TRADISI
MULUDAN ENDOG - ENDOGAN
( Refleksi Ajaran Islam dan Budaya
Lokal pada Masyarakat Banyuwangi )
By. HM. Syamsudini, M.Ag
I.
Latar
Belakang
Manusia hidup di berbagai belahan dunia membentuk bangsa-bangsa
dengan berbagai bentuk postur, karakter, adat, budaya, dan pandangan hidupnya
yang beranekaragam sesuai dengan karakteristik lingkungan alam dan geografis
tempat hidup mereka. Proses adaptasi manusia dengan alam akan melahirkan budaya
lokal dalam masyarakat.
Tradisi dan budaya lokal semacam ini dapat ditemui ketika masa awal
tersebarnya Islam di pulau Jawa. Kontak kebudayaan antara para pendatang yang
sering singgah di wilayah pesisir pada masa-masa awal Islam di Jawa menyebabkan
adanya proses tarik menarik antara budaya lokal dengan budaya luar yang tak
jarang menghasilkan dinamika budaya masyarakat setempat.
Salah satu daerah yang mencerminkan hubungan antara tradisi Islam
dan lokal (apakah bercorak sinkretik dan atau bercorak akulturatif?) adalah
Kabupaten Banyuwangi yang mempunyai tradisi Muludan Endog-Endogan yang diselenggarakan untuk menandai kelahiran
Nabi Muhammad saw. Upacara ini adalah upacara komunal dan sebagian besar warga
mengikutinya. Pada zaman dulu upacara ini diselenggarakan di rumah - rumah
warga masyarakat sekarang dialihkan di langgar atau masjid bahkan pada sebagian
warga desa mengadakan di lapangan terbuka. Upacara ini dipimpin oleh Kiai atau
tokoh agama.[1]
Tradisi Muludan Endog-Endogan pada masyarakat Banyuwangi
memiliki keunikan sendiri. Keunikan tersebut tampak nyata dari berbagai
pelaksanaan upacara ritual yang diselenggarakan oleh mereka semenjak dahulu
maupun yang sekarang. Di dalam upacara tradisi Muludan yang diselenggarakan,
akan tampak adanya sesuatu yang dianggap sakral, suci atau sacred,[2] yang
berbeda dengan yang alami, empiris, atau yang profan.
Tradisi Muludan di Pulau Jawa ( khususnya
Banyuwangi ) bukan merupakan ibadah yang disyariatkan secara formal, melainkan
sebatas tradisi yang berkembang di lingkungan umat Islam yang telah berusia
ribuan tahun. Walaupun bukan salah satu ibadah yang masuk dalam ajaran Islam
sebagaimana idzul fitri, namun pelaksanaan tradisi maulid tidak kalah meriahnya
dibandingkan dengan idzul fitri. Di Yogyakarta, Cirebon, Solo dan beberapa
daerah lain, pelaksanaan maulid Nabi diselenggarakan sangat meriah yang
dibingkai dalam tradisi Sekaten.
Pelaksanaannya pun tidak sekadar satu sampai dua hari, satu minggu sampai dua
minggu, melainkan satu bulan lebih. Acara yang dipagelarkannya pun sangat
beragam, mulai dari kegiatan yang coraknya sangat religius seperti khataman al-qur’an, istighatsah, pengajian akbar, barjanji,
tumpengan, sampai kegiatan yang coraknya sangat sekuler sebut saja di
antaranya bazaar makanan dan pakaian, pagelaran wayang kulit, ketoprak, pentas
musik dangdut yang cenderung seronok,
pertunjukan sirkus, dan semacamnya.
Pelaksanaan tradisi Muludan
Endog-endogan di Banyuwangi tentu merupakan fenomena sosial keagamaan dan
budaya yang cukup menarik dan unik. Di satu sisi dianggap mendatangkan manfaat
ritual bagi sebagian pihak, namun di sisi lain malah menganggap tradisi itu
merupakan tradisi yang tidak Islami karena mengandung unsur syirik.
Inilah yang melatarbelakangi penelitian ini menarik untuk dilakukan secara
komprehensif.
Rumusan Masalah dan Tujuan Penelitian
Secara lebih jelas, rumusan masalah dan tujuan penelitian
ini berkaitan dengan :
1. Proses terjadinya tradisi
Muludan Endog-endogan di Banyuwangi ?
2. Faktor-faktor yang
melatarbelakangi tradisi Muludan Endog-endogan tetap dilestarikan masyarakat
Banyuwangi?
3. Kegiatan-kegiatan
yang ada dalam tradisi Muludan Endog-endogan ?
II. KERANGKA
TEORITIK
A. Islam Menyapa Budaya Lokal
Saling
sapa Islam dengan budaya lokal pertama dilakukan oleh para pedagang muslim yang
datang ke Nusantara. Pedagang menyapa untuk mempromosikan dagangannya sekaligus
menawarkan keyakinan keislamannya. Kekuatan ekonomi sebagai simbol
kesejahteraan dan keimanan atau kepercayaan sebagai dasar kedamaian
didialektikan secara bersamaan oleh para juru dakwah kepada masyarakat.
Kesejahteraan dan kedamaian tersebut dimantapkan secara sosio-religius dengan
ikatan perkawinan yang membuat tradisi Islam Timur Tengah menyatu dengan
tradisi Nusantara atau Jawa. Akulturasi budaya ini tidak mungkin terelakkan
setelah terbentuknya keluarga muslim yang merupakan nucleus komunitas muslim
dan selanjutnya memainkan peranan yang sangat besar dalam penyebaran Islam.
Akulturasi budaya ini semakin menemukan momentumnya saat para pedagang ini
menyunting keluarga elit pemerintahan atau keluarga kerajaan yang berimplikasi
pada pewarisan “kekuatan politik” di kemudian hari.[3]
Tiga
daerah asal para pedagang tersebut dari Arab (Mekah-Mesir), Gujarat (India),
dan Persia (Iran) tersebut menambah varian akulturasi budaya Islam Nusantara
semakin plural. Hal ini bisa dirujuk adanya gelar sultan al-Malik bagi raja
kesultanan Samudra Pasai. Gelar ini mirip dengan gelar sultan-sultan Mesir yang
memegang madzhab syafi’iah, gaya batu nisan menunjukkan pengaruh budaya India,
sedangkan tradisi syuroan menunjukkan pengaruh budaya Iran atau Persia yang syi’ah.[4] Budaya Islam Nusantara
memiliki warna pelangi dengan rasa “rame-rame”.
Asimilasi
budaya dan akomodasi pada akhirnya menghasilkan berbagai varian keislaman yang
disebut dengan Islam lokal yang berbeda dengan Islam dalam great tradition.
Fenomena demikian bagi sebagian pengamat memandangnya sebagai penyimpangan
terhadap kemurnian Islam dan dianggapnya sebagai Islam sinkretis. Meskipun
demikian, banyak peneliti yang memberikan apresiasi positif dengan menganggap
bahwa setiap bentuk artikulasi Islam di suatu wilayah akan berbeda dengan
artikulasi Islam di wilayah lain. Untuk itu gejala ini merupakan bentuk kreasi
umat dalam me-mahami dan menerjemahkan Islam sesuai dengan budaya mereka
sendiri sekaligus akan memberikan kontribusi untuk memperkaya mozaik budaya
Islam. Proses penerjemahan ajaran Islam dalam budaya lokal memiliki ragam
varian seperti ritual suluk bagi masyarakat Minangkabau6 yang mengikuti tarekat
Naqsyabandiyyah, sekaten di Jogjakarta, lebaran di Indonesia, dan lain
sebagainya.
Persinggungan Islam
di Jawa dengan budaya kejawen dan lingkungan budaya istana (Majapahit) mengolah
unsur-unsur hinduisme dan budaya pedesaan (wong cilik) yang tetap hidup
meskipun lambat laun penyebaran dan tradisi keislaman semakin jelas hasilnya.
Budaya Islam masih sulit diterima dan menembus lingkungan budaya Jawa istana
yang telah canggih dan halus itu. Penolakan raja Majapahit tidak terhadap agama
baru, membuat Islam tidak mudah masuk lingkungan istana. Untuk itu para dai
agama Islam lebih menekankan kegiatan dakwahnya dalam lingkungan masyarakat
pedesaan, terutama daerah pesisiran dan diterima secara penuh oleh masyarakat
pedesaan sebagai peningkatan budaya intelektual mereka.[5]
B. Perubahan Budaya: Dari Tradisi Lokal ke
Tradisi Islam Lokal.
Istilah tradisi mengandung pengertian tentang
adanya kaitan masa lalu dengan masa sekarang. Ia menunjuk kepada sesuatu yang
masih ada hingga sekarang. Oleh karena itu, Shiels sebagaimana dikutip Pranowo
secara ringkas menyatakan bahwa tradisi adalah sesuatu yang diwariskan atau
ditransmisikan dari masa lalu ke masa kini. Jadi ketika berbicara tentang
tradisi Islam berarti berbicara tentang serangkaian ajaran atau doktrin yang
terus berlangsung dari masa lalu sampai masa sekarang, yang masih ada dan tetap
berfungsi di dalam kehidupan masyarakat luas.
Tradisi juga bukan sesuatu yang stagnan, karena ia
diwariskan dari satu orang atau generasi ke pada orang lain atau generasi lain.
Akibatnya akan terdapat perubahan-perubahan baik dalam skala besar maupun
kecil. Dengan kata lain, bahwa tradisi tidak hanya diwariskan tetapi juga
dikonstruksikan atau invented dalam
invented tradition, tradisi tidak hanya sekedar diwariskan tetapi juga
dikontruksikan atau serangkain tindakan yang ditujukan untuk menanamkan
nilai-nilai atau norma-norma melalui pengulangan (repitition), yang
secara otomatis mengacu kepada kesinambungan dengan masa lalu.
Jadi, di dalam tradisi ada dua hal yang sangat
penting, yaitu pewarisan dan konstruksi. Pewarisan menunjuk kepada proses
penyebaran tradisi dari masa ke masa, sedangkan konstruksi menunjuk kepada
proses pembentukan atau penanaman tradisi kepada orang lain.
C. Sejarah Tradisi Maulid
Awal mula tradisi Maulid diperkirakan
bersamaan dengan datangnya Wali Songo. Ini bila didasarkan kepada analisis
bacaan-bacaan Maulid adalah karya
besar Ad-Dibaie yang merupakan hasil pemikiran Shalahuddin al-Ayubi, artinya
ada benang merah bahwa Wali Songo yang membawa budaya Maulid yang memang
mengidolakan Sholahuddin Al-Ayyubi dan Abdurrahman Ad-Diba’i, sehingga
tradisinya menjadi menyeluruh di mana-mana.
Ada juga yang berpendapat bahwa
tradisi Maulid disebarluaskan oleh para ulama-ulama Indonesia melalui
modifikasi prilaku masyarakat pada waktu itu seperti minum-minuman keras yang
diganti dengan kegiatan-kegiatan yang lebih positif seperti tahlil, sholawat
dan lain-lain sebagai upaya untuk mendekatkan diri pada Nabi Muhammad saw.
Dalam studi pendahaluan salah
seorang informan, KH. Ma’shum Syafi’i mengatakan bahwa bacaan Maulid yang
dibuat pada masa Shalahuddin al-Ayyubi dan Malik Mughaffar sebagai keberhasilan
para pendahulu kita untuk membumikan Islam di Indonesia dengan proses
pendekatan budaya dan penonjolan sang idola yaitu Nabi Muhammad SAW. sebab
sangat mungkin dapat memotivasi masyarakat untuk mengamalkan ajaran Islam sebagaimana
yang dicontohkan beliau, dengan batasan kita tidak mengkultuskan Nabi Muhammad[6].
Pengkultusan kepada tokoh dilarang oleh Islam sebagaimana yang pernah
dilakukan oleh kaum Nasrani.
Konteks melakukan tradisi Maulid
yaitu menjadikan nabi sebagai
seorang idola yang pantas diteladani melalui syair-syair Ad-diba’ie yang berisi
puji-pujian kepada nabi dan sebagainya, dan secara umum puji-pujian itu tidak
bertentangan dengan puji-pujian kepada nabi yang diberikan oleh Allah seperti
ayat Al-Qur’an ”Laqad kana lakum fi rasulillahi uswatun hasanah”.
Syair-syair Ad-diba’i begitu membumi di Indonesisa sebagai salah satu strategi untuk mendekatkan
diri kepada Allah dan meneladani kehidupan Nabi Muahammad SAW.
Secara umum, tidak ada perbedaan
signifikan tradisi Muludan di Banyuwangi dengan daerah lain. Meski
demikian, ada beberapa persamaan dan
perbedaan, antara lain: persamaannya secara umum dalam pelaksanaan Muludan
masyarakat menggunakan susunan acara
yang dibacakan oleh orang yang diberi amanah shohibul hajat, sambutan atas nama shohibul hajat,
membaca sholawat Diba’ atau Al-Barzanji dan dilanjutkan dengan ceramah agama,
yang lazimnya disampaikan oleh kyai, guru atau tokoh masyarakat, baik dalam
maupun luar kota. Sedangkan perbedaannya di Banyuwangi maulid nabi ditandai
dengan adanya tradisi perayaan endog – endogan, sementara di daerah lain tidak
ditemukan.
III. Metode Penelitian
A. Pendekatan
Penelitian ini menggunakan
pendekatan etnografi. Pendekatan etnografi secara sederhana didefinisikan oleh
spradley[7] sebagai usaha mendeskripsikan
kebudayaan suatu komunitas atau kelompok masyarakat. Tujuannya adalah untuk
memahami kebudayaan tersebut menurut perspektif mereka.
B. Data dan Sumber data
Penelitian ini merupakan
penelitian kualitatif maka sumber data
utamanya adalah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah tambahan seperti
dokumen dan lainnya. [8]
Sementara
itu, data yang
diperlukan dalam penelitian meliputi antara lain: (1) persepsi komunitas masyarakat tradisi
maulid, penamaan mereka atas muludan Endog-endogan dan hal-hal lainnya; (2)
bentuk ritus-ritus kegamaan dan keterkaitannya dengan peristiwa hidup semisal
kehamilan, kelahiran, menjadi dewasa, kawin, beranak, mati dan kegiatan
keagamaan serta peristiwa lain dalam kehidupan seperti menanam, memanen,
menebang, dan bencana alam.
Data-data tersebut diperoleh dari
informan penelitian. Penentuan tentang informan penelitian dilakukan dengan
teknik purposive sampling, yang dipilih berdasarkan key informan
dan terus mengalir (snow balling) hingga membentuk informasi yang utuh
sesuai dengan fokus penelitian.
C. Teknik Pengumpulan Data
Teknik
pengumpulan data yang digunakan adalah observasi berperan serta (participan
observation), wawancara mendalam (in depth interiview) dan
dokumentasi (document review). [9] Teknik
tersebut digunakan peneliti, karena fenomena akan dapat dimengerti maknanya
secara baik, apabila peneliti melakukan interaksi dengan subyek penelitian
dimana fenomena tersebut berlangsung.
Teknik wawancara yang digunakan dalam penelitian ini
adalah wawancara mendalam, artinya peneliti mengajukan beberapa pertanyaan
secara mendalam untuk menggali informasi selengkap mungkin tentang konsep yang
Mutlak. Sehingga dengan wawancara mendalam ini data-data bisa terkumpulkan
semaksimal mungkin. Orang-orang yang dijadikan informan dalam penelitian ini
adalah kepala desa, tokoh lokal, dan komunitas sodong yang diambil secara purposive.
Ada beberapa
alasan mengapa teknik observasi atau pengamatan digunakan dalam penelitian ini.
Pertama, pengamatan didasarkan atas pengalaman secara langsung
pelaksanaan ritus-ritus keagamaan yang biasa terjadi dalam komunitas Sodong. Kedua,
pengamatan memungkinkan peneliti untuk melihat dan mengamati sendiri, kemudian
mencatat perilaku dan kejadian sebagaimana yang terjadi pada keadaan
sebenarnya. Dengan teknik ini, peneliti mengamati aktifitas-aktifitas
sehari-hari obyek penelitian, karakteristik fisik situasi sosial dan perasaan
pada waktu menjadi bagian dari situasi tersebut. Selama peneliti di lapangan,
jenis observasinya tidak tetap. Dalam hal ini peneliti mulai dari
observasi deskriptif (descriptive observations) secara luas,
yaitu berusaha melukiskan secara umum
situasi sosial dan apa yang terjadi disana. Kemudian, setelah perekaman dan
analisis data pertama, peneliti menyempitkan pengumpulan datanya dan mulai
melakukan observasi terfokus (focused
observations). Dan akhirnya, setelah dilakukan lebih banyak lagi analisis
dan observasi yang berulang-ulang di lapangan, peneliti dapat menyempitkan lagi
penelitiannya dengan melakukan observasi selektif (selective observations). Sekalipun demikian, peneliti masih terus
melakukan observasi deskriptif sampai akhir pengumpulan data.
Teknik
dokumentasi ini digunakan untuk mengumpulkan data dari sumber non insani,
sumber ini terdiri dari dokumen dan rekaman. “Rekaman” sebagai setiap
tulisan atau pernyataan yang
dipersiapkan oleh atau untuk individual atau organisasi dengan tujuan
membuktikan adanya suatu peristiwa terutama yang berkaitan dengan tradisi
muludan Endog-endogan. Sedangkan “dokumen” digunakan untuk mengacu atau bukan
selain rekaman, yaitu tidak dipersiapkan secara khusus untuk tujuan tertentu,
seperti surat-surat, buku harian,
catatan khusus, foto-foto, dan sebagainya.[10] Teknik dokumentasi ini sengaja digunakan dalam penelitian ini sebab; pertama,
sumber ini selalu tersedia dan murah terutama ditinjau dari konsumsi waktu; kedua,
rekaman dan dokumen merupakan sumber informasi yang stabil, baik keakuratannya
dalam merefleksikan situasi yang terjadi dimasa lampau, maupun dapat dan
dianalisis kembali tanpa mengalami perubahan; ketiga, rekaman dan dokumen
merupakan sumber informasi yang kaya, secara konstektual relevan dan mendasar
dalam konteknya; keempat, sumber ini sering merupakan pernyataan yang legal
yang dapat memenuhi akuntabilitas. Hasil pengumpulan data melalui cara
dokumentasi ini, dicatat dalam format rekaman dokumentasi.
D. Analisis Data
Menurut Spradley teknik analisis data disesuaikan dengan tahapan dalam
penelitian. Pada tahap penjelajahan dengan teknik pengumpulan data grand tour question, analisis data dilakukan dengan analisis
domain. Pada tahap menentukan fokus analisis data dilakukan dengan analisis
taksonomi. Pada tahap selection,
analisis data dilakukan dengan analisis komponensial. Selanjutnya untuk sampai
menghasilkan judul dilakukan dengan analisis tema.[11]
Uji
kredibilitas data atau kepercayaan terhadap data hasil penelitian ini dilakukan
dengan keikutsertaan peneliti, ketekunan pengamatan, triangulasi dan kecukupan referensial.[12]
IV. LAPORAN
HASIL PENELITIAN
A. Proses Terjadinya Tradisi
Muludan Endog-Endogan di Banyuwangi.
Sebelum menjelaskan tentang proses
terjadinya tradisi muludan endog-endogan, perlu dijelaskan tentang potret
sosio-budaya politik masyarakat Banyuwangi yang sering dianggap sebagai wilayah
yang rawan konflik. Hal ini dikarenakan ada sebuah peristiwa yang menjadikan
pembenar ( justifikasi ) tersebut yaitu:
Aksi pembantaian dengan isu Ninja pada tahun 1998. Peristiwa tersebut
secara langsung mencitrakan wilayah ini beserta komunitas pendukungya sebagai
wilayah yang mudah berkonflik. Tentu
saja asumsi tersebut tidak selamanya benar, karena pada dasarnya peristiwa
ninja tidak hanya menjadi karakteristik masyarakat di wilayah ini dan ada latar
belakang serta setting politik yang menyebabkan peristiwa itu terjadi. Di
samping itu peran media yang selama ini mem-blow up peristiwa ninja di wilayah
ini juga menjadi penguat stereotip tersebut. Padahal dalam hal kebudayaan,
masyarakat di wilayah Banyuwangi mempunyai keunikan dan karakteristik
tersendiri. Keunikan dan karakteristik masyarakat Banyuwangi dalam konteks
wacana kebudayaan merupakan tema baru dan belum banyak mendapat perhatian
serius dari para pakar budaya. Kenyataan tersebut memang bisa dimaklumi, karena
dalam konteks wilayah kebudayaan dan geografis, Banyuwangi memang berada pada ‘ruang lain kebudayaan’.
Mengapa dikatakan demikian? Dari sisi posisi dan wilayah, Banyuwangi hanya
merupakan satu wilayah kebudayaan (cultural area) di bagian timur
Provinsi Jawa Timur dan jauh dari pusat
informasi sehingga menjadikannya sebagai ‘liyan’ (the other) yang kurang
diminati. Tetapi, benarkah ‘posisi pinggir’ dalam konteks diskursus budaya
tersebut menjadikan Banyuwangi kurang menarik untuk dijadikan kajian akademis?
Potret
sosio-kultural masyarakat yang mendiami wilayah Banyuwangi adalah kombinasi
masyarakat saling berinteraksi dengan banyak etnis, suku, golongan, agama,
aliran, kelompok dan seterusnya yang pada akhirnya melahirkan masyarakat
multikultur. Perpaduan dan adaptasi budaya ini memang terjadi meskipun lebih
banyak berlangsung di pusat dan pinggiran kota. Di Kecamatan Banyuwangi Kota,
misalnya, interaksi antara warga Madura, Bali, Cina, Arab, Mandar, Melayu, Jawa
dan Osing melahirkan sebuah kerukunan yang mempunyai keunikan dan karakteristik
tersendiri.
Dalam
konteks kesenian, juga terjadi proses perpaduan dan, lagi-lagi, lebih cenderung
berorientasi pada kesenian berakar dari budaya campuran. Di Alian, Kecamatan
Rogojampi, misalnya, ada kelompok“Hadrah Kuntul” yang dalam pertunjukannya
menggunakan Bahasa Arab yang komunitas penontonnya berasal dari etnis Osing,
Bali, Cina, Madura dan Jawa. Pada umumnya, budaya Banyuwangi merupakan hasil
dari suatu proses sosial panjang dan dialog intensif di antara bermacam-macam
kebudayaan sejalan dengan masyarakat pendukungnya.
Kemudian proses terjadinya tradisi muludan
endog-endogan dijelaskan oleh Abd.
Basit salah seorang budayawan Banyuwangi yang tinggal di Desa Gintangan
Rogojampi, menurutnya : ritual endhog-endhogan sudah lama diselenggarakan dan
telah menjadi tradisi; tak ada data tertulis yang resmi menjelaskan kapan
tradisi ini dimulai. Jauh sebelum kemerdekaan, begitu tetua komunitas Osing
mewartakan, ritual seperti itu telah meluas di selenggarakan. Biasanya warga
menyiapkan aneka jenis makanan; kue basah, kue kering, menyembelih ayam,
menthok sampai sapi-kerbau. Bahkan di beberapa tempat seperti Desa Aliyan, Desa
Bolot, dan Desa Kedawung menjadi prestise tersendiri apabila sembelihannya
lebih dari lima ekor ayam, kambing, atau sapi-kerbau; mereka akan merasa malu
jika sesembilahannya hanya tiga ekor ayam atau dibawahnya dan untuk itu
berusaha menghindar dari mencuci di sungai karena khawatir terlihat oleh
tetangganya.[13]
Sumber-sumber
lisan yang terwariskan hingga sekarang menyebut bahwa pembuatan Endog –
endogan, merupakan kreasi baru yang diciptakan kira-kira setelah berakhirnya
kekuasaan kerajaan Blambangan dengan maksud untuk meramaikan peringatan hari
lahir Nabi Muhammad. Sebelum itu, arak-arakan hanya diramaikan oleh kembang
endhog yang kemudian terbagi secara berebut.[14]
Pariwisata yang memang selalu tertarik pada
hal-hal yang unik dan eksotis telah menjamah ritual endhog-endhogan. Dalam tourism
map Banyuwangi tercatat bahwa ritual ini termasuk salah satu agenda tahunan
Dinas Pariwisata daerah Banyuwangi, mendampingi ritual-ritual lain seperti
kebo-keboan di desa Alas Malang, petik laut di Muncar, dan seblang di desa
Olesari dan Bakungan.[15]
B. Faktor-Faktor yang
Melatarbelakangi Tradisi Muludan Endog-Endogan Tetap Dilestarikan Masyarakat Banyuwangi
Menurut KH. M. Zaini[16], beberapa Faktor masyarakat muslim umumnya untuk
melakukan tradisi muludan endog – endogan, Pertama, berdasarkan sebuah hadits ; ”Man adzdzoma
maulidi kuntu syafian yaumal qiyamah”. Kalau diartikan secara tidak tepat
maka siapa saja yang memperingati
kelahiran nabi Muhammad meskipun tidak melakukan sholat dan perilaku keseharian
tidak mencerminkan ajaran islam akan mendapatkan syafa’at Rasulullah saw.
Hadits ini oleh ulama’ dari Mekkah dianggap bahwa hadits di atas Dha’if (
lemah ) dan tidak bisa dijadikan pegangan, karena memang tidak ada dasarnya.
Namun secara umum, untuk menghormat kelahiran nabi. Zaini menjelaskan hadits
dha’if bisa dijadikan fadhail al.a’mal ( melakukan keutamaan amal ), karena menurut
Zaini methode penyampaian hadits itu beranekaragam yang menyebabkan perbedaan
pandangan antara ulama hadits dan munculnya pembagian hadits menjadi dua yaitu
hadits shahih dan hadits dha’if .
Kedua, muncul perasaan bangga dan puas (nilai-nilai kenikmatan tersendiri) karena
dirinya mampu merayakan muludan endog-endogan dan mengundang orang untuk
membaca shalawat nabi secara bersama-sama di rumahnya ataupun di Masjid dan
langgar ( musholla ) sebagai media untuk memperkuat ikatan silaturrahim
diantara sesama muslim dan menyampaikan pesan kepada mayarakat untuk tidak
hanya mengidolakan tetapi juga meneladani nabi dalam segala aspeknya.
Mendapatkan ”penghormatan” dari masyarakat bagian
dari yang tak terpisahkan dari rasa bangga itu. Secara sederhana, untuk
mencapai martabat ini, biasanya dengan mengundang banyak orang dengan sajian
yang ”melimpah”, sehingga dengan penghormatan yang diberikan oleh masyarakat
akan berdampak kepada peningkatan status sosial di mata masyarakat, yang tentu
saja berakibat pada peningkatan kepercayaan (trust) masyarakat. Bahkan
bagi salah satu kelompok, kegiatan muludan endog - endogan secara
besar-besaran akan berimpact pada penguatan basis ekonomi dan jaringan.
Dengan kata lain, muludan endog - endogan itu
bagian dari strategi untuk memperluas jaringan ekonomi. Kondisi ini selaras
dengan pemikiran Weberian bahwa semangat ritualisme sebagai spirit
peningkatan ekonomi masyarakat. Ketika
beberapa informan ditanyakan, apakah ada implikasi ekonomi bagi yang melakukan muludan endog - endogan
secara umum meyakini bahwa tidak ada orang yang bershodaqh menjadi miskin.
Keyakinan diatas selaras dengan sabda
rasul, ”la yanqushul malu tushdaqu bihi, walakin yazdadu”. Meski
tradisi muludan endog - endogan bersifat sunnat namun bila ada orang
kaya yang tidak melaksanakan muludan endog - endogan, akan muncul
prasangka ataupun ucapan-ucapan yang kurang enak didengarkan. Namun kebiasaan
masyarakat Banyuwangi yang rutin melaksanakan muludan endog - endogan tiap
tahun senantiasa tetap tergugah melakukan pada tahun-tahun berikutnya.
Pengakuan salah seorang Informan H. Abd. Hadi
mengatakan; ”bahwa orang yang berbuat baik seperti melakukan muludan endog -
endogan tidak akan menjadikan dirinya bangkrut bahkan rizkinya selalu
bertambah. Alhamdulillah, meski hidup ditengah krisis saya masih mampu
memberikan sajian makan bersama, memberikan santunan kepada anak yatim dan
bisnis saya masih bertahan”. Tujuan lain agar kita ini bisa lebih dekat dengan
rasulullah sehingga tehindar dari barang-barang syubhat[17].
Meski demikian, terdapat perbedaan antara tradisi
muludan endog - endogan di Banyuwangi dan daerah lain. Secara umum kalau di
Banyuwangi tidak ada perbedaan signifikan dengan derah lain seperti pembacaan
sholawat, do’a dan makan sesuai dengan kemampuan tuan rumah. Sedangkan di letak perbedaannya adalah dari aspek
waktu yang dilakukan sejak ba’da subuh dengan sajian yang cukup mewah, karena
perayaan muludan endog - endogan bagian dari ukuran prestise
(harga diri). Indikator kemewahannya adalah mampu mengundang banyak kyai,
sajian makanan yang banyak, bahkan ada yang sampai dihiasi dengan uang dan
menyembelih sapi.
Pelaksanaan tradisi muludan endog - endogan di
Banyuwangi ada 2 (dua) macam yaitu bersifat individual yaitu dilakukan oleh
siapa saja yang mempunyai kemampuan untuk melakukan muludan endog - endogan dan
secara kolektif seperti parayaan di masjid, musholla meski tidak paksaan untuk
menyumbang.
Faktor ketiga yaitu ingin mendapatkan
barokah (ziyadatul khoir) atau ada tambahan nilai positif yang diberikan oleh Allah,
dengan diberi kemudahan. Sebagaimana yang disampaikan oleh H. Abd. Hadi[18] bahwa Faktor melakukan muludan endog -
endogan tiap tahun bertitik tolak dari firman Allah, ”innallaha wa
malaikatahu yusholluna alan nabiy,.......” serta sebagai wujud syukur kepada
Allah, karena. bersyukur sebagai bukti kita menjunjung tinggi ajaran rasulullah
SAW yang memang terbukti.
Bagi H. Abd. Hadi dengan melaksananan muludan
endog - endogan sangat berdampak positif khususnya nilai-nilai kesabaran;
sabar melaksanakan perintahn Allah, sabar menjauhi larangan-Nya dan sabar
menerima yang telah dtakdirkan oleh Allah. Kalau oleh Allah diberi pangkat, rejeki serta
kebaikan itu bagian dari ujian hidup.
Bagi orang Banyuwangi baik yang tinggal di
Banyuwangi ataupun di luar Banyuwangi khususnya yang beraliran Sunni sangat
antusias menjelang bulan maulid. Indikatornya adalah warga Banyuwangi yang ada
di luar Banyuwangi (Jawa Timur) pulang kampung hanya sekedar untuk melakukan
tradisi muludan endog - endogan secara bersama-sama di rumah, musholla
dan masjid dengan harapan bisa bersilaturrahim dengan keluarga dan kerabat
serta mendapatkan mendapatkan endog - endogan ( telur ) yang menurut
mereka mengandung berkah ( nilai tambah / ziyadatul khoir ).
C. Kegiatan-Kegiatan
Tradisi Muludan Endog-Endogan.
1.
Penghiasan Telur ( endog – endogan )
Kegiatan
menghias telur dilakukan sebelum pelaksanaan prosesi kirab jodang ( hiasan
pohon pisang ) dan pembacaan sholawat Nabi Muhammad SAW, menurut Ribut Qushoyyi
: endog ( telur ) yang akan dihias sebelumnya di rebus ( di masak )
terlebih dahulu, baru setelah itu dihias dengan warna-warni kertas dan cat.
Cara menghias telur ini sesuai dengan selera masing-masing daerah, ada yang
menggunakan kertas klobot, kertas minyak, bungkus plastik, welat
( sembilu ) bambu, tali rafia yang dilembutkan, gelas air mineral dan lain -
lain.
Setelah
itu telur yang sudah selesai dihias diikatkan atau ditusukkan pada batang bambu yang di potong - potong seukuran
30 cm, agar kelihatan lebih menarik batang pohon bambu ini juga dihias dengan
aneka ragam warna disesuikan dengan warna telur yang telah
dihias.[19]
Masih
menurut Ribut, setiap keluarga biasanya membuat kembang endhog (bunga telur)
sebanyak anggotanya atau lebih yang terbuat dari telur rebus yang ditusuk dengan
bilah bambu kering sepanjang dua hasta yang ujungnya dihiasi bunga kertas.
Menurut Ahmad, kembang telur ini melambangkan zaman jahiliyah, zaman sebelum
Nabi Muhammad lahir (yang ditunjukkan dengan bilah bambu kering). Kelahiran
Nabi Muhammad (yang disimbolisasikan dengan telur) menjadi titik penting
perubahan kehidupan yang menjadi lebih baik (dilambangkan dengan bunga kertas).
Belakangan hiasan kembang endhog ini tidak lagi hanya berupa bunga kertas, tapi
sepenuhnya tergantung pada kebebasan dan kreatifitas masyarakat. Bisa berbentuk barong, ular naga, kapal
terbang, dan lain-lain.
2.
Pembuatan Jodang
Rangkaian
kegiatan setelah penghiasan telur adalah pembuatan jodang ( pohon pisang yang telah dihias ), Istilah
jodang merupakan istilah khusus yang
digunakan masyarakat Banyuwangi dalam menyebutkan pohon pisang yang dihias
warna warni untuk menancapkan hiasan endog - endogan yang telah diikatkan pada
batang - batang bambu.
Pemilihan
pohon pisang untuk di buat jodang selain lebih mudah untuk menancapkan endog -
endogan, ada nilai filosofi yang terkandung dibaliknya. Menurut KH. Ma’shum
Syafi’i, pohon pisang itu tidak akan
mati sebelum menghasilkan buah, meskipun pohon pisang itu dipotong, ia akan
tumbuh lagi sampai menghasilkan buah pisang yang ranum. Artinya pohon pisang
itu akan mati kalau sudah memberikan manfaat bagi yang lain. Pelajaran yang bisa diambil oleh
masyarakat Banyuwangi dari jodang pisang ini adalah : pohon pisang akan mati
kalau sudah memberikan jasa dengan ikhlas kepada yang lain, maka dari itu kita
sabagai manusia bisa memberikan manfaat bagi diri kita, keluarga kita dan
manusia seluruhnya. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi Muhammad SAW : khairun
naas ’anfa’uhum linnas ( sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi
yang lain ).[20]
3.
Kirab Jodang Endog-endogan
Tepat
pada subuh 12 Rabiul Awal semua warga membawa kembang endhog yang diletakkan di
atas ancak (pelepah daun pisang dibentuk segi empat untuk wadah nasi dan
jajanan) menuju masjid. Sampai di masjid, kembang endhog kemudian
ditancap-tancapkan di Jodang ( batang pohon pisang yang telah dihias
indah ) dan diletakkan berjajar di serambi masjid. Satu batang pohon pisang
sedapat mungkin berisi kembang endhog dalam jumlah ganjil; 27, 33, atau 99 yang
memiliki makna-makna tertentu dalam tradisi keislaman.
Setelah
itu, semua warga telah berkumpul di masjid, mereka beramai-ramai mengusung
batang-batang pohon pisang yang telah berhias itu keliling kampong (
arak-arakan / kirab ). Suasana sangat ramai karena bukan saja setiap warga
terlibat dalam arak-arakan itu, melainkan semua musik tradisional yang dimiliki
mengiringinya. Setelah semua jalan kampung dilalui, arak-arakan kembali menuju
masjid dan seluruh batang pohon pisang itu diletakkan lagi berjajar di serambi masjid.
Kegiatan
kirab endog-endogan biasa diistilahkan oleh masyarakat Banyuwangi dengan
arak-arakan, kegiatan ini dilaksanakan setelah seluruh jodang dari berbagai RT,
RW, kelurahan, instansi, Ormas, OKP,
paguyuban-paguyuban dan lain-lain sudah dikumpulkan di depan serambi
Masjid Jami’ atau di depan halaman Pemkab.
4.
Pembacaan Sholawat Nabi
Pembacaan
shalawat Nabi dilaksanakan setelah arak-arakan ( Kirab ) Jodang endog-endogan
usai dilaksanakan, semua warga masuk ke masjid melaksanakan pembacaan kitab
Barzanji yang biasa disebut dengan serakalan. Serakalan berasal dari
kata “asroqol”, yaitu salah satu kata pembuka bait syair dalam kitab
Barzanji. Serakalan berlangsung secara kompetitif-bersautan bak beradu pantun.
Warga yang hadir berkelompok menurut RT atau mushalla, apabila satu kelompok
melakukan pembacaan, kelompok yang lain mendengarkan sambil bersiap-siap
mengambil alih melanjutkan. Di puncak acara, yaitu saat melantunkan shalawat
nabi sambil berdiri, ada petugas berkeliling memberikan minuman tradisional
yang dinamakan bir (air dicampur asam dan gula jawa), bir jeruk, bir
jahe untuk diminum agar kualitas suara
tetap terjaga dan tuyo arum ( air ditabur irisan daun pandan dan aneka
rupa bunga) untuk diusapkan di tenggorokan agar terjadi cooling down.[21]
5. Pembagian Endog-endogan
Rangkaian
paling akhir dari prosesi pelaksanaan muludan endog-endogan adalah : pembagian
endog ( telur ), kegiatan ini paling dinanti oleh masyarakat, karena mereka
meyakini akan adanya barakah ( nilai tambah ) dalam endog / telur yang telah
dihias dan dibacakan shalawat Nabi.
Cara
pembagiannya diutamakan bagi mereka yang ikut sholawatan di rumah, masjid
ataupun musholla. Bagi mereka yang hanya ikut arak-arakan / kirab tapi tidak
ikut shalawatan harus sabar menunggu giliran mendapatkan endog-endogan. [22]
- Lomba
Penulisan Riwayat Nabi
Salah
satu kegiatan yang diadakan oleh Masyarakat Banyuwangi pada peringatan Maulid
Nabi adalah menyelenggarakan lomba penulisan riwayat Nabi beserta puji-pujian
bagi Nabi dengan bahasa yang seindah mungkin. Seluruh ulama dan sastrawan
diundang untuk mengikuti kompetisi tersebut. Pemenang yang menjadi juara
pertama adalah Syaikh Ja`far Al-Barzanji. Karyanya yang dikenal sebagai Kitab
Barzanji sampai sekarang sering dibaca masyarakat di kampung-kampung pada
peringatan Maulid Nabi.
Barzanji bertutur tentang kehidupan Muhammad,
mencakup silsilah keturunannya, masa kanak-kanak, remaja, pemuda, hingga
diangkat menjadi rasul. Karya itu juga mengisahkan sifat-sifat mulia yang
dimiliki Nabi Muhammad, serta berbagai peristiwa untuk dijadikan teladan umat
manusia. Nama Barzanji diambil dari nama pengarang naskah tersebut yakni Syekh
Ja’far al-Barzanji bin Husin bin Abdul Karim. Barzanji berasal dari nama sebuah
tempat di Kurdistan, Barzinj. Karya tulis tersebut sebenarnya berjudul ‘Iqd
Al-Jawahir (artinya kalung permata) yang disusun untuk meningkatkan kecintaan
kepada Nabi Muhammad SAW. Tapi
kemudian lebih terkenal dengan nama penulisnya.[23]
- Lomba
Dzikir Maulid
Dzikir
Maulid merupakan bacaan sholawat Nabi yang khas di baca ketika diadakan Muludan
Endog-endogan, kegiatan ini biasanya diikuti oleh seluruh masyarakat yang terbagi
dalam beberapa Jam’iyah shalawat ( organisasi shalawat )
yang tersebar di beberapa kecamatan di Kabupaten Banyuwangi, Pemenang lombang
dzikir maulid akan mendapatkan tropi bergilir yang disediakan oleh Pemerintah
Kabupaten Banyuwangi.[24] Kebetulan mantan Bupati
Banyuwangi Ir. H. Syamsul Hadi merupakan salah seorang wakil Ketua Ikatan seni
Hadrah Republik Indonesia ( ISHARI ) cabang Banyuwangi.
V. KESIMPULAN
Dari pembahasan penelitian ini diperoleh
kesimpulan sebagai berikut:
- Proses Terjadinya Tradisi Muludan
Endog-Endogan di Banyuwangi
antara lain : Di kalangan komunitas Osing Banyuwangi, ritual endhog-endhogan
sudah lama diselenggarakan dan telah menjadi tradisi; tak ada data
tertulis maupun cerita lisan yang resmi menjelaskan kapan tradisi ini
dimulai. Sumber-sumber lisan yang terwariskan hingga sekarang menyebut
bahwa pembuatan Endog – endogan, merupakan kreasi baru yang diciptakan
kira-kira setelah berakhirnya kekuasaan kerajaan Blambangan dengan maksud
untuk meramaikan peringatan hari lahir Nabi Muhammad SAW.
- Faktor-Faktor yang Melatarbelakangi Tradisi
Muludan Endog-Endogan Tetap Dilestarikan Masyarakat Banyuwangi, antara lain : Pertama, berdasarkan hadits ’; ”Man adzdzoma
maulidi kuntu syafian yaumal qiyamah”. Kalau diartikan secara tidak
tepat maka siapa saja yang
memperingati kelahiran nabi Muhammad meskipun tidak melakukan sholat dan
perilaku keseharian tidak mencerminkan ajaran islam akan mendapatkan
syafa’at Rasulullah saw. Kedua, muncul perasaan bangga dan puas
(nilai-nilai kenikmatan tersendiri) karena dirinya mampu merayakan muludan
endog-endogan dan Ketiga yaitu ingin mendapatkan barokah (ziyadatul
khoir) atau ada tambahan nilai positif yang diberikan oleh Allah SWT.
- Kegiatan-Kegiatan
Tradisi Muludan Endog-Endogan, antara lain : Penghiasan
Telur ( endog – endogan ),
Pembuatan Jodang, Kirab Jodang Endog-endogan, Pembacaan Sholawat
Nabi, Pembagian Endog-endogan, Lomba Penulisan Riwayat Nabi dan lomba
Dzikir Maulid
DAFTAR
PUSTAKA
Andrew Beatty, “Adam and Eve and Vishnu:
Syncretism in The Javanese Slametan” dalam The Journal of the Royal
Anthropological institut 2 (June 1996).
Bryan S. Turner, Religion and Sosial, (London; SAGE Publication,
1991)
Abdurrahman, Moeslim.. Islam sebagai Kritik Sosial. Jakarta:
Penerbit Erlangga. 2003
Andang Subaharianto dkk, Tantangan
Industrialisasi Banyuwangi, Malang; Bayumedia Publishing, 2004
Clifford Geertz, Abangan, Santri,
Priyayi, dalam Masyarakat Jawa (Jakarta: Pustka Jaya, 1981
Herbert Read, Art and Sociaty, (New
York; Shocken Books, 1970) bab 3 dalam Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat,
(Yogya; Tiara Wacana Yogya, 1987
James P. Spradley, Participant
Observation (New York Chicago San Francisco Dallas Montreal Toronto London
Sydney, 1980
Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat,
(Yogyakarta; Tiara Wacana Yogya, 1987
Lofland, Analyzing Social Setting: A Guide to Qualitative Observation and
Analysis, (Belmont, Cal: Wadsworth Publishing Company, 1984.
M. Zahid , Tradisi Maulid Nabi, makalah seminar di Madura,
2004
Matthew B. Miles & AS. Michael
Huberman, Analisis Data Kualitatif, terj. Tjetjep Rohendi Rohidi
(Jakarta: UI Press, 1992
Max Weber, The Protestan Ethic and Spirit
of Capitalism, diterjemahkan oleh Yusuf Risasudirja, Etika Protestan dan
Semangat Kapitalisme, (Jakarta; Pustaka Promethe, 2001
Max Weber, The Sosiology of Religion,
(Boston; Beacon Press, 1964) dalam Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat, (Yogya;
Tiara Wacana Yogya, 1987
Moeloeng, Lexy.
J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosdakarya. 2005.
Muhaimin AG. Islam
dalam Bingkai Budaya Lokal Potret dari Cirebon, Jakarta: Logos, 2001
Nur Syam, Islam Pesisir ,
Yogyakarta: LkiS, 2005
Roberts Keith, Religion in Sociologocal
Perspective, Homewood, 1994
Roland Robertson, Sociology of Religion,
terj, A. Fedyani Saefudin, Jakarta; Rajawali Pers, 1992
Simuh. ”Interaksi Islam dalam Budaya Jawa” dalam Muhammadiyah
dalam Kritik. Surakarta: Muhammaddiyah University Press. 2002.
Spradley, J.P., The Etnographic
Interview, Holt, Reinhard and Wilston, N.Y., 1979
Tomagola, Anatomi Konflik Komunal di
Indonesia, dalam Soleh Isrie Konflik Etno Religius Indonesia Kontemporer,
Jakarta: Badan Litbang Agama, 2003
Zamakhsari Dhofier dan Abdurrahman Wahid, Penafsiran
kembali Ajaran Agama; Dua kasus dari Jombang, Dalam Prisma, No. 3,
Jakarta; LP3ES, 1978.
[1] Selama bulan Rab’ul Awal
bahkan sampai bulan Rab’ul Akhir masyarakat Banyuwangi banyak yang melaksankan
tradisi Muludan ini baik yang dikoordinasikan oleh panitia pada langgar atau
masjid atau yang dilakukan secara mandiri di rumah masing-masing.
[2] Di antara ciri-ciri yang
sakral adalah adanya keyakinan, ritus, misteri dan supernatural. Lihat Ibid.,
hlm., 245.
[3] Ibda` | Vol. 6 | No. 1 | Jan-Jun 2008 | 110-131 3 P3M STAIN
Purwokerto | Moh. Roqib
[4] Ibid hal. 131
[5] Ibda` | Vol. 6 | No. 1 | Jan-Jun 2008 | 110-131 4 P3M STAIN
Purwokerto | Moh. Roqib
[6] Wawancara
pada tanggal 7 Maret 2009
[7] Spradley, J.P., The Etnographic Interview, Holt, Reinhard
and Wilston , N.Y. , 1979, h. 3.
[8] Lofland, Analyzing Social Setting:
A Guide to Qualitative Observation and Analysis, (Belmont, Cal:
Wadsworth Publishing Company, 1984), 47.
[9] Sugiyono, Metode Penelitian
Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan RD (Bandung: Al-Fabeta, 2005), 309.
[11] James P. Spradley, Participant Observation (New York Chicago
San Francisco Dallas Montreal Toronto London Sydney, 1980), 85, 112, 130, 140.
[12] Lexy Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, 175
[13] Wawancara dengan Abd. Basit 17 Juli 2009, pukul 09.00 WIB
[14] Wawancara dengan Ahmad Nurul Mustaha, tanggal 15 Juli 2009
[15] PDE Kabupaten Banyuwangi
[16]
Wawacara pada tanggal 18 Juli 2009, pukul 10.00 WIB
[17]
Wawancara pada tanggal 25 Juli 2009
[18]
Wawancara pada tanggal 25 Juli 2009.
[19] ( wawancara dengan Ribut Qushoyyi
30 Juli 2009 ).
[20] (
Wawancara dengan KH. Ma’shum Syafi’i 1 Agustus 2009 ).
[21]
Wawancara dengan Muhtarullah tanggal 16 Juli 2009
[23] Wawancara dengan Muchdor Atim (
anggota Dewan Kesenian Banyuwangi ) pada tanggal 20 Juli 2009
[24] Wawancara dengan H. Royani ( Ketua Ikatan Seni Hadrah Republik
Indonesia Cabang Banyuwangi ) pada tanggal 22 Juli 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar