber menyatakan bahwa
perbedaan sikap terhadap seni bisa juga terjadi dalam suatu agama, terutama
karena perbedaan kelas sosial, pembawa agama dan pengaruh struktural lainnya.[11]
B. Kebudayaan dan Masyarakat
Jika sistem nilai budaya
sebagai suatu pedoman hidup bagi sebagian besar masyarakat, maka pandangan
hidup lebih kepada individu atau golongan. Oleh karena itu, budaya adalah
sebuah sistem yang mempunyai koherensi. Bentuk-bentuk simbolis yang berupa
kata-kata, benda, laku, mite, sastra, lukisan, nyanyian, musik, kepercayaan
mempunyai kaitan erat dengan konsep-konsep epistemologis dari sistem
pengetahuan masyarakatnya. Sistem simbol dan epistemologis juga tidak bida
terpisahkan dari sistem sosial yang berupa stratifikasi sosial, gaya hidup,
sossialisasi, agama, mobilitas sosial, organisasi kenegaraan dan seluruh perilaku
sosial.[12]
Tradisi Ngosek Ponjen sebagai
suatu proses ritual, adalah bagian ritual yang dipandang sebagai kehendak untuk
memperoleh pengharapan lebih baik di hari esok. Ngosek Ponjen dapat
dikategorikan sebagai slametan. Menurut Gilfford Geertz, slametan terbagi
dalam empat jenis; pertama, berkisar sekitar krisis-krisis kehidupan -
kelahiran, khitanan, perkawinan dan kematian; kedua, berhubungan dengan
hari raya Islam - Maulid Nabi, Idul Fitri, Idul Adha dan sebagainya; ketiga,
berhubungan dengan integrasi sosial desa, misalnya bersih desa (pembersihan
desa dar roh jahat); dan keempat slametan sela yang diselenggarakan
dalam waktu yang tidak tetap, tergantung kepada kejadian luar biasa yang
dialami seseorang - keberangkatan untuk
suatu perjalanan jauh, pindah tempat, ganti nama, sakit, tertekan tenung dan
sebagainya.[13]
C. Islam Menyapa Budaya Lokal
Saling sapa Islam dengan budaya lokal
pertama dilakukan oleh para pedagang muslim yang datang ke Nusantara. Pedagang
menyapa untuk mempromosikan dagangannya sekaligus menawarkan keyakinan
keislamannya. Kekuatan ekonomi sebagai simbol kesejahteraan dan keimanan atau
kepercayaan sebagai dasar kedamaian didialektikan secara bersamaan oleh para
juru dakwah kepada masyarakat. Kesejahteraan dan kedamaian tersebut dimantapkan
secara sosio-religius dengan ikatan perkawinan yang membuat tradisi Islam Timur
Tengah menyatu dengan tradisi Nusantara atau Jawa. Akulturasi budaya ini tidak
mungkin terelakkan setelah terbentuknya keluarga muslim yang merupakan nucleus
komunitas muslim dan selanjutnya memainkan peranan yang sangat besar dalam
penyebaran Islam. Akulturasi budaya ini semakin menemukan momentumnya saat para
pedagang ini menyunting keluarga elit pemerintahan atau keluarga kerajaan yang
berimplikasi pada pewarisan “kekuatan politik” di kemudian hari.[14]
D. Perubahan Budaya: Dari Tradisi Lokal ke
Tradisi Islam Lokal.
Istilah tradisi mengandung
pengertian tentang adanya kaitan masa lalu dengan masa sekarang. Ia menunjuk
kepada sesuatu yang masih ada hingga sekarang. Oleh karena itu, Shiels
sebagaimana dikutip Pranowo secara ringkas menyatakan bahwa tradisi adalah
sesuatu yang diwariskan atau ditransmisikan dari masa lalu ke masa kini. Jadi
ketika berbicara tentang tradisi Islam berarti berbicara tentang serangkaian ajaran
atau doktrin yang terus berlangsung dari masa lalu sampai masa sekarang, yang
masih ada dan tetap berfungsi di dalam kehidupan masyarakat luas.
E. Pengertian Tradisi Dan Makna Simbolis
1. Pengertian Tradisi
Kata tradisi merupakan
terjemahan dari kata turats yang berasal dari
bahasa
Arab yang terdiri dari unsure huruf
wa-ra-tsa. Kata ini berasal dari bentuk masdaryang mempunyai arti segala yang
diwarisi manusia dari kedua orang tuanya, baikberupa harta maupun pangkat dari
keningratan.[15]
E. Pengertian Tradisi Dan Makna Simbolis
1. Pengertian Tradisi
Kata tradisi merupakan
terjemahan dari kata turats yang berasal dari
bahasa Arab yang terdiri dari unsure huruf wa-ra-tsa. Kata ini berasal
dari bentuk masdaryang mempunyai arti segala yang diwarisi manusia dari kedua
orang tuanya, baikberupa harta maupun pangkat dari keningratan.[16]
2.
Pengertian Simbol
Simbol adalah obyek, kejadian, bunyi bicara, atau
bentuk benda tertulis yang diberi makna oleh manusia.[17] Kata simbol berasal dari kata Yunani
Symbolos yang berarti tanda atau ciri yang memberitahukan sesuatu hal kepada
seseorang. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia simbol diartikan sebagai
(lambang) sesuatu seperti tanda, lukisan, perkataan, lencana dan sebagainya,
yang menyatakan sesuatu hal atau mengandung maksud tertentu, misalnya warna
putih ialah lambing kesucian, gambar padi sebagai lambang kemakmuran: atau
berarti juga tanda pengenal permanen (tetap) yang menyatakan sifat, keadaan dan
sebagainya. Misalnya tutup kepala peci merupakan tanda pengenal tutup kepala
nasional Indonesia.[18]
3.
Makna Dan Tujuan Simbol
a.
Dipakai sebagai tanda atau peringatan untuk memperingati suatu kejadian
atau peristiwa tertentu, agar supaya segala kejadian atau peristiwa itu dapat
diketahui atau diingat kembali oleh masyarakat segenerasinya.
b. Dipakai sebagai media atau
perantara dalam religinya. Orang Jawa sangat memuja kepada Yang Maha Kuasa, dan
juga sangat menghormati arwah moyangnya. Disamping itu mereka pun percaya bahwa
Yang Maha Kuasa atau Tuhan, juga menciptakan dunia lain disamping dunia manusia
yaitu alam halus di mana para makhluk halus berada.
c. Dipakai sebagai media pembawa pesan atau nasehat. Sarana komunikasi
yang ada masih sangat terbatas jangkauannya dan kurang tahan terhadap kerusakan
yang disebabkan oleh cuaca alam, maka dipakailah material yang tahan lama
seperti batu-batu, bahasa lisan, suara, cahaya dan warna, serta tindakan
simbolis.
BAB III
Metode Penelitian
A. Paradigma dan Pendekatan
Paradigma adalah pandangan yang mendasar dari
ilmuwan tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari
oleh suatu cabang disiplin ilmu pengetahuan.[20] Paradigma dapat juga
diartikan sebagai kerangka keyakinan yang mengandung komitmen intelektual yang
diterima secara keseluruhan. Paradigma adalah kumpulan longgar dari sebuah
asumsi yang dipegang bersama, konsep atau proporsi yang mengarahkan cara
berfikir dan penelitian.[21] Dari pengertian paradigma di atas dapat diambil
benang merah bahwa paradigma menjadi sebuah Frame of Mind penelitian. Di
dalamnya memuat konsep dan map (peta) kajian secara menyeluruh.
Dalam
penelitian ini, peneliti menggunakan paradigma Antropologi. Antropologi adalah
pemahaman ilmiah tentang tingkah laku sosial dan cultural manusia serta
pemahaman ilmiah secara sistematik terhadap distribusi. Antropologi ini
melakukan strartnya sebagai ilmu tentang evolusi manusia, masyarakatnya serta
kebudayaannya dan kemudian ilmu tentang sejarah perubahan kebudayaan
-kebudayaan manusia di muka bumi.[22] Suatu
segi ilmu antropologi yang menonjol ialah pendekatan secara menyeluruh yang
dilakukan terhadap manusia. Karakteristik antropologi hukum memang terletak
pada sifat pengamatan, penyelidikan, serta pemahamannya secara menyeluruh
terhadap kehidupan manusia. Antropologi dapat digunakan untuk memahami tradisi
dan mata rantai intelektual yang tumbuh dan berkembang dalam lingkaran
kebudayaan atau peradaban.
Sedangkan model pendekatan dalam penelitian ini
adalah pendekatan Etnografi. Penelitian etnografi adalah penelitian untuk
mendeskripsikan kebudayaan sebagaimana adanya. Model ini berupaya mempelajari
peristiwa kultural, yang menyajikan pandangan-pandangan hidup subyek berpikir,
hidup, dan berperilaku. Kegiatan pengumpulan bahan keterangan atau data yang
dilakukan secara sistematik mengenai cara hidup serta berbagai aktivitas sosial
dan berbagai benda kebudayaan dari suatu masyarakat.
Pendekatan etnografi secara sederhana
didefinisikan oleh spradley[23]
sebagai usaha mendeskripsikan kebudayaan suatu komunitas atau kelompok
masyarakat. Tujuannya adalah untuk memahami kebudayaan tersebut menurut
perspektif mereka. Sedangkan Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian
lapangan (field research).
B. Data dan Sumber data
Penelitian ini merupakan
penelitian kualitatif maka sumber data
utamanya adalah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah tambahan seperti
dokumen dan lainnya. [24]
Sementara
itu, data yang diperlukan
dalam penelitian meliputi antara lain:
(1) persepsi komunitas masyarakat tradisi ngosek ponjen, (2 ) prosesi
pelaksanaan tradisi ngosek ponjen (3) makna simbul dan bentuk ritus-ritus
kegamaan serta keterkaitannya dengan peristiwa hidup semisal kehamilan,
kelahiran, menjadi dewasa, kawin, beranak, mati dan kegiatan keagamaan serta
peristiwa lain dalam kehidupan seperti menanam, memanen, menebang, dan bencana
alam.
Data-data tersebut diperoleh
dari informan penelitian. Penentuan tentang informan penelitian dilakukan
dengan teknik purposive sampling, yang dipilih berdasarkan key
informan dan terus mengalir (snow balling) hingga membentuk
informasi yang utuh sesuai dengan fokus penelitian.
C. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi berperan serta (participan
observation), wawancara mendalam (in depth interiview) dan
dokumentasi (document review). [25] Teknik
tersebut digunakan peneliti, karena fenomena akan dapat dimengerti maknanya
secara baik, apabila peneliti melakukan interaksi dengan subyek penelitian
dimana fenomena tersebut berlangsung.
Teknik wawancara yang digunakan dalam penelitian ini
adalah wawancara mendalam, artinya peneliti mengajukan beberapa pertanyaan
secara mendalam untuk menggali informasi selengkap mungkin tentang konsep yang
Mutlak. Sehingga dengan wawancara mendalam ini data-data bisa terkumpulkan
semaksimal mungkin. Orang-orang yang dijadikan informan dalam penelitian ini
adalah kepala desa, tokoh lokal, dan komunitas masyarakat Osing yang diambil
secara purposive.
Ada beberapa alasan mengapa teknik observasi atau pengamatan digunakan
dalam penelitian ini. Pertama, pengamatan didasarkan atas pengalaman
secara langsung pelaksanaan ritus-ritus keagamaan yang biasa terjadi dalam
komunitas masyarakat Osing. Kedua, pengamatan memungkinkan peneliti
untuk melihat dan mengamati sendiri, kemudian mencatat perilaku dan kejadian
sebagaimana yang terjadi pada keadaan sebenarnya. Dengan teknik ini,
peneliti mengamati aktifitas-aktifitas sehari-hari obyek penelitian,
karakteristik fisik situasi sosial dan perasaan pada waktu menjadi bagian dari
situasi tersebut. Selama peneliti di lapangan, jenis observasinya tidak tetap.
Dalam hal ini peneliti mulai dari observasi
deskriptif (descriptive
observations) secara luas, yaitu berusaha melukiskan secara umum situasi sosial dan apa yang
terjadi disana. Kemudian, setelah perekaman dan analisis data pertama, peneliti
menyempitkan pengumpulan datanya dan mulai melakukan observasi terfokus (focused observations). Dan akhirnya,
setelah dilakukan lebih banyak lagi analisis dan observasi yang berulang-ulang
di lapangan, peneliti dapat menyempitkan lagi penelitiannya dengan melakukan
observasi selektif (selective
observations). Sekalipun demikian, peneliti masih terus melakukan observasi
deskriptif sampai akhir pengumpulan data.
Teknik dokumentasi ini digunakan untuk mengumpulkan data dari sumber non
insani, sumber ini terdiri dari dokumen dan rekaman. “Rekaman” sebagai setiap
tulisan atau pernyataan yang
dipersiapkan oleh atau untuk individual atau organisasi dengan tujuan membuktikan
adanya suatu peristiwa terutama yang berkaitan dengan tradisi ngosek ponjen.
Sedangkan “dokumen” digunakan untuk mengacu atau bukan selain rekaman, yaitu
tidak dipersiapkan secara khusus untuk tujuan tertentu, seperti surat-surat,
buku harian, catatan khusus, foto-foto,
dan sebagainya.[26] Teknik dokumentasi ini sengaja digunakan dalam penelitian ini sebab; pertama,
sumber ini selalu tersedia dan murah terutama ditinjau dari konsumsi waktu; kedua,
rekaman dan dokumen merupakan sumber informasi yang stabil, baik keakuratannya
dalam merefleksikan situasi yang terjadi dimasa lampau, maupun dapat dan
dianalisis kembali tanpa mengalami perubahan; ketiga, rekaman dan dokumen
merupakan sumber informasi yang kaya, secara konstektual relevan dan mendasar
dalam konteknya; keempat, sumber ini sering merupakan pernyataan yang legal
yang dapat memenuhi akuntabilitas. Hasil pengumpulan data melalui cara
dokumentasi ini, dicatat dalam format rekaman dokumentasi.
D. Methode Pengolahan dan Analisis Data
Dalam
rangka mempermudah dalam memahami data yang diperoleh dan agar data terstruktur
secara baik, rapi dan sistematis, maka pengolahan data dengan beberapa tahapan
menjadi sangat urgen dan signifikan. Adapun tahapan-tahapan pengolahan data
adalah:
a. Editing
Proses
editing adalah meneliti kembali catatan peneliti untuk mengetahui apakah
catatan tersebut sudah cukup baik dan dapat segera dipersiapkan untuk keperluan
proses selanjutnya.[27] Dalam proses ini, peneliti juga akan
mencermati bahan-bahan yang telah dikumpulkan dengan membuang hal-hal yang
tidak berhubungan dengan penelitian.
b.
Clasifying
Mereduksi data yang ada dengan cara menyusun dan
mengklasifikasikan data yang diperoleh ke dalam pola tertentu atau permasalahan
tertentu untuk mempermudah pembacaan dan pembahasan sesuai dengan kebutuhan
penelitian.
c.
Verifying
Proses verifying adalah memeriksa kembali
(menelaah secara mendalam) data dan informasi yang diperoleh dari lapangan agar
validitasnya bisa terjamin. Dalam proses ini, peneliti akan melakukan cross
check terhadap data yang telah dikumpulkan apabila diperlukan
d. Analyzing
Proses
analyzing akan dilakukan dengan menggunakan teori-teori yang telah dipaparkan
sebelumnya diantaranya menggunakan teori tentang makna simbol-simbol dalam
tradisi Perang Bangkat serta menggunakan teori antropologi tentang Simbol
sebagai pendekatan terhadap jiwa tradisi tersebut. Dengan proses ini, peneliti
akan menganalisa dan menyajikan data-data yang diperoleh dari lapangan baik
dari observasi maupun wawancara dalam bentuk diskriptif kualitatif yakni metode
penelitian yang menghasilkan data diskriptif berupa kata-kata tertulis atau
lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.
e. Concluding
Proses
concluding adalah pengambilan kesimpulan dari data-data yang telah diolah untuk
mendapatkan jawaban.[28] Dalam
proses ini peneliti akan menyimpulkan hasil temuan-temuan dari lapangan untuk
menjawab permasalahan dalam rumusan
masalah.Uji
kredibilitas data atau kepercayaan terhadap data hasil penelitian ini dilakukan
dengan keikutsertaan peneliti, ketekunan pengamatan, triangulasi dan kecukupan referensial.[29]
BAB IV
LAPORAN HASIL PENELITIAN
A. Tradisi Ngosek
Ponjen/Perang Bangkat, Sejarah, Pengertian dan Pandangan masyarakat Banyuwangi
1.
Tradisi Ngosek Ponjen/Perang Bangkat pada Zaman Blambangan
Tradisi ngosek ponjen/perang bangkat sudah ada
sejak zaman Blambangan, akan tetapi mempunyai perbedaan dari segi kemasan,
filosofinya dan prosesinya. Dari penelusuran para budayawan Banyuwangi, Tradisi
ngosek ponjen/perang bangkat di zaman Blambangan adalah upacara adat perkawinan
bagi kemunjilan (anak bungsu) yang menikah dengan sesama kemunjilan atau
selainnya. Sedangkan peras (sesaji) yang disediakan adalah alat pertanian yang
serba kecil (peras pikul), alat-alat dapur (peras suwun), padi
seikat, ketan seikat, jiwawut seikat, bunga jambe satu tongkol, daun berbunga
merah, daun berbunga kuning, bermacam-macam kerupuk, tiga jenis air; air laut,
air gowok (air yang berasal dari hujan yang menggenang pada lobang kayu), ayam
dan telur, satu kantong besar rempah-rempah, sebuah benda peninggalan dalam
satu kotak berukurantinggi 25 cm, lebar 15 cm, dan panjang 25 cm, terbungkus
kain rapi dan dijahit yang tidak boleh dibuka siapapun, kupat, uang logam hasil
pungutan dari sanak saudara, dan kain putih (lawon). Sedangkan upacara tradisi
perang bangkat, pertama, saat surub mempelai pria diarak ke rumah mempelai
perempuan bersama dengan para ahli waris dan pawing adat. Setelah di depan
pintu rumah mempelai perempuan, kain lawon di pasang membentang di depan mempelai
pria dan perempuan, kemudian para pawang mulai bersajak bersahut-sahutan sampai
ada salah satu dari pawang kalah (tidak mampu menjawab), maka dengan kekalahan
itu para mempelai diijinkan untuk bersatu dan kemudian uang hasil pungutan di
tuangkan dimuka mempelai berdua sambil di kelilingi sanak saudara kemudian uang
dikosek.[30] Tradisi pengantin kemunjilan di zaman
kerajaan Blambangan berkuasa, tradisi ini tidak menandakan adanya kesamaan
tujuan dengan ajaran Islam. Tradisi ini berkisar pada ritual mistik dan
kesenian saja, hal ini terlihat dari sesajen yang disiapkan dan prosesinya yang
bernuansa Hindhu-Budha. Sehingga dapat diasumsikan bahwa tradisi perang bangkat
merupakan hasil dari integrasian ajaran Islam ke budaya lokal. Hal ini dilihat
dari performance prosesi pelaksanaan tradisi perang bangkat yang dipandu dan
dipedomani oleh Islam dalam coraknya yang mengambil ajaran Islam sebagai
kerangka seleksi terhadap budaya lokal, seperti prosesi arak-arakan berubah
tujuan sebagai sarana penyiaran perkawinan, setiap akan memulai prosesi selalu
bershalawat kepada Nabi Muhammad, meminta berkah kepada Allah SWT bukan kepada
roh-roh leluhur dan pembacaan sesajen sebagai sarana menasehati pasangan.[31]
2.
Pengertian Tradisi Perang Bangkat dan Ngosek Ponjen
Pengertian tradisi perang bangkat adalah upacara
adat perkawinan bagi kemunjilan yang menikah dengan sesama kemunjilan atau
salah satu dari mereka kemunjilan dengan harapan kehidupan rumah tangganya
bahagia. Sedangkan secara bahasa perang adalah melawan sedang bangkat berasal
blangkep yakni bersama-sama. Sehingga Jika kosa kata perang bangkat digabungkan
didapatkan makna yakni melawan bersama-sama. Secara analitis penggunaan kosa
kata perang bangkat pada penyebutan tradisi ini, dikarenakan dalam prosesi
tersebut terdapat prosesi perangperangan antara pengantin pria dan pengantin
perempuan sebagai wujud perang terhadap sifat psikis anak kemunjilan (bungsu)
yakni manja serta kekanak-kanakan. Dengan prosesi perang-perangan, terkandung
harapan orang tua agar anak kemunjilan mereka mampu melawan sifat-sifat manja
dalam diri mereka.
Masyarakat suku Osing Banyuwangi mempunyai dua
sebutan untuk tradisi ini, yakni tradisi perang bangkat dan ngosek ponjen.
Namun keduanya mempunyai persamaan. Ngosek Ponjen adalah prosesi seremoni mengantarkan
anak kemunjilan ke dalam kehidupan berumah tangga dengan kegiatan yakni ngosek
ponjen (mengusap sari ) sari dalam bahasa Osing adalah uang) di dalam tampah
yang dilakukan oleh seluruh ahli waris anak kemunjilan.
B. Tradisi Ngosek
Ponjen/Perang Bangkat, Sejarah, Pengertian dan Pandangan masyarakat Banyuwangi
1.
Tradisi Ngosek Ponjen/Perang Bangkat pada Zaman Blambangan
Tradisi ngosek ponjen/perang bangkat sudah ada
sejak zaman Blambangan, akan tetapi mempunyai perbedaan dari segi kemasan,
filosofinya dan prosesinya. Dari penelusuran para budayawan Banyuwangi, Tradisi
ngosek ponjen/perang bangkat di zaman Blambangan adalah upacara adat perkawinan
bagi kemunjilan (anak bungsu) yang menikah dengan sesama kemunjilan atau
selainnya. Sedangkan peras (sesaji) yang disediakan adalah alat pertanian yang
serba kecil (peras pikul), alat-alat dapur (peras suwun), padi
seikat, ketan seikat, jiwawut seikat, bunga jambe satu tongkol, daun berbunga
merah, daun berbunga kuning, bermacam-macam kerupuk, tiga jenis air; air laut,
air gowok (air yang berasal dari hujan yang menggenang pada lobang kayu), ayam
dan telur, satu kantong besar rempah-rempah, sebuah benda peninggalan dalam
satu kotak berukurantinggi 25 cm, lebar 15 cm, dan panjang 25 cm, terbungkus
kain rapi dan dijahit yang tidak boleh dibuka siapapun, kupat, uang logam hasil
pungutan dari sanak saudara, dan kain putih (lawon). Sedangkan upacara tradisi
perang bangkat, pertama, saat surub mempelai pria diarak ke rumah mempelai
perempuan bersama dengan para ahli waris dan pawing adat. Setelah di depan
pintu rumah mempelai perempuan, kain lawon di pasang membentang di depan
mempelai pria dan perempuan, kemudian para pawang mulai bersajak
bersahut-sahutan sampai ada salah satu dari pawang kalah (tidak mampu menjawab),
maka dengan kekalahan itu para mempelai diijinkan untuk bersatu dan kemudian
uang hasil pungutan di tuangkan dimuka mempelai berdua sambil di kelilingi
sanak saudara kemudian uang dikosek.[32] Tradisi pengantin kemunjilan di zaman
kerajaan Blambangan berkuasa, tradisi ini tidak menandakan adanya kesamaan
tujuan dengan ajaran Islam. Tradisi ini berkisar pada ritual mistik dan
kesenian saja, hal ini terlihat dari sesajen yang disiapkan dan prosesinya yang
bernuansa Hindhu-Budha. Sehingga dapat diasumsikan bahwa tradisi perang bangkat
merupakan hasil dari integrasian ajaran Islam ke budaya lokal. Hal ini dilihat
dari performance prosesi pelaksanaan tradisi perang bangkat yang dipandu dan
dipedomani oleh Islam dalam coraknya yang mengambil ajaran Islam sebagai kerangka
seleksi terhadap budaya lokal, seperti prosesi arak-arakan berubah tujuan
sebagai sarana penyiaran perkawinan, setiap akan memulai prosesi selalu
bershalawat kepada Nabi Muhammad, meminta berkah kepada Allah SWT bukan kepada
roh-roh leluhur dan pembacaan sesajen sebagai sarana menasehati pasangan.[33]
2.
Pengertian Tradisi Perang Bangkat dan Ngosek Ponjen
Pengertian tradisi perang bangkat adalah upacara
adat perkawinan bagi kemunjilan yang menikah dengan sesama kemunjilan atau
salah satu dari mereka kemunjilan dengan harapan kehidupan rumah tangganya
bahagia. Sedangkan secara bahasa perang adalah melawan sedang bangkat berasal
blangkep yakni bersama-sama. Sehingga Jika kosa kata perang bangkat digabungkan
didapatkan makna yakni melawan bersama-sama. Secara analitis penggunaan kosa
kata perang bangkat pada penyebutan tradisi ini, dikarenakan dalam prosesi
tersebut terdapat prosesi perangperangan antara pengantin pria dan pengantin
perempuan sebagai wujud perang terhadap sifat psikis anak kemunjilan (bungsu)
yakni manja serta kekanak-kanakan. Dengan prosesi perang-perangan, terkandung
harapan orang tua agar anak kemunjilan mereka mampu melawan sifat-sifat manja
dalam diri mereka.
Masyarakat
suku Osing Banyuwangi mempunyai dua sebutan untuk tradisi ini, yakni tradisi
perang bangkat dan ngosek ponjen. Namun keduanya mempunyai persamaan. Ngosek
Ponjen adalah prosesi seremoni mengantarkan anak kemunjilan ke dalam kehidupan
berumah tangga dengan kegiatan yakni ngosek ponjen (mengusap sari ) sari dalam
bahasa Osing adalah uang) di dalam tampah yang dilakukan oleh seluruh ahli
waris anak kemunjilan.
3.
Latar Belakang di selenggarakan Tradisi Perang Bangkat
Keajegan tradisi perang bangkat di Banyuwangi
tidak terlepas dari latar belakang sejarah nenek moyang, sejarah tradisi ini
mengandung ajaran filosofi para leluhur yang dikemas ke dalam sebuah upacara
yang sarat akan simbol-simbol yang penuh makna atau ajaran kehidupan berumah
tangga. Dari sejarah inilah masyarakat suku Osing mengetahui pentingnya tradisi
ini bagi kebahagiaan kehidupan rumah tangga anak kemunjilan.
Menurut bapak Pak Slamet selaku tetua adat di desa
Kemiren Banyuwangi, Sejarah tradisi perang bangkat ini bermula dari beberapa
alasan:
1) Kegelisahan orang tua zaman dahulu
saat akan melepaskan anak kemunjilan mereka untuk mengarungi kehidupan berumah
tangga. Hal ini disebabkan, anak kemunjilan identik dengan anak manja serta
kekanak-kanakan, sehingga ditakutkan tidak akan mampu mengarungi kehidupan
berumah tangga yang dibutuhkan sikap dan sifat kedewasaan.
2)
Adanya perbedaan umur yang jauh antara saudara yang satu dengan yag lain
akibat kebiasaan nenek moyang mempunyai banyak anak. Sehingga ketika
saudara-saudaranya menikah, dengan sendirinya mereka mengurus keluarganya
sendiri-sendiri sehingga anak kemunjilan merasa kemunjilan (sendiri/terkucil)
tidak ada lagi saudara-saudara yang memperhatikan.
3) Anak kemunjilan selalu mendapat harta
sisa-sisa karena semua harta telah diberikan kepada kakak-kakanya secara
herarki. Hal ini mengakibatkan anak kemunjilan mendapatkan harta lebih sedikit
serta tidak berharga, sehingga anak kemunjilan menjadi kerantan-rantan.[34]
Dengan berbagai alasan di atas, maka para leluhur
masyarakat Banyuwangi mengadakan ritual perang bangkat atau ngosek ponjen yang
dalam setiap pelaksanaannya mengandung makna filosofi yakni sebagai sarana
pemberian wejangan (nasehat) dalam mencapai kebahagian rumah tangga serta
bentuk perhatian saudara-saudara kepada saudara kemunjilan dalam hal materi dan
psikologis (wejangan dengan bentuk simbol-simbol sedang ngosek Ponjen adalah
bentuk perhatian keluarga.
4.
Pandangan Masyarakat suku Osing Banyuwangi Terhadap Tradisi Ngosek
Ponjen atau Perang Bangkat
Tradisi perang bangkat merupakan salah satu adat
istiadat yang masih dilestarikan oleh masyarakat suku Osing Kemiren, bagi
mereka tradisi tersebut mempunyai nilai-nilai luhur dalam setiap prosesi yang
dijalankan. Secara umum masyarakat suku Osing banyuwangi sepakat untuk
melestarikan, tanpa ada perbedaan pandangan atau keterpaksaan. Menurut mereka,
tradisi perang bangkat adalah adat istiadat yang harus tetap dilestarikan dan
dijaga sebagai eksistensi nenek moyang.
Hal ini seperti dituturkan oleh bapak Pak
Slametselaku tetua adat desa Kemiren merangkap sebagai modin didesa tersebut.
Anane pelaksanaan Ponjenan ikau
dimulai reng zamane nenek moyang bengen, teko nenek moyang sampe’ diuri-uri
sampe’ saikai kerono ninggalaken seng wanai ono sangsine ikau engko’ ya
kediagau, biyen ono’ uwong ceritane mbah-mbah biyen seng ngosek Ponjen ikau ono
sangsine moro-moro loro seng marai – marai sampe’ rambute gundul terus takon
neng sesepuh deso jare wong tuek kemiren di itung-itung ikai ditageh Ponjen
tapi mergo lalai mergo mokhal kedigau serto disaur mari ikau mbengen kadung
saiki wajib dilasaknano gawe lestarikno adat.
Arti dalam bahasa Indonesia adalah :
Adanya pelaksanaan Ponjenan (tradisi
perang bangkat) dimulai dari zaman nenek moyang dulu, dari nenek moyang sampai
sampai karena meninggalkan tidak berani ada sangsinya, dahulu ada orang
ceritanya mbah-mbah dulu yang tidak melaksanakan ngosek Ponjen tiba-tiba sakit
tidak selesai-selesai sampai rambutnya botak selanjutnya bertanya ke sesepuh
desa katanya orang tua kemiren di hitung-hitung ini diminta Ponjen tapi karena
lupa tapi setelah dilakukan sembuh. Itu tadi dahulu sekarang itu wajib dilaksanakan untuk melestarikan adat.
C.
Pelaksanaan
Tradisi Ngosek Ponjen / Perang Bangkat
a.
Prosesi
Tradisi Perang Bangkat
Pada dasarnya ritual pelaksanaan
tradisi perkawinan di Banyuwangi diawali dengan akad nikah sebagai pertanda
syahnya perkawinan. Bagi masyarakat suku Osing Banyuwangi, kewajiban sebagai
masyarakat beragama lebih diutamakan, sedang adat perkawinan dilaksanakan
sesudah kewajiban pada agama dipenuhi. Hal ini seperti dinyatakan oleh bapak
Pak Slamet selaku tetua adat di desa Kemiren- Banyuwangi:
Kadung ngelaksanakno adat kawin
ikau kudu nikah solong, nikah ikau kewajiban nang agamo’, Adat ikau nomor loro’
nikah solong.kadung nang kemiren ikau agamo karo adat mlaku bareng.[35]
Menurut beliau perkawinan adalah
kewajiban kepada agama, sedangkan adat perkawinan adalah kewajiban kepada
leluhur. Dalam melaksanaan adat perkawinan, masyarakat harus mendahulukan
kewajiban kepada agama yakni menikah sesuai dengan syarat syah dan rukun
pernikahan. Sedangkan kedudukan agama dan adapt istiadat tidak bisa dilepaskan
secara terpisah akan tetapi mempunyai siklus keteraturan yang telah disepakati
bersama.
Seperti
dalam tradisi Jawa pada umumnya, tradisi pemilihan hari juga dikenal dalam adat
istiadat masyarakat suku Osing Banyuwangi tapi tidak menggunakan nogo dino
seperti kebanyakan orang Jawa. Hari baik bagi mereka adalah selain hari naas,
hari naas tersebut yakni hari kematian kedua orang tua atau kerabat dekat.
Pentingnya pemilihan hari didasarkan bahwa, perkawinan adalah hari bahagia yang
harus dilaksanakan pada hari-hari bahagia pula. Waktu pelaksanaan akad nikah
adalah penentuan yang telah disepakati oleh tetua adat dan orang tua calon
mempelai berdua, begitupun dengan waktu surub70 Ritual pelaksanaan tradisi
perang bangkat ini, didapatkan peneliti dari hasil observasi secara langsung
dengan mengikuti jalannya upacara ritual pelaksanaan tradisi perang bangkat di
Kelurahan Panderejo dan Singonegaran Kecamatan Banyuwangi Kota pada tanggal 4 September 2004 dan 2 Maret
2011 di rumah bapak Mansur dan Bapak Saelan, ketika mengadakan ritual tradisi
perang bangkat
untuk anak kemunjilannya. Namun
dalam memaparkan data tentang pelaksanaan tradisi perang bangkat ini, penulis
tidak hanya mengandalkan metode observasi saja, tetapi menggunakan metode
wawancara dengan tujuan jika ada sesuatu yang kurang jelas bagi penulis bisa
ditanyakan melalui proses tanya jawab.
D. Makna Simbol Dalam
Tradisi Ngosek Ponjen / Perang Bangkat
Disini akan diuraikan arti dan maksud peras yang
digunakan dalam ritual tradisi perang bangkat yang peneliti dapatkan dari hasil
wawancara dengan Pak Slamet tetua adat desa Kemiren yang biasa memimpin upacara
ritual tradisi perang bangkat:[36]
a. Dua peras pikul, yang berisi alat-alat
pertanian yang dibuat serba kecil seperti singkal, garu (teter), arit, pacul,
pengutik (mutik), dan dua ikat kayu bakar. Pikul berasal dari kata kerja
memikul, sedang alat-alat pertanian adalah benda yang digunakan para petani
untuk menggarap sawah. Maksudnya bahwa, di dalam kehidupan berumah tangga
seorang suami mempunyai kewajiban memikul tanggung jawab memenuhi nafkah
keluarga.
b. Peras Suwun, yang berisi alat-alat dapur
yang dibuat semua serba kecil, seperti; dandang, kukusan, wajan, sutil, erus,
cuwek (layah), cantuk (uleg-uleg), ereg, welasah, palungan, lompang (bebekan
dan lompang) beserta anak-anaknya. Suwun dalam bahasa Osing berarti meminta dan
menopang, sedangkan alat-alat dapur adalah benda yang digunakan untuk memasak.
Maksudnya bahwa, seorang istri mempunyai hak untuk meminta nafkah dari suami,
yang nantinya dipakai untuk menopang kebutuhan rumah tangga.
c. Dua
bantal dan kloso, Mempunyai arti simbolis yakni hendaknya hidup berumah
tangga mempunyai papan atau rumah untuk berteduh agar keluarga terlindungi.
d. Ayam
yang sedang mengeram lengkap dengan telur dan petarangannya, mempunyai makna
simbolis bahwa tujuan perkawinan adalah untuk mendapatkan keturunan shaleh dan
shalihah. Jadi diharapkan agar kedua pengantin segera mendapatkan keturunan
yang shaleh dan shalehah seperti tujuan perkawinan.
e. Kendi,
makne iso ngundi-ngundi, maksudnya bahwa, , suami istri diharapkan bisa
menghemat pembelajaan dalam rumah tangga.
f. Ramesan, berisi
nasi lengkap dengan lauk pauk dan jajanan pasar, mempunyai maksud agar rumah
tangganya dapat memenuhi pangan demi terwujudnya rumah tangga sejahtera.
g. Rokok, rokok dalam
bahasa Osing adalah udud, ududo mene anget, nyebuto meno inget, artinya dalam
menjalani hidup manusia harus selalu berdzikir mengingat Allah SWT sehingga
terciptalah rumah tangga yang berjiwa spiritual yang diberkahi Allah SWT
h. Banyu arum, mene rum-ruman, dalam bahasa Osing Rum-ruman
adalah sayang-sayangan atau kasih mengasihi, sayang menyayangi. Artinya dalam
berumah tangga pasangan pengantin harus tetap menjaga suasana rumah tangga yang
saling kasih mengasihi dan sayang menyayangi sehingga rumah tangga tetap
tentram.
i. Watu, watu dalam
bahasa Indonesia adalah batu, simbol tersebut bermakna bahwa pasangan suami
istri harus teguh dalam memegang segala prinsip dalam berumah tangga.
j. Sapu, sapu adalah simbol
dari kebersamaan, mempunyai makna simbolis bahwa dalam mengarungi kehidupan
berumah tangga pasangan pengantin harus bersama-sama menjadi satu kesatuan tim
sehingga menjadi tim yang solid sehingga mampu menjaga ketahanan keluarga.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
Dari pembahasan penelitian ini
diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Tentang proses terjadinya integrasi antara ajaran Islam dan
tradisi lokal yang ada pada tradisi ngosek ponjen.
Tradisi ngosek ponjen atau perang bangkat di Banyuwangi tidak terlepas dari
latar belakang sejarah nenek moyang, sejarah tradisi ini mengandung ajaran
filosofi para leluhur yang dikemas ke dalam sebuah upacara yang sarat akan
simbol-simbol yang penuh makna atau ajaran kehidupan berumah tangga. Dari
sejarah inilah masyarakat suku Osing mengetahui pentingnya tradisi ini bagi
kebahagiaan kehidupan rumah tangga anak kemunjilan.
- Tentang pelaksanaan
ritual tradisi ngosek ponjen atau perang bangkat.
Pada dasarnya ritual pelaksanaan tradisi
perkawinan di Banyuwangi diawali dengan akad nikah sebagai pertanda syahnya
perkawinan. Bagi masyarakat suku Osing Banyuwangi, kewajiban sebagai masyarakat
beragama lebih diutamakan, sedang adat perkawinan dilaksanakan sesudah
kewajiban pada agama dipenuhi.
Pelaksanaan
prosesi tradisi ngosek ponjen atau perang bangkat ini sangat sederhana, setelah
hari surub ditentukan, para kedua anggota keluarga pengantin musyawarah untuk
menentukan tempat pelaksanaan ritual tradisi perang bangkat dilaksanakan dan
dimana kedua pengantin dipaes (dirias). Hal ini disebabkan, sebelum prosesi
perang bangkat dilaksanakan, kedua pengantin akan diarak dari tempat paes ke
tempat ritual tradisi tersebut dilaksanakan.
3.
Tentang makna apa saja yang terkandung dalam simbol peras-peras ( sesajen-sesajen) pada ritual tradisi ngosek
ponjen.
Di dalam melaksanakan prosesi ngosek
ponjen atau perang bangkat, masyarakat
suku Osing Banyuwangi harus menyediakan bermacam-macam perlengkapan yang
diistilahkan oleh mereka dengan peras ( sesajen ). Peras ini secara simbolis
masing-masing mempunyai makna dan tujuan tertentu yang berupa nasehat-nasehat
dari nenek moyang yang tersirat dalam setiap simbol-simbol tersebut. Masyarakat
suku Osing menengarai adanya sebuah implikasi simbol-simbol dalam tradisi
tersebut dengan keharmonisan dalam rumah tangga mereka, karena di dalam
simbol-simbol tersebut terdapat sebuah ajaran dalam mengarungi kehidupan
berumah tangga.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdurrahman, Moeslim.. Islam
sebagai Kritik Sosial. Jakarta:
Penerbit Erlangga. 2003
Andang Subaharianto dkk, Tantangan Industrialisasi
Banyuwangi, Malang; Bayumedia Publishing, 2004
Bryan S. Turner, Religion and Sosial, (London; SAGE
Publication, 1991),
Clifford Geertz, Abangan,
Santri, Priyayi, dalam Masyarakat Jawa (Jakarta : Pustka Jaya, 1981
Herbert Read, Art and
Sociaty, (New York; Shocken Books, 1970) bab 3 dalam Kuntowijoyo, Budaya
dan Masyarakat, (Yogya; Tiara Wacana Yogya, 1987
James P. Spradley, Participant
Observation (New York Chicago
San Francisco Dallas
Montreal Toronto London Sydney ,
1980
Koentjaraningrat,
Metode-Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Bina Aksara, 2002)
Kuntowijoyo,
Budaya dan Masyarakat, (Yogyakarta; Tiara Wacana Yogya, 1987
Lofland, Analyzing Social Setting: A Guide to Qualitative Observation and
Analysis, (Belmont , Cal : Wadsworth Publishing Company, 1984.
Matthew B. Miles & AS. Michael
Huberman, Analisis Data Kualitatif, terj. Tjetjep Rohendi Rohidi (Jakarta : UI Press, 1992
Max Weber, The Protestan
Ethic and Spirit of Capitalism, diterjemahkan oleh Yusuf Risasudirja, Etika
Protestan dan Semangat Kapitalisme, (Jakarta; Pustaka Promethe, 2001
Max Weber, The
Sosiology of Religion, (Boston; Beacon Press, 1964) dalam Kuntowijoyo,
Budaya dan Masyarakat, (Yogya; Tiara Wacana Yogya, 1987
Moeloeng, Lexy. J. Metodologi
Penelitian Kualitatif. Bandung :
Rosdakarya. 2005.
Muhaimin
AG. Islam dalam Bingkai Budaya Lokal Potret dari Cirebon, Jakarta:
Logos, 2001
Nana Sudjana dan Ahwal Kusuma,
Proposal Penelitian di Perguruan Tinggi (Bandung: Sinar Baru Algasindo, 2001)
Nur Syam, Islam Pesisir , Yogyakarta: LkiS,
2005
Roberts Keith, Religion
in Sociologocal Perspective, Homewood ,
1994
Roland Robertson, Sociology
of Religion, terj, A. Fedyani Saefudin, Jakarta ; Rajawali Pers, 1992
Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 1996), Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
1996)
Sayid Sabiq, “ Fiqihus- Sunnah “, diterjemahkan oleh
Mohammad Thalib, Jilid, 7 (Cet.1; Bandung: PT Al-Maarif, 1981)
Simuh. ”Interaksi Islam dalam Budaya Jawa” dalam Muhammadiyah
dalam Kritik. Surakarta : Muhammaddiyah
University Press. 2002.
Spradley, J.P., The
Etnographic Interview, Holt, Reinhard and Wilston , N.Y. ,
1979
Sugiyono, Metode
Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan RD, Bandung: Al-Fabeta, 2005
Suwardi Endraswara, Metode, Teori, Teknik
Penelitian Kebudayaan: Ideologi, Epistimologi, dan Aplikasi(Yogyakarta: Pustaka
Widyatama, 2006)
Tomagola,
Anatomi Konflik Komunal di Indonesia, dalam Soleh Isrie Konflik Etno
Religius Indonesia Kontemporer, Jakarta: Badan Litbang Agama, 2003
Zamakhsari
Dhofier dan Abdurrahman Wahid, Penafsiran kembali Ajaran Agama; Dua
kasus dari Jombang, Dalam Prisma, No. 3, Jakarta; LP3ES, 1978
[1] Nur Syam, Islam Pesisir
(Yogyakarta : LkiS, 2005) hlm., 2. Kajian Corak
Islam sinkretik yang menggambarkan mengenai sinkretisme antara budaya Jawa,
Islam dan Hindu/Budhisme yang dikonsepkan sebagai agama Jawa dapat dilihat pada
hasil penelitian Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi, dalam Masyarakat
Jawa (Jakarta: Pustka Jaya, 1981). Sedangkan kajian corak Islam akulturatif
dapat dilihat dalam Muhaimin AG. Islam dalam Bingkai Budaya Lokal Potret
dari Cirebon (Jakarta : Logos, 2001)
[4] Muhammad Subhan, Tradisi Perkawinan Masyarakat Jawa Di Tinjau Dari Hukum
Islam (Kasus di Kelurahan Kauman Kec. Mojosari Kab. Mojokerto), UIN Malang,
2004
[5] Anis Dyah Rahayu, Tinjauan Islam Tentang
Prosesi Perkawinan Adat Jawa (Kasus di Desa
Bogodeso Kec. Kanigoro, Kab. Blitar), UIN Malang,
2005
Pernikahan (Studi
Kasus di Desa Wonokerso Kec. Pakisaji, Kab. Malang), UIN Malang,2005
[7] Zamakhsari
dan Abdurrahman Wahid, Penafsiran kembali Ajaran Agama; Dua kasus
dari Jombang, Dalam Prisma, No. 3, (Jakarta; LP3ES, 1978) hlm. 27.
[8] Bryan S. Turner, Religion
and Sosial, (London; SAGE Publication, 1991), hlm., 243
[9] Clifford Geertz, religion as
Cultural System, dalam Atropological Approaches to the Study of religion,
(London; SAGE Publication, 1996) hlm.. 35-50.
[10] Herbert Read, Art and
Sociaty, (New York; Shocken Books, 1970) bab 3 dalam Kuntowijoyo, Budaya
dan Masyarakat, (Yogya; Tiara Wacana Yogya, 1987) hlm., 54.
[11] Max Weber, The Sosiology
of Religion, (Boston; Beacon Press, 1964) dalam Kuntowijoyo, Budaya dan
Masyarakat, (Yogya; Tiara Wacana Yogya, 1987) hlm., 54.
[12] Kuntowijoyo, Budaya dan
Masyarakat, (Yogyakarta; Tiara Wacana Yogya, 1987), hlm., xi
[13] Gillford Geertz, Abangan,
Santri dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa, (Jakarta; Pustaka Jaya, 1989)
hlm., 13-14.
[14] Ibda` | Vol. 6 | No. 1 | Jan-Jun 2008 | 110-131 3 P3M STAIN
Purwokerto | Moh. Roqib
[17] Achmad Fedyani Saifudin, Antropologi Kontemporer: Suatu Pendekatan Kritis
Mengenai Paradigma, (Jakarta: Kencana, 2006) 289
[20] Suwardi
Endraswara, Metode, Teori, Teknik Penelitian Kebudayaan:
Ideologi, Epistimologi, dan Aplikasi(Yogyakarta :
Pustaka Widyatama, 2006),9
[23] Spradley, J.P., The Etnographic Interview, Holt, Reinhard
and Wilston , N.Y. , 1979, h. 3.
[24] Lofland, Analyzing Social Setting:
A Guide to Qualitative Observation and Analysis, (Belmont, Cal:
Wadsworth Publishing Company, 1984), 47.
[25] Sugiyono, Metode Penelitian
Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan RD (Bandung: Al-Fabeta, 2005), 309.
[28] Nana Sudjana dan Ahwal Kusuma, Proposal
Penelitian di Perguruan Tinggi (Bandung: Sinar Baru
Algasindo, 2001), 89
[29] Lexy Moleong, Metodologi Penelitian
Kualitatif, 175
[30] Peneliti
mendapatkan data ini dari wawancara dengan budayawan Banyuwangi H. Armaya 4
april 2011
[32] Peneliti mendapatkan data ini dari wawancara dengan
budayawan Banyuwangi H. Armaya 4 april 2011
[34] Kerantan-rantan dalam bahasa jawa adalah nelongso sedangkan dalam bahasa
Indonesia adalah khawatir
[35] Pak Slamet, Wawancara (desa
Kemiren, 02 April 2011)
[36] Pak Slamet,
Wawancara (desa Kemiren, 20 April 2011)
Terlalu banyak bacaannya aku pusyyiinnnngggg
BalasHapuskalo mau tau sejarah memang perlu kesabaran untuk membaca
HapusUrutanya upacara ngosek ponjen aku kagak ngerti
BalasHapus