Minggu, 05 Mei 2019

PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA NABI SAW DAN SAHABAT


PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA NABI SAW DAN SAHABAT.


Pendidikan Islam mempunyai sejarah yang panjang. Dalam pengertian seluas-luasnya, pendidikan Islam berkembang seiring dengan kemunculan Islam itu sendiri. Dalam konteks masyarakat Arab, dimana Islam lahir dan berkembang, kedatangan Islam lengkap dengan usaha-usaha pendidikan merupakan transformasi besar. Sebab masyarakat Arab pra-Islam tidak mempunyai sistem pendidikan formal. Pada Masa Nabi, Pendidikan  Islam merupakan pendidikan yang mengukuhkan kembali tradisi moral masyarakat Arabia yang berisi nilai-nilai kebajikan tradisional bangsa Arab dengan nuansa baru yang bersifat Islam. Sedang Masa Sahabat, Pendidikan Islam berlangsung tak lebih dalam rangka penyebaran risalah yang dibawa Rasulullah SAW kepada umat manusia, yang kemudian berlanjut menjadi sebuah upaya sadar pemberdayaan umat.
Kata Kunci : Pendidikan Islam, Moral masyarakat dan Pemberdayaan umat.
Prawacana
Peradaban Islam telah melewati beberapa tahap perkembangan. Dan sebagian besar pencapaian materialnya justru tidak terjadi selama periode-periode awal.  Pencapaian terbesar (secara material) terjadi pada abad ke-3 dan ke-4 hijriah. Karena itu sejarawan Barat, Adam Mitez, berpendapat bahwa abad keempat merupakan puncak peradaban Islam, karena periode itu sangat mendukung kegiatan ibadah. Jika dikomparasikan dengan abad ke-4 hijriah, perilaku muslim abad I jelas lebih sesuai dengan ajaran-ajaran syariat.[1]
Nabi sendiri menegaskan hal ini dalam sabdanya:[2]
خير الناس قرنى ثم الذين يلونهم ثم الذين يلونهم. (رواه البخاري)
Artinya : “Sebaik-baik generasi adalah generasiku, generasi setelah mereka dan generasi setelah itu.”
Dari hadith itulah, penulis berasumsi bahwa masa awal sejarah Islam merupakan rentang waktu yang sangat penting, karena pada periode itu ajaran Islam yang komprehensif betul-betul diimplementasikan. Masa tersebut merupakan prototipe dan ideal yang harus ditiru oleh masyarakat kita sekarang. Karena itulah mengetahui tradisi intelektual dan perkembangan pendidikan di masa itu menjadi hal yang sangat signifikan.
A.    Sejarah Pendidikan Islam Pra Hijrah
Semenjak turun wahyu pertama, Muhammad menyampaikan pengalaman keagamaannya kepada sanak keluarganya dan teman-teman dekatnya. Apabila mereka ingin berlatih atau mempraktekkan ibadah maka mereka datang ke tempat yang sepi di mekkah agar tidak diketahui oleh orang-orang Quraisy. [3]
Ketika umat Islam mencapai 30 orang dari kalangan laki-laki dan perempuan maka Rasulullah memilih rumah al-Arqam bin Abi al-Arqam sebagai tempat pertemuan mereka untuk kepentingan pendidikan dan pengajaran ajaran-ajaran Islam. Berkat pertemuan-pertemuan itulah maka umat Islam hampir mencapai 40 orang. Mayoritas mereka terdiri dari para fakir, budak, dan orang-orang yang tidak punya peran dari kalangan Quraisy.[4]Mereka berkumpul mengelilingi Rasulullah untuk mendengarkan pembacaan wahyu al-Qur’an dan penjelasannya. Materi yang sering disampaikan oleh Rasulullah adalah tentang aqidah dan ibadah.
Pada masa tersebut, Islam merupakan agama yang mengukuhkan kembali tradisi moral masyarakat Arabia. Dengan kata lain, di bidang moralitas, Islam membentuk kembali nilai-nilai yang sejenis. Nilai-nilai kebajikan tradisional bangsa Arab diberi arti baru yang bersifat Islam.[5]
B.     Sejarah Pendidikan Islam Pasca Hijrah
1.      Mesjid Masa Rasulullah
Setelah kira-kira 12 tahun menjalankan tugas kerasulan di Mekkah, maka Allah memerintahkan Nabi untuk hijrah ke Madinah. Karena itulah pada hari Senin tanggal 12 Rabiul Awal (28 Juli 622 Masehi) Nabi meninggalkan Mekkah pergi ke Quba, selatan Yathrib yang sesudah itu bernama Madinah.[6] Di kota itulah Nabi pertama kali membangun mesjid Quba yang didasarkan pada taqwa dan berfungsi sebagai pusat pergerakan Negara, tempat menyampaikan nasehat-nasehat, tempat mengatur siasat, pusat pendidikan pertama, dan sebagai kantor Pengadilan Tinggi.[7]
Enam bulan setelah Nabi hijrah ke Madinah, kiblat shalat diganti dari Baitul Maqdis (Jerussalem) ke Ka’bah di Mekkah. Sebagai akibat perubahan geografis tadi, tembok arah kiblat pertama menjadi di belakang tembok Mesjid Nabi. Nabi memerintahkan supaya di atas tembok itu dibuat atap. Tempat itulah yang kemudian dikenal dengan sebutan ash shuffah ‘podium’/’bangku’ atau azh zhillah ‘naungan’, tetapi pada ketiga sudutnya tetap terbuka.[8]
Ahlu Suffah mencurahkan banyak perhatian terhadap ilmu pengetahuan dan terus menetap di dalam mesjid untuk beribadah. Mereka terbiasa dengan kesederhanaan dan asketisme.
Tetapi, keterlibatan mereka yang begitu intens dalam ilmu pengetahuan dan ibadah, tidak menghalangi mereka untuk ikut berpatisipasi dalam kehidupan sosial dan jihad.[9]
Menurut analisa penulis, tradisi imtelektual yang dilakukan oleh Rasulullah dan umat Islam pasca Hijrah adalah
a.      Rasulullah mengajarkan agama pada umat islam di masjid oleh karena Ahlus As Suffah tinggal di masjid maka mereka lebih sering mengikutinya dari pada yang lain
b.      Rasulullah mengadakan perjanjian dengan para tawanan perang badar bahwa tawanan yang bisa mengajarkan baca tulis pada  10 anak Madinah maka ia akan dibebaskan.[10]
c.       Umat Islam dikirim ke medan perang secara bergantian agar secara bergantian pula mempelajari agama Islam.
d.     Pendelegasian sahabat kedaerah – daerah kekuasaan islam untuk mengajarkan ilmu – ilmu agama Islam.
- Mesjid Pasca Rasulullah Wafat
Pada mulanya fungsi mesjid semakin luas setelah Rasulullah wafat, Amr bin al-‘Ash membangun rumah panglima sebagai penguasa sipil dan militer berada di sebelah timur mesjid yang dibangunnya di Mesir. Bahkan pada periode selanjutnya, tempat tinggal Amir dan Gubernur tetap berada di dekat mesjid. Dengan demikian mesjid merupakan tempat kegiatan pemerintahan.
Perubahan terjadi pada masa pemerintahan Banî ‘Abbâs. Ketika Baghdad dibangun pada 762 M., didirikan istana sebagai pusat kegiatan pemerintahan. Mesjid tidak lagi merupakan pusat kegiatan politik dan militer. Tetapi mesjid terus merupakan tempat khalifah atau amir menyampaikan pengumuman-pengumuman penting kepada rakyat. Lambat laun mesjid putus hubungannya dengan kegiatan politik, dan mulai menjadi pusat peribadatan dan ilmu pengetahuan saja.[11]
Pada abad X, di Baghdad kokon memiliki  sekitar 30.000 mesjid yang berfungsi sebagai rumah ibadah, lembaga pendidikan, dan pusat kegiatan masyarakat.[12] Khilafah al Ma’mun membangun mesjid jami’ dan non jami’.
Mengingat fungsi pendidikannya, mesjid dapat diterjemahkan sebagai “Mesjid - Akademi”, satu model institusi pendidikan yang muncul pada abad VIII dan secara konsisten mendominasi arena pendidikan sepanjang periode klasik Islam.[13]
2.      Kuttab
Nasr dalam bukunya Science And Civilization in Islam menyatakan : “The kuttab (maktab) has thus served both as the center for the religious and literary education of general community and also as the preparatory stage for the advanced instutions of learning, in which the some sciences have been taught.”[14]
Artinya : Kuttab telah dipergunakan sebagai pusat yang berhubungan dengan keagamaan dan pendidikan sastra bagi masyarakat umum dan juga sebagai tahap persiapan bagi institusi pengajaran lebih lanjut, dimana beberapa disiplin ilmu telah diajarkan.
Menurut Ibnu Haukal, di satu kota saja dari kota di Sicilia ada 300 Kuttab bahkan ada beberapa kuttab yang luas sehingga satu kuttab bisa menampung ratusan, bahkan ribuan siswa. Dalam sejarah disebutkan bahwa Abul Qasim al-Balkhi memiliki sebuah kuttab yang ditempati oleh 3.000 siswa. Dalam perkembangannya kuttab berkembang menjadi sejenis universitas pertama di abad pertengahan (Middle Ages) dan dipergunakan sebagai model bagi permulaan universitas-universitas di Eropa selama abad XI.[15]
3.      Madrasah
Menurut George Makdisi dalam kajiannya yang terfokus pada Madrasah Nidzamiyyah periode pertengahan di Baghdad, bahwa asal muasal pertumbuhan madrasah merupakan hasil tiga tahap:
a.      Mesjid sebagai tempat pendidikan adalah mesjid biasa (mesjid college) yang disamping untuk tempat jama’ah shalat juga untuk majelis ta’lim (pendidikan).
b.      Mesjid-khan, yaitu mesjid yang dilengkapi dengan bangunan khan (asrama, pemondokan) yang masih bergandengan dengan mesjid.
c.       Madrasah yang demikian menyatukan kelembagaan mesjid-biasa dengan mesjid-khan. Kompleks madrasah yang terdiri dari ruang belajar, ruang pondokan, dan mesjid. Diduga berasal dari Khurasan.[16] Misalnya : Al Azhar didirikan oleh para kholifah mesir pada abad 10 [17]dan Madrasah Nidzamiyah yang didirikan oleh seorang Wazir Persia, Nizamul Muluk pada tahun 1067.
4.      Rumah Sakit
Rumah sakit juga merupakan sekolah – sekolah kedokteran. Disetiap rumah sakit terdapat ruangan besar untuk kuliah[18] dan perpustakaan yang penuh dengan buku – buku.[19]
Rumah sakit bukan hanya sebagai tempat untuk merawat dan mengobati orang-orang sakit tapi juga juga mendidik tenaga – tenaga yang berhubungan dengan perawatan dan pengobatan mereka juga mengadakan penelitian dan percobaan dalam ilmu kedokteran[20]. Dengan demikian rumah sakit juga dilengkapi dengan observatorium. Misalnya rumah sakit Adhudi, RS besar An Nũri, RS Al Masyhuri, RS Marra Kesh.
5.      Maktabah (Perpustakaan)
Perpustakaan dibagi dua yaitu :
a.         Perpustakaan umum yaitu perpustakaanyang dirikan oleh para khalifah, Amir, Ulama’ dan Hartawan seperti perpustakaan Darul Hikmah di Kairo perpustakaan Al Hakam di Andalus dan sebagainya.
b.         Perpustakaan pribadi
Seperti perpustakaan Al Fath bin Khaqan, perpustakaan Ibnu Khasyab dan sebagainya.[21]
6.      Halaqah merupakan institusi pendidikan Islam setingkat dengan pendidikan tingkat lanjutan atau college. Sistem ini merupakan gambaran tipikal dari murid murid yang berkumpul dan duduk melingkar untuk belajar bersama dengan dipandu oleh seorang guru.[22]
7.      Majelis adalah institusi pendidikan untuk transmisi keilmuan dari berbagai disiplin ilmu misalnya : Mejelis Al Hadith, Majelis Al Syu’ara, Majelis Al fatwa dan sebaginya.[23]
8.      Toko kitab selama periode Abbasiyah, banyak sekali kitab – kitab dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan yang ditulis umat islam sehingga berdirilah toko – toko kitab. Hitty menegaskan bahwa pada zaman itu (891 M ) terdapat pusat pertokoan yang berjejer lebih dari 100 buah toko buku dalam satu jalan. Para pemilik toko tersebut umumnya adalah yang memiliki tulisan bagus pandai menyalin dan menguasai literatur yang ada.[24] Sehingga di toko buku seringkali didapatkan orang – orang yang mendiskusikan isi kitab yang diperjual belikan.
9.      Manazil Ulama’ ( Rumah – rumah ahli ilmu pengetahuan ).
Diantara rumah ulama yang terkenal menjadi tempat belajar adalah rumah Ibnu Sina, Al Ghozali, Ya’qub Ibnu Killis dan lain – lain.[25]
10.  Ribath adalah tempat kegiatan kaum sufi yang ingin menjauhkan dari kehidupan duniawi untuk mengkonsentrasikan diri dari beribadah semata.[26]
11.  Ikhwan Al Shafa adalah perkumpulan para mujtahidin dalam bidang filsafat yang banyak menfokuskan perhatiannya pada bidang da’wah dan pendidikan. Perkumpulan ini berkembang pada abad ke-2 H. di kota bashrah, Irak. Semua anggota wajib menjadi guru dan muballig terhadap orang lain yang terdapat di masyarakat.[27]
12.  As Shalûnât al Adabiyyah yaitu sanggar seni dan sastra.



KESIMPULAN
1.         Sebelum Hijjrah, Rasulullah menunjuk rumah al Arqam bin Abi Al Arqam sebagai pusat pendidikan, tempat Rasulullah mendidik dan mengajarkan ajaran – ajaran islam. Materi yang disampaikan adalah aqidah, ibadah dan akhlaq.
2.         Setelah Hijrah, Rasulullah menggunakan Mesjid sebagai pusat pergarakan negara, tempat menyampaikan nasehat, mengatur siasat perang, pusat pendidikan dan sebagai kantor pengadilan tinggi.
3.         Tradisi intelektual yang dilakukan oleh Rasulullah dan umat islam pasca Hijrah adalah :
a.      Mengajarkan agama pada umat islam di Mesjid. Dalam hal ini Ahlu as Shuffah lebih sering mengikutinya.
b.      Tawanan perang badar dibebaskan apabila bisa mengajarkan baca tulis ….orang islam
c.       Umat islam dikirim ke medan perang secara bergantian, agar ada yang menpelajari agama islam
d.     Pendelegasian sahabatke daerah – daerah kekuasaan islam untuk mengajarkan agama Islam sehingga dari daerah – daerah tersebut juga muncul tokoh – tokoh islam.
4.         Setelah Rasulullah wafat, tradisi intelektual umat islam semakin mantap, hingga mancapai puncaknya pada zaman Dinasti Abbasiyah. Hal ini di tandai dengan menculnya beberapa lembaga pendidikan dengan sistem pandidikan yang semakin mapan, seperti masjid, Kuttab, Madrsah, Rumah Sakit, Maktabah, Halaqoh, Maje;is, Toko Buku, Rumah Ulama’, Ribath dan Ikhwan al Safa.



DAFTAR PUSTAKA
Abdul Jabbar, Amr. Khulashah Nur al Yaqin, juz 2. Surabaya: Maktabah Muhammad bin Ahmad Nabahan wa Awladini, 1969.
Al Bukhāry, Abi Abdillah Muhamad bin Ismail. Fathul Bary .Darul Fikr, tt.
Al Ghadbân, Munîr Muhammad. al-Manhaj al-Haraky lil As-Sîrah an Nabawiyyah. Juz I .Az-Zarqâ’: Maktabah al-Mannar.
Al Buthy, Muhammad Said Ramadhan. Fiqh as Sirah. Beirut: Dar  al-Fikr, 1990.
As Siba’i, Mustofa Husni. Min Rawâ’i Hadaratina. terj. Abdullah Zaky al-Kaaf .Bandung: Pustaka Setia, 2002.
Amstrong, Karen. Islam : A Short History. Terj. Ira Puspito Rini. Yogyakarta : Ikon Tetalitara, 2002.
Gazalba, Sidi .Mesjid Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam. Jakarta: al Husna Zika, 2001.
Kitti, Philip K. History of the Arabs. New York : Mac Millan Press, 1970.
Lapidus, Ira M, .A History Of Islamic Societies, Terj. Ghufron A. Mas’adi .Jakarta : Raja Gravindo Persada, 1999.
Makdisi, George. Muslim Institutions Of Learning in Eleventh - Century Baghdad,”Bulletin Of the School Of Oriental And African Studies 25 : 1961.
Nasr, Seyyed Hossein. Science and Civilization in Islam. New York: New Ameri Can Library, 1970.
Nasabe, Hisyam. Moslem Educational Institutions. Beirut : Riyad Solh Sguare, 1998.
Nasution, Harun. Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran. Bandung: Mizan, 1998.
Nata, Abuddin. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997.
Stanton, Charles Michael. Pendidikan Tinggi Dalam Islam. terj. Afandi dan Basri .Jakarta: Logs, 1994.
Suwito, Fauzan. Sejarah Sosial Pendidikan Islam. Jakarta : Prenada Media, 2005.
Umari, Akram Diyāuddin. Madinah Society at The Time Of The Prophet, Its Characteristics and Organization. terj. Mun’im A. Sirry .Jakarta: Gema Insani Press, 1999.
Zihairini, et. Al ; Sejarah Pendididkan Islam. Jakarta : Bumi Aksara, 1997.


[1] Akram Dhiyauddin Umari, Madinah Society at The Time Of The Prophet: Its Characteristics and Organization, terj. Mun’im A. Sirry (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), 34.
[2] Abi Abdillah Muhamad bin Ismail al Bukhary, Fathul Bary (Darul Fikr, tt), 244.
[3] Munîr Muhammad al-Ghadbân, al-Manhaj al-Haraky lil As-Sîrah an Nabawiyyah Juz I, (Az-Zarqâ’: Maktabah al-Mannar), 21.
[4] Muhammad Said Ramadhan al Buthy, Fiqh as Sirah, (Beirut: Dar  al-Fikr, 1990), 94.
[5] Ira M. Lapidus, A History Of Islamic Societies, Terj. Ghufron A. Mas’adi (Jakarta: Raja Gravindo Persada, 1999), 51.
[6] Sidi Gazalba, Mesjid Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam (Jakarta: al Husna Zika, 2001), 121.
[7] Al Ghadbân, Al Manhaj, 203.
[8] Umari, Masyarakat Madani , 98.
[9] Ibid, 101.
[10] Amr Abdul Jabbar, Khulashah Nur al Yaqin, juz 2 (Surabaya: Maktabah Muhammad bin Ahmad Nabahan wa Awladini, 1969), 15.
[11] Harun Nasution, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran, (Bandung: Mizan, 1998), 249.
[12] Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi Dalam Islam, terj. Afandi dan Basri (Jakarta: Logs, 1994), 23.
[13] Ibid., 38.
[14] Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (New York: New Ameri Can Library, 1970), 66.
[15] Nasr, Science, 66.
[16] Lapidus, A History, 253.
[17] Karen Amstrong, Islam: A Short History, Terj. Ira Puspito Rini, (Yogyakarta : Ikon Tetalitara, 2002), 98.
[18] Mustafa, Min Rawa’I, 195.
[19] Ibid, 196.
[20] Hisyam Nasabe, Moslem Educational Institutions (Beirut : Riyad Solh Sguare, 1998), 25.
27 Mustafa, Min Rawa’I, 203.
[22] Suwito, Fauzan, Sejarah Sosial Pendidikan Islam (Jakarta : Prenada Media, 2005), 28.
[23] Ibid.
[24] Philip K. Kitti, History of the Arabs (New York : Mac Millan Press, 1970), 408.
[25] Zihairini, et. Al ; Sejarah Pendididkan Islam ( Jakarta : Bumi Aksara, 1997 ), 98.
[26] Suwito, Sej, 28.
[27] Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam ( Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997 ), 181.

Kamis, 02 Mei 2019

PEMIKIRAN “NEO-MODERNISME” ABDURRAHMAN WAHID TENTANG ISLAM DAN DEMOKRASI


PEMIKIRAN “NEO-MODERNISME” ABDURRAHMAN  WAHID
TENTANG ISLAM DAN DEMOKRASI

Oleh: M. Syamsudini


A.   PENDAHULUAN
Makalah ini berbicara tentang pemikiran ”neo-modernisme”1 Abdurrahman Wahid. Kajian tentang pemikiran seseorang menarik untuk diteliti, karena pemikiran seseorang mempunyai kontribusi yang besar dalam dinamika perubahan sebuah bangsa. Banyak sudah karya ilmiah tentang pemikiran seseorang atau tokoh yang telah dipublikasikan, baik yang berupa thesis, penelitian dan karya-karya penelitian lainnya.
Fenomena yang demikian ini, menunjukkan kepada kita betapa pentingnya arti pemikiran seseorang dalam konteks dinamika perubahan sosial yang sedang berlangsung. Begitu juga dengan pemikiran neo modernisnya K.H. Abdurrahman Wahid, terlepas dari sisi positif dan negatifnya, juga mempunyai kontribusi yang besar dalam perkembangan pemikiran Islam khusunya dan  bangsa Indonesia yang Pancasilais pada umumnya. Lebih menarik lagi, apabila konteks pemikiran Gus Dur tersebut diletakkan dalam perspektif pergulatan politik pasca Orde Baru.
Sejak runtuhnya Orde Baru dari panggung kekuasaan pada tanggal 21 Mei 1998, telah terjadi perubahan yang dramatis dalam perubahan percaturan sosial-politik yang amat menentukan bagi masa depan bangsa Indonesia. Kejadian yang banyak mengejutkan para peminat dan pemerhati sosial-politik di Indonesia itu berdampak luas terhadap eksistensi sistem sosial-politik serta pergulatan kekuatan politik yang terlibat di dalamnya, sehingga terjadi banyak gejolak dan meningkatnya suhu politik nasional.
Oleh sebab itu, mengamati dinamika pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia sangatlah menarik, karena ada sejumlah paradoks dan gesekan yang cukup tajam, terutama pasca Orde Baru (era Reformasi). Sehingga dengan bergulirnya era Reformasi membutuhkan pembacaan ulang terhadap peta pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia, karena berbagai pemikiran dan gerakan Islam yang pada mulanya terbungkam oleh kekuatan Orde Baru, kembali muncul dan berusaha membangkitkan kembali romantisme masa lalu. Dari sinilah muncul berbagai kekuatan pemikiran dan gerakan Islam baik Islam politik maupun Islam kultural, sehingga membentuk varian yang sangat beragam,
Peristiwa jatuhnya rezim Orde Baru  tahun 1998 itu, kemudian mengubah dasar-dasar konstelasi sosial politik mutakhir2; Pertama, runtuhnya hegemoni Orde Baru dengan pilar utama Golkar yang ditopang oleh birokrasi dan militer. Kedua,  munculnya sistem politik multipartai yang memberi peluang bagi setiap kelompok politik dengan beraneka ragam latar belakang aspirasi. Ketiga, terjadinya pergeseran  hubungan antara Islam dan negara.

Masalah pergulatan Islam dan Negara di Indonesia sendiri sebenarnya tidak berjalan secara linier. Hubungan itu ditandai dengan friksi, ketegangan dan akomodasi yang telah melahirkan berbagai perspektif teoritik tentang  hubungan Islam, politik dan negara di Indonesia3. Pencarian teoritik mengenai  hubungan yang pas antara Islam dan negara di Indonesia yang pluralistik ini telah banyak dihasilkan, namun menurut Bakhtiar Effendi (1998, 23), seluruh upaya teoritis itu lebih didasarkan kepada  pengalaman sejarah akan kekalahan-kekalahan politik Islam di satu sisi, dan pengabaian terhadap wilayah-wilayah  normatif pada sisi yang lain. Secara singkat, teoritisi itu lebih mendasarkan diri kepada realitas empirik, ketimbang realitas normatif.   
Munculnya gerakan-gerakan Islam yang bangkit kembali memperjuangkan aspirasi Islam di era reformasi  yang dulu pada masa Orde Baru ditekan tidak bisa muncul di pentas politik nasional selama tiga dekade lebih, ternyata tidak melemahkan gerakannya, bahkan menjadikan momentum ini sebagai awal kebangkitannya di tengah perubahan perebutan kekuasaan politik. Gerakan Islam yang sedang bangkit ini ditandai dengan dua tipikal; yakni struktural dan kultural.
Gerakan struktural pada tipikal pertama ini ditandai dengan maraknya pendirian partai-partai Islam selain PPP yang eksis di masa Orde Baru, seperti PBB, PK, PKU, PUI, PNU, PSII, PSII 1905, Masyumi, Masyumi Baru, PP, dan PBR. Sedang gerakan kultural pada tipikal kedua ditandai dengan menjamurnya sejumlah gerakan Ormas Islam selain KISDI dan PPMI yang sudah lebih dulu ada masa Orde Baru, seperti; FPI, FKASW yang dikenal dengan Laskar Jihad, Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, HAMMAS. Bangkitnya gerakan Ormas Islam ini diwarnai dengan karakternya yang formalistik, fundamentalistik, militan dan radikal. Dalam perspektif pertama ini, Islam harus terwujud secara formal kelembagaan sebagaimana tampak dalam bentuknya seperti partai Islam, negara Islam, sistem ekonomi Islam dan berbagai lebel Islam lainnya.
Sebagai anti tesa dari gerakan Islam dalam perspektif yang pertama ini, muncullah perspektif yang kedua, yaitu suatu gerakan yang mempunyai corak pemikiran yang menghendaki hubungan Islam dengan semua aspek kehidupan secara substansial. Dalam perspektif kedua ini, Islam lebih dilihat pada tataran moral, etik dan spiritual (Abdalla, 2002: 6, Abdalla, 2005: 4; Assyaukanie, 2005: 4; dan Utomo, 2005: 10). Dengan pemaknaan seperti ini, maka Islam lebih ditampilkan dengan wataknya yang inklusif. Dan dalam hubungannya dengan negara, cara pandang semacam ini mendorong tumbuhnya keterbukaan, keadilan dan toleransi sebagai landasan moral kehidupan berbangsa yang majmuk (Sachedina, 2005: 10), dari pada bersikeras memperjuangkan ideologi dan negara Islam secara formal. Perspektif yang kedua ini lebih dikenal dengan sebutan Islam neo-modernis bahkan ada yang menyebutnya Islam Progresif, Islam Dinamis, Islam Liberalis, yang secara diametral berhadapan dengan perspektif  pertama yang anti demokrasi.
Dalam konteks sosiologis, agenda dan persoalan yang diangkat oleh Islam Neo-Modernis sudah tidak lagi menyinggung masalah-masalah klasik, namun mulai mengarah ke dimensi-dimensi baru yang bersifat universal (Barton, 1995: 6, Azra, 1996: xi). Hal ini karena adanya tuntutan yang semakin kompleks untuk menerjemahkan Islam secara multi-dimensional dan lebih antisipatif terhadap tantangan masa depan (Kurzman, 1998; Binder, 1988).
Rumusan seperti itu persis dikembangkan oleh para pemikir Islam Indonesia. Sebagaimana diketahui, problem utama umat Islam Indonesia sejak paruh pertama abad XX adalah mengembangkan penghayatan keislaman yang lebih relevan dengan tuntutan kemoderenan dan tidak lepas dari akar kulturalnya (Arifin, 1996: 99). Oleh karenanya gerakan Neo-modernisme Islam Indonesia mempunyai asumsi dasar bahwa Islam di samping harus dilibatkan dalam  pergulatan-pergula­tan modernisme, harus pula menjadi leading-ism (ajaran-ajaran yang memimpin) di masa depan.
 Secara lebih khusus, ia cenderung meletakkan dasar-dasar keislaman dalam konteks keindonesiaan dengan mengedepankan isu-isu universal Islam bergandengan dengan kepentingan kebangsaan. Gerakan ini disinyalir mulai tumbuh sejak tahun 1970-an sebagai respon atas: (1) lambatnya perubahan sosial keagamaan yang dicapai oleh organisasi pembaru tradisional dan modern yakni NU dan Muhamadiyah sebagai arus Islam terbesar di Indonesia. Bahkan keduanya tak kunjung selesai dalam perdebatan masalah-masalah keagamaan sehingga melalaikannya merumuskan tatapan ke depan. (2) menguatnya gerakan idealisme Islam yang bercita-cita menjadikan Islam sebagai dasar negara Republik Indonesia. (3) pembangunan negeri yang mengutamakan kepentingan bersama dengan tidak membedakan suku dan agama.
Yang dapat disebut sebagai tokoh kunci neo-modernime Islam Indonesia adalah Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid (Ali, 1986: 176; Barton, 1988). Kedua intelektual ini dalam penga­laman pribadi sama-sama pernah mengalami sosialisasi pemikiran tradisionalis dan modernis sekaligus. Sebagai laboratorium gerakan Neo-modernismenya, Nurcholis mendiri­kan yayasan wakaf Paramadina pada tahun 1986. Yayasan ini merupakan lembaga keagamaan yang menyadari keterpaduan antara visi keislaman dan keindonesiaan sebagai perwujudan dari nilai-nilai Islam universal dengan tradisi lokal Indonesia.
Sedangkan Gus Dur (1979, 1994, 1998: 22), karena di samping intelektual juga poli­kus dan budayawan, memilih mengembangkan prinsip neo-modernismenya dalam berbagai jalur. Dalam jalur intelektual misalnya, ia pernah mengembangkan wacana baru tentang paham Ahlussunnah waljamaah, sedang selaku politikus ia mengedepankan wawasan kebangsaan yang luas dan menolak paham eksklusifisme Islam. Dalam dimensi budaya ia berusa­ha  merangkul semua kalangan termasuk pemeluk agama lain untuk  diajak bekerja sama menyelesaikan persoalan-persoa­lan umat beragama secara umum. Karena pergulatannya yang luas dengan berbagai problem keagamaan, menempatkannya menjadi tokoh penting dalam pembaruan Islam.
Sebagai kecenderungan baru, neo-modernisme mempunyai ciri khusus, yaitu wilayah kajiannya yang melampaui batasan kaum tradisionalis dan modernis. Pada giliranya ini membawa konsekwensi pada adanya apresiasi yang kuat dari para tokohnya untuk terlibat dalam pembahasan problema-problema keumatan yang mutakhir. Jadi mereka selalu aktif dalam mendiskusikan tema-tema kontemporer. Inilah yang nanti dapat melahirkan konsep-konsep sosial-kemasyarakatan yang tipikal Islam kontemporer. Sebagai contoh, tema pluralisme dan demokrasi menjadi isu mendasar yang banyak menjadi pembahasan. Umumnya pemikiran mereka dalam hal ini cenderung mengungkap kepentingan dan urgensi pemasyarakatan paham pluralisme secara luas ke seluruh kalangan masyarakat. Sebagai sebuah kenyataan, masyarakat Indonesia memang telah majemuk, tetapi kesadaran yang mendalam akan arti pluralisme dan demokrasi itu sendiri belum memuaskan kalangan neo-modernis. Oleh karena itu mereka merasa perlu memberikan penafsiran yang lebih rinci baik berdasarkan nash agama, sejarah maupun konteks sosial. Tokoh neo-modernis Islam berusaha mencari penjelasan yang relevan dengan penghayatan agama bagi masyarakat kontemporer. Tema inilah yang selama ini banyak memicu perbincangan hangat. Oleh karenanya cukup beralasan untuk mengkaji sejauh mana gagasan yang mereka kembangkan.
Di samping itu, kajian ini akan tetap menjadi sesuatu yang menarik karena salah satu wacana intelektual yang cukup mengesankan di abad ini adalah maraknya perbincangan mengenai Islam dan Demokrasi.                  Hal ini tidak berdiri sendiri, banyak hal yang melatarbelakangi, di antaranya adalah: Pertama, Crisis of modernity/krisis modernitas (Kepel, 1993: 191). Kedua, adanya kecenderungan eksklusivisme dan intoleransi di sebagian umat beragama yang pada gilirannya memicu terjadinya konflik dan permusuhan yang berlabel agama. Ketiga, ada  kesenjangan yang jauh antara cita-cita ideal agama dan realitas empirik  kehidupan umat  beragama (Achmad, 2001: ix; Armer dan Katsillis, 1992: 1300). Beberapa latar belakang di atas menjadi sebab mengapa tema Islam dan Demokrasi menjadi sesuatu yang semakin urgen, menarik untuk dikaji dan didalami lebih jauh, lebih-lebih bila dilhat dalam perspekti pemikiran Neo-Modernisme Gus Dur yang sudah menjadi iconnya gerakan progresif generasi muda Islam di Indonesia.

B. GUS DUR WACANA NEO-MODERNISME ISLAM INDONESIA
1. Islam Dan Demokrasi
Bagi kalangan Neo-modernis Islam, demokrasi dan agama sesungguhnya dapat di pertemukan. Demokrasi di pandang sebagai aturan politik yang paling layak, sementara agama di posisikan sebagai wasit moral dalam pengaplikasian demokrasi.
Menurut Abdurrahman Wahid, nilai demokrasi ada yang bersifat pokok dan yang bersifat deviasi atau lanjutan dari yang pokok itu. Ada tiga hal nilai pokok demokrasi: kebebasan, keadilan, dan musyawarah. Yang dimaksud kebebasan di sini adalah kebebasan Individu dihadapan kekuasaan negara, atau hak-hak individu warga negara dan hak kolektif dari masyarakat. Kedua, keadilan, merupakan landasan demokrasi, dalam arti terbukanya peluang kepada semua orang dan berarti juga ekonomi atau kemandirian dari orang yang bersangkutan untuk mengatur hidupnya sesuai dengan apa yang ia ingini. Jadi masalah keadilan penting dalam arti seseorang mempunyai hak untuk menentukan jalan hidupnya, tetapi orang itu harus di hormati haknya dan diberi peluang serta kemudahan untuk mencapainya. Maka keadilan terwujud manakala orang tidak mendapat halangan untuk mengekspresikan cita-citanya. Nilai demokrasi yang ke tiga syura (Musyawarah), artinya bentuk atau cara memelihara kebebasan dan memperjuangkan keadilan itu lewat jalur permusyawaratan ( Wahid, 1993: 90; 2004: 1 dan 9; 2007: 12 ). Karena nilai-nilai pokok dalam demokrasi sedemikian itulah maka sesungguhnya bagi Abdurrahman Wahid, paham demokrasi memiliki kesamaan yang kuat dengan misi Agama. Sebab agama pada dasarnya adalah juga menegakkan keadilan bagi kesejahteraan rakyat. Karena itu, ia tegas menolak bila demokrasi di perlawankan dengan agama.
Namun demikian ia memberi catatan khusus, agama dapat berjalan seiring  dengan demokrasi manakala ia telah malakukan transformasi bagi dirinya, secara Intern maupun ekstern. Tetapi transformasi ekstern yang tidak tertumpu pada transformasi intern di lingkungan lembaga atau kelompok keagamaan itu hanya akan merupakan sesuatu yang dangkal dan temporal. Oleh sebab itu, menurut Abdurahman Wahid, untuk dapat melakukan transformasi Intern itu agama harus merumuskan kembali pandangan-pandanganya mengenai martabat manusia, kesejajaran kedudukan semua manusia di muka undang-undang, dan solidaritas hakiki antar sesama umat manusia ( Wahid, 1994 : 273; 2007: 12).
Sementara itu elaborasi yang di kembangkan Abdurrahman Wahid tertuju pada pengaplikasia demokrasi. Ia tidak begitu tertarik membahas soal-soal teoritis demokarasi, tetapi berkepentingan dalam upaya-upaya manifestasinya. Menurut Abdurrahman Wahid, suatu Negara disebut demokratis manakala mampu manjamin hak-hak dasar asasi manusia, yang meliputi: ( 1 ) Jaminan keselamatan fisik; ( 2 ) Jaminan Keselamatan keyakinan agama; ( 3 ) Jaminan kehidupan keutuhan rumah tangga; ( 4 ) Jaminan keselamatan hak milik: dan ( 5 ) Jaminan Keselamatan akal ( Wahid, 1993: 97-97 ).
Diakuinya, perwujudan nilai-nilai itu jelas tidak mudah. Demokrasi itu sendiri adalah suatu proses. Karena itulah bagi Abdurrahman Wahid, perlu usaha yang kontinyu dalam menyosialisasikan demokrasi. Sebab tanpa itu demokrasi mustahil berjalan. Tentang bagaimana cara menyosialisasikannya ia mengatakan :                      
Ada beberapa cara, pertama, di upayakan untuk menerapkan kepada rakyat, kepada masyarakat umum tentang pentingnya nilai-nilai dasar demokrasi untuk kepentingan mereka. Ini merupakan pendekatan normatif. Kedua,  pendekatan empirik, pendekatan yang sifatnya membangun kesadaran tentang niala-nilai demokrasi dari prektek pengalaman ( Wahid, 1993, 100 ). 

Pemikiran Neo-modernisme juga sampai pada fakta riel dan pengalaman Indonesia dalam proses pelaksanaan demokrasi. kiranya siapapun mengakui, bangsa Indonesia dari awal kemerdekaan sampai kini, sedang belajar berdemokrasi dan sedang mencari rumusannya yang tepat. Berikut ini refleksi pemikiran Abdurrahman Wahid  tentang perjalanan demokarsi Indonesia tahun 1980 an.
Di negeri kita demokrasi belum lagi tegak dengan kokoh, masih berupa hiasan luar yang bersifat kosmetis dari pada sikap yang melandasi pengaturan hidup sesungguhnya. Dalam suasana demikan ini unsur-unsur masyarakat yang ingin melestarikan kepincangan sosial yang ada dewasa ini, tentu akan berusaha sekuat tenaga membendung aspirasi demokratis yang hidup di kalangan mereka yang telah sadar akan perlunya kebebasan di tegakkan di negeri ini. Karenanya dari sekarang sebenarnya telah di tuntut dari kita kesediaan bersama memperjuangkan kebebasan dan menyempurnakan demokrasi yang hidup di negeri kita. Perjungan itu harus di mulai dengan kesediaan menumbuhkan moralitas dalam kehidupan bangsa, yaitu moralita yang merasa terlibat dengan penderitaan rakyat bawah  ( Wahid, 1978: 22; dan Wawancara, 29 Mei 2007 ).

Pandangan ini tidaklah bentuk kepesimisan, sebab di sisi lain Abdurrahman Wahid melihat di Indonesia telah mulai muncul ‘Civil Society’. Menurutnya, civil society itu pada dasarnya telah terbangun di kalangan kaum muslimin justru dalam bentuknya yang paling primer, yakni dalam bentuk paguyuban yang kuat, yang punya rasa memiliki yang kokoh dan mampu menciptakan solidaritas sosialnya sendiri. Ia menunjuk ormas-ormas Islam seperti Muhammadiyah, NU, SI, dan lainnya, merupakan bentuk paguyuban yang mempunyai ikatan sosial sangat kokoh. Tetapi pertanyaannya, apakah semua itu   merupakan representasi civil society? Bagi Abdurrahman Wahid, mereka ini merupakan civil society selama gerakannya diarahkan pada perjuangan tempat dan posisi masyarakat dalam konteks kehidupan bernegara. Artinya selama mereka masih aktif dalam usaha memperkokoh posisi masyarakat, selama itu pula mereka berhak di sebut sebagai representasi civil society  (Wahid,  1998:  22).
Pandangan tersebut hendak menandaskan bahwa umat Islam sebenarnya mempunyai potensi yang sangat besar dalam mengembangkan gagasan demokrasi yang khas di Indonesia. Walaupun gagasan awal demokrasi bersumber dari Barat, akan tetapi konsep-konsep kunci bahasa polotik di negeri ini sarat dengan muatan demokrasi yang bersal dari khazanah Islam. Konsep seperti musyawarah-mufakat dan kedaulatan rakyat menunjukkan bahwa prinsip-prinsip demokrasi telah jauh tertanam. Karena itulah sangat tepat jika kita mengembangkan sistem demokrasi yang lebih sesuai dengan keadaan bangsa sendiri dan tingkat perkembangan bangsanya.

2. Islam dan Negara
Relasi agama dan negara disadari merupakan concern pemikiran Abdurrahman Wahid yang sangat menonjol. Perhatian ini sangat beralasan, tidak saja Abdurrahman Wahid adalah orang yang terlahir dari sebuah komunitas keagaman yang cukup kuat (pesantren) tetapi juga karena komitmennya untuk merumuskankembali atau minimal mencari format yang tepat bagaimana menghubungkan agama dan negara dalam konteks demokratisasi. Abdurrahman Wahid melihat bahwa di negeri ini, persoalan antar keduanya telah menjadi problem krusial yang harus dicarikan jalan keluar. Hampir di setiap dekade, bangsa ini hanya disibukkan untuk kembali mengungkit persoalan klasik mengenai hubungan agama dan negara, tanpa ada jalan keluarnya.

Abdurrahman Wahid merupakan salah seorang yang berusaha secara gigih memberikan alternatif-alternatif dalam dua pertentangan tersebut. Secara teoretis, menurut Abdurrahman Wahid (1999: 55-56), pemikiran negara dalam pandangan Islam pada dasarnya dapat dibagi ke dalam dua jenis pemikiran, yaitu pemikiran idealistik dan pemikiran realistik. Pemikiran idealistik berusaha secara sadar me­rumuskan sebuah kerangka negara yang sepenuhnya ber­dasarkan wawasan Islam. Dalam pandangan ini, Islam merupakan sebuah konsep kenegaraan yang harus diwujudkan secara penuh (in toto) dalam sebuah bangunan masyarakat yng seratus persen islami. Sedangkan pemikiran realistik tidak begitu tergoda oleh bangunan utopis dari sebuah negara ideal menurut wawasan Islam, tetapi lebih tertarik pada pemecahan masalah bagaimana per­kembangan historis dapat ditampung dalam Islam tentang negara.
Kedua model pemikiran tersebut mengambil pola pendekatan yang berbeda pula. Model pemikiran yang pertama lebih memilih pendekatan integralistik, yang berpandangan bahwa Islam diturunkan dalam kelengkapan yang sudah utuh dan bulat. Dengan ungkapan lain, Islam telah dianggap memiliki konsep-konsep lengkap untuk tiap bidang kehidupan. Masalahnya justru terletak pada bagaimana menggali konsep-konsep tersebut dari sumber­-sumber otentik agama. Dari perspektif inilah terdapat kesulitan terbesar dalam mencari kaitan antara Islam dan negara, karena sifat Islam yang seolah-olah supra rasional. Sebagaimana semua agama, Islam menjangkau kemanusiaan secara menyeluruh, tidak peduli asal usul etnisnya (Abdurrahman Wahid, 1989: 11; 2006: 12; 2007: 10).
Kategori pemikiran Abdurrahman Wahid dalam konteks relasi antara negara dan agama lebih cenderung pada pendekatan yang kedua. Abdurrahman Wahid adalah orang yang tidak setuju tentang pendirian sebuah negara yang didasarkan pada agama sebagai hukum formalnya. Dalam sebuah tulisannya yang cukup kontroversial, Islam: Punyakah Konsep Kenegaraan?, Abdurrahman Wahid (1999: 63), dengan mengutip pendapat `Ali Abd al-Raziq, mengatakan bahwa agama tidak memiliki sangkut paut dengan masalah kenegaraan, dengan alasan, pertama, dalam Al-Qur'an tidak pernah ada doktrin yang jelas tentang konsep negara; kedua, perilaku Nabi Muhammad sendiri tidak memperlihatkan watak politik, tetapi moral; dan ketiga, Nabi tidak pernah merumuskan secara definitif mekanisme penggantian jabatannya.
Kalau memang Nabi menghendaki berdirinya `negara Islam', mustahil masalah suksesi kepemimpinan dan peralihan kekuasaan tidak dirumuskan secara formal. Nabi cuma me­merintahkan `bermusyawarahlah kalian dalam per­soalan'. Masalah sepenting ini bukannya di lembagakan secara konkret, melainkan dicakup­kan dengan sebuah diktum saja, yaitu 'masalah mereka (haruslah) dimusyawarahkan antara mereka'. Mana ada negara dengan bentuk seperti itu?

Pada bagian lain, Abdurrahman Wahid (1999: 86) juga memberikan suatu alasan tentang tidak adanya konsep negara dalam Islam, sehingga formalisasi negara Islam dengan sendirinya harus ditolak. Apapun bentuk negara tersebut selama pengaturannya bertujuan untuk pencapaian tujuan bersama, maka negara tersebut harus dipegang teguh. Alasan tersebut adalah, pertama, tidak adanya konsep negara dalam Islam.
...Bagi kita (umat Islam) yang penting adalah pengaturannya (al-hukmu). Sebab, konsep dasar Islam tentang masyarakat adalah al-hukmu bukan al-daulatu (negara). Di dalam Al-Qur'an, kata-kata al-daulatu (edaran, siklus) itu tidak ada. Jadi, istilah kenegaraan dalam Al-Qur'an tidak memakai al­-daulatu. Pengertian kenegaraan dalam arti istilah geografi menggunakan istilah baldah (baldatun thayyibatun wa Rabbun Ghafur).

Untuk alasan ini, Abdurrahman Wahid (1996: 235) memberikan berbagai contoh dalam lintasan sejarah Islam awal yang cenderung menampakkan tidak adanya proses pergantian kekuasaan secara jelas.
Kedua, Islam tidak mengenal konsep pemerintahan secara definitif. Buktinya, dalam satu sistem pemerintahan yang paling pokok itu adalah persoalan suksesi kekuasaan (pergantian). Ternyata, dalam sejarah Islam, penanganan persoalan suksesi tidak tetap. Kadang memakai istikhlaf (kasus Abu Bakar ke Umar bin Khatab). Kadang juga memakai sistem bai'at (umat mem-bai'at Abu Bakar), kadang juga memakai sistem ahl al-hall wa al-aqd (sistem formatur). Padahal, perihal suksesi adalah persoalan yang cukup urgen dalam masalah kenegaraan. Ketiga model tersebut terjadi hanya dalam tempo 13 tahun. Padahal kalau memang Islam mempunyai konsepnya, tentu tidak akan demikian, apalagi para sahabat adalah orang yang paling takut dan taat terhadap Rasulullah (Abdurrahman Wahid, 1999: 87).
Islam memang sengaja tidak mengatur konsep kenegaraan, yang ada hanyalah 'komunitas agama' (kuntum khaira ummatin ukhrijat linnas). Jadi khaira ummatin bukan khaira daulatin. Sebab, konsep-­konsep negara yang definitif seperti yang ada sekarang ini baru muncul belakangan.
Pola hubungan antara agama dan negara yang hendak dibangun oleh Abdurrahman Wahid menunjukkan sisi yang kuat ke arah sekularisasi politik dengan tidak menegasikan peran agama dalam memberikan inspirasi. Sekularisasi dalam hal ini lebih diartikan sebagai upaya untuk membedakan, bukan memisahkan problem agama dengan problem negara. Hal ini penting, bagi Abdurrahman Wahid (1996: 234), karena Islam tidak akan pernah bisa terlepas dari politik, ketika politik dimaknai sebagai proses transformatif, proses deferensiasi, sekaligus proses mengubah masyarakat. Tetapi yang demikian tidaklah kemudian menunjukkan suatu ajaran untuhk meng-agama­kan negara atau membuat legislasi negara agama.
Itulah sebabnya dalam setiap gagasan makronya, Abdurrahman Wahid menolak setiap bentuk peng-agama­an negara atau membuat legislasi agama secara formal dalam negara. Menurut Abdurrahman Wahid, ajaran-ajaran agama berjalan di kalangan masyarakat melalui proses persuasi, bukan melalui perundang-undangan negara yang bersifat koersif. Jika tidak demikian, maka agama (tertentu) akan menjadi kekuatan pemaksa melalui kekuasaan negara dan segala aparatusnya. Abdurrahman Wahid, sebagaimana dijelaskan oleh Rumadi (dalam Khamami Zada, (ed.), 2002: 125), selalu memperingatkan agar masyarakat tidak mencari legitimasi masalah-masalah keagamaan kepada negara, demikian pula sebaliknya. Agama sebagai dimensi private paling independen dari manusia tidak boleh diintervensi dan diformalkan dalam negara yang berada dalam wilayah publik. Formalisasi agama dalam negara justru menjadikan agama tidak independen, karena ia disubordinasi oleh negara, sehingga yang terjadi adalah politisasi agama.

3. Islam dan Pancasila
Abdurrahman Wahid sendiri adalah orang yang berkeyakinan bahwa bangsa Indonesia haruslah tetap berpegang pada Pancasila. Baginya, Pancasila merupakan syarat bagi demokratisasi dan perkembangan Islam spiritual yang sehat dalam konteks nasional. Pancasila adalah kompromi politik yang memungkinkan semua orang Indonesia hidup bersama-sama dalam sebuah negara kesatuan nasional non-Islam (Abdurrahman Wahid sebagaiman dikutip Douglas E. Ramage, dalam Greg Fealy dan Greg Barton, ed, 1997: 196).
Pengakuan atas Pancasila sebagai ideologi nasional merupakan bukti adanya penolakan Abdurrahman Wahid terhadap formalisasi agama ke dalam politik, termasuk keinginan untuk menghidupkan kembali Piagam Jakarta. Pancasila adalah ideologi nasional yang esensial untuk mempertahankan kesatuan nasional. Karena Indonesia adalah sebuah negara yang dibentuk berdasarkan konsensus dan kompromi, sedangkan kompromi itu inheren dalam Pancasila.
Di lain pihak, Abdurrahman Wahid juga menolak anggapan bahwa Pancasila adalah ideologi sekuler. Baginya tidak ada pertentangan antara Islam dan nasionalisme.
NU berpegang pada konsepsi nasionalisme yang sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. NU telah menjadi pionir dalam masalah ideologi. Ini tentu hanya satu kasus, karena di seluruh dunia Islam hubungan antara nasionalisme dan Islam masih menjadi persoalan, para penulis Saudi menganggap nasionalisme sebagai bentuk sekularisme. Mereka belum mengerti bahwa nasionalisme seperti yang dipraktikkan di Indonesia tidaklah sekuler, tetapi sangat menghormati agama (Abdurrahman Wahid, dalam majalah Aula juli 1992: 26; 2006: 215,2007: 2).

Berdasarkan pemahaman ini, Abdurrahman Wahid sangat mendukung Pancasila sebagai finalitas ideologi negara dalam konteks ke-Indonesiaan. Artinya, ia juga melakukan penolakan atas upaya-upaya untuk menjadikan syariah agama (Islam) sebagai hukum nasional.
Dengan penuh keyakinan, ia pun berpendapat bahwa hukum nasional harus melakukan pilihan antara sebagai hukum agama atau hukum sekuler, tidak boleh ada kemungkinan jalan tengah (Abdurrahman Wahid, 2000: 36). Atas dasar konsensus nasional, pilihan itu harus ditetapkan, bukan sekadar pilihan satu kelompok tertentu. Inilah yang ingin Abdurrahman Wahid tunjukkan bahwa dalam melihat negara itu harus didasarkan pada realitas obyektif, bukan sekadar idealisasi konseptual.
Negara yang plural dari segala aspeknya memerlukan common denominator yang tidak berasal dari satu aspek. Dominasi satu kelompok atas kelompok lainnya dalam pluralitas tersebut berakibat pada pereduksian konsep negara bangsa yang di dalamnya berisi berbagai agama, suku, dan bahasa. Karenanya, penerimaan Pancasila dalam keadaan seperti itu adalah konsekuensi logis yang tidak bisa ditolak. Bagi Abdurrahman Wahid, penerimaan itu bukanlah untuk menggantikan posisi agama dalam kehidupan bermasyarakat, melainkan hanya untuk mengatur pola relasi antar berbagai elemen yang ada.
 .....kalau berurusan dengan tetangga yang Muslim dalam soal agama, saya menggunakan keislaman saya, kalau berurusan dengan sesama Muslim dalam urusan negara atau dengan orang beragama lain dalam soal agama digunakanlah Pancasila (Abdurrahman Wahid, 1999: 93).

Pola hubungan antara agama dan Pancasila dengan demikian tidak digambarkan sebagai pola yang bersifat polaritatif, melainkan dialogis yang sehat, yang berjalan terus menerus secara dinamis. Jadi, salahlah kalau Islam dan Pancasila dipertentangkan, karena peranannya justru saling mengisi, mendukung dan menutup. Keabadian Islam mendapatkan jalur konkretisasinya melalui Pancasila, sedangkan kehadiran Pancasila itu sendiri bersumber juga pada ajaran agama (Abdurrahman Wahid, 1999: 94)
Agama dan Pancasila tidak boleh diidentikkan secara menyeluruh. karena fungsi masing-masing saling berbeda. Pancasila berfungsi sebagai landasan hidup berbangsa dan bernegara. Dalam keadaan demikian, Pancasila haruslah mewadahi aspirasi agama dan menopang keduduk­annya secara fungsional. Agama merupakan landasan keimanan warga masyarakat dan menjadi unsur motivatif, yang memberikan warna spiritual kepada kegiatan mereka. Agama menempatkan seluruh kegiatan masyarakat pada tingkat yang tidak sekadar bersifat incidental belaka (Abdurrahman Wahid, 1999: 99).

4. Islam dan Pluralisme Agama
Kalangan neo-modernis mempunyai konsep yang cukup dalam untuk membangun visi masyarakat tentang paham kemajemukan agama. Mereka hendak mengukuhkan konsep pluralisme agama itu dari tinjauan doktrin agama, perspektif sosio-historis, dan dari sudut kepentingan intergasi nasional.
Hubungan Islam dengan pluralisme memiliki dasar argumentasi yang kuat. Sementara Abdurrahman Wahid melihat hubungan Islam dengan pluralisme dalam konteks manifestasi universalisme dan kosmopolitanisme ajaran Islam. Menurut Islam secara tegas menjamin lima hak dasar kemanusian :
(1).  Keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan di luar hukum.
(2).  Keselamatan keyakinan agama tanpa paksaan,
(3).  Keselamatan keluarga dan keturunan,
(4).  Keselamatan harta benda dan hak milik pribadi, dan
(5).  Keselamatan profesi.   ( Wahid,  1995:  546; 2007:2).
Berangkat dari kerangka normatif singkat tersebut, Abdurrahman Wahid lebih banyak menyorot pluralisme agama dari tujuan sosiologis. Berdasarkan pengalaman di Indonesia, ia melihat toleransi dan kerukunan hidup beragama berjalan cukup baik. Islam yang masuk ke Nusantara bercorak sangat akomodatif terhadap budaya lokal, sehingga mengakibatkan akulturasi budaya yang kompleks. Ini tidak hanya dialami oleh Islam tradisional yang menyerap budaya mistik masyarakat Hindhu-Budha, tetapi juga Islam modern terhadap simbol Kristen. Contohnya, tradisi penyebutan dari Ahad telah bergeser ke hari Minggu, sesuatu yang diterimah secara masif. Fakta seperti ini menggambarkan adanya mozaik yang indah dalam kerukunan hidup, seperti dikatakannya :
            Mereka juga menyebut hari Arab Ahad dengan sebutan hari Minggu, yang berasal dari Domingo, yang berarti Tuhan bagi orang-orang Katolik Portugal, dan kemudian diikuti orang-orang Eropa lain untuk pergi ke gereja. Penyerapan ‘nama Kristen’ bagi hari Arab Ahad itu akhirnya sekarang menyembulkan faset baru berupa kegiatan keagamaan kaum muslimin, seperti majlis ta’lim dan pengajian umum pada hari tutup kantor dan hari tutup sekolah itu. Perubahan ‘hari Kristen’ menjadi ‘hari Islam’ tanpa mengubah penyebutan nama harinya itu menunjukkan keindahan mozaik kerukunan hidup antara umat beragama, yang menyejukkan hati dan menentramkan jiwa   (Wahid,   1992:   6). 
           
Dari kutipan di atas, jelas bagi Abdurrahman Wahid, tradisi kerukunan hidup beragama di negeri ini cukup mantap ditandai dengan adanya interaksi-sosial yang harmonis antar berbagai pemeluk agama.6 Tetapi lebih lanjut ia menilai, mekipun watak normatif Islam jelas-jelas kosmopolitanis didukung sejumlah pengalaman sejarah, tetapi hal itu tidaklah berjalan mulus begitu saja. Bahkan belakangan ini ia merasa, di kalangan kaum muslimin Indonesia ada suatu kejanggalan, yakni apa yang disebutkanya sebagi proses ‘pendangkalan agama’.
Pendangkalan itu muncul akibat pengaruh politik Islam di Timur Tengah, di mana Islam sudah di jadikan sebagai ideologi atau komoditas polotik, baik oleh yang menindas maupun yang ditindas. Faktor lain yang menyebabkan terjadinya pendangkalan, menurut Abdurrahman Wahid adalah proses pendidikan dan dakwah Islam yang cenderung bersifat memusuhi, mencurigai, dan tidak mau mengerti agama lain. Itu tidak hanya dilakukan mubaligh-mubaligh di mimbar, tetapi juga guru-guru di sekolah. Sebabnya ialah: Pertama, mereka sedang mengalami masa transisi dari kehidupan tradisional ke kehidupan modern, yang kemudian berdampak pada hilangnya akar-akar psikologis dan kultural. Kedua, Islam telah dijadikan ajang kepentingan dan bendera politik yang di pakai untuk menghadapi orang lain (Wahid,  1998:  51-52.)        
Pada tahap berikutnya, kaum muslimin tidak mampu membaca di mana kepentingan Islam dan di mana pula posisi kaum non-muslim, bahkan secara pukul rata sering dianggap sebagai musuh atau lawan. Yang lebih tidak disukai Abdurrahman Wahid, manakala pandangan demikian itu dijustifikasi dengan sejumlah ayat, padahal belum tentu konteks ayat itu relevan dengan apa yang dimaksudkan. Misalnya, ayat: “seharusnya pengikut Nabi Muhammad itu keras terhadap orang Kafir dan santun kepada sesamanya.”  (QS. 48: 29.) Oleh sebagian umat Islam, ayat itu dimaknai sebagai keharusan bersikap keras terhadap non-muslim. Padahal, yang dituju ayat itu adalah Kuffar (orang-orang kafir) yang tidak beragama, bukan Yahudi, Kristen, atau kaum beragama lainnya. Banyak ayat Al-Qur’an yang menurutnya sering dipahami salah seperti itu. Lebih lanjut ia kemukakan :
Ada lagi satu ayat Al-Qur’an yang sering dikutip untuk membenarkan sikap dan tindakan anti-toleransi. Yaitu, ayat yang berbunyi: “Wahai Muhammad, sesungguhnya orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela kepadamu sampai kamu ikuti agama mereka” (QS. 2 : 120). Kata ‘tidak rela’ di sini dianggap melawan atau memusuhi, penginjilan atau pengabaran Injil, dan sebagainya. Dua hal yang berbeda sama sekali diletakkan dalam satu hubungan yang tidak jelas. Padahal kalau masalahnya didudukkan secara proporsional, kita tidak akan keliru memahami arti ‘tidak rela’ di situ. Tidak rela itu artinya tidak bisa menerima konsep-konsep dasar. Bahwa Kristen dan Yahudi tidak bisa menerima konsep dasar Islam itu sudah tentu. Sebab kalau mereka bisa menerima, itu artinya bukan Kristen dan Yahudi lagi. Maksudnya, jawaban kebalikan terhadap ayat tadi juga bisa kita buat sama: Walan Nardlo, artinya kita tidak rela terhadap Yahudi dan Nasrani, misalnya konsep ketuhanannya sebab memang sudah beda. Tapi itu tidak berarti ada permusuhan (Wahid, 1998,  53-54).

Pemikiran Abdurrahman Wahid di atas pada intinya berusaha menghilangkan sikap kebencian kepada agama lain, sebab kebencian hanya membawa pada permusuhan. Padahal misi agama adalah perdamaian, sesuatu yang bertolak belakang dengan permusuhan. Sikap benci dan memusuhi adalah lawan paham pluralisme. Pluralisme meniscayakan adanya keterbukaan, sikap toleran, dan saling menghargai kepada manusia secara keseluruhan.
Seorang pluralis tidak pernah merendahkan nilai-nilai kemanusian kepada siapapun juga. Dalam hubungan ini Abdurrahman Wahid memberikan refleksinya atas tokoh Kristen Y.B. Mangunwijaya, yang ia anggap sebagai figur seorang pluralis yang konsisten dengan perjuangan kemanusiaannya dan yang lebih mengedepankan nilai moralitas seperti ditulisnya:
Ini artinya ketika moralitas absolut diwujudkan melalui praksis maka yang muncul adalah kebersamaan. Saya melihat dari sudut ini bahwa apa yang di lakukan Romo Mangun, membangun kebersamaan antar kita semua, sebagai suatu sumbangan yang sangat penting dan di sinilah letak inti teologinya. Kalau bisa menyimpulkan bahwa Romo Mangun adalah orang yang membawa kebersamaan melalui keyakinan keimanan yang dipegangnya, dan sudah tidak penting lagi melalui wahana agama yang mana akan di lakukan. Ini merupakan suatu keagungan teologis yang dapat dicapai oleh anak manusia. Seorang anak manusia yang kongkret  (Wahid,  1995: 338).
           
Karena pluralisme selalu pararel dengan dimensi kemanusiaan, maka tidak dapat ditolerir adanya kekerasan dalam kehidupan, lebih-lebih jika membawa bendera agama. Yang juga menjadi perhatian Abdurrahman Wahid dalam kaitan ini adalah adanya kasus-kasus kerusuhan yang sejak beberapa waktu lalu terus menerus terjadi, yang membawa dampak serius bagi konflik antar agama. Misalnya kasus Pekalongan (1995) yang mengakibatkan rusaknya puluhan Gereja dan kelenteng, kasus Surabaya (1996) yang merusak sembilan (9) gereja, dan kasus Situbondo yang bahkan merusak 25 (dua puluh lima) gereja. Persoalannya, adakah itu murni soal sentimen agama atau karena faktor-faktor lainnya yang menumpang simbol agama? Hal itu masih perlu pembuktian lebih jelas, meskipun hipotesis sementara menyebutkan bahwa sebenarnya kasus-kasus tersebut adalah berdimensi politis. Tetapi karena sudah terjadi, maka yang menjadi terganggu adalah soal kerukunan dan toleransi itu sendiri.
Bagi Abdurrahman Wahid, motif kerusuhan tersebut umumnya politik belaka dengan memanfaatkan sejumlah orang yang mudah dihasut, yaitu orang-orang yang pemahaman agamanya masih dangkal. Pada akhirnya, dari apa yang telah terjadi, menunjukkan makin perlunya peningkatan dialog agama-agama. Maka dalam kasus situbondo, ia memberi komentarnya demikian :
            Peristiwa Situbondo merupakan titik yang baik untuk dapat menyadarkan betapa pentingnya dialog yang intens antar umat beragama. Saya telah melakukan otokrotik kepada umat Islam dan kalangan pemimpin Islam. Mereka, baik dalam kelompok organisasi, lembaga, yayasan, maupun perorangan, masih banyak yang menganggap tidak penting mengenal agama lain, bahkan menghina keyakinan agama lain. Padahal menghina Tuhan yang dianggap milik orang lain sesungguhnya juga menghina Tuhan milik kita sendiri. Karena pada dasarnya Tuhan itu hanya satu. Yang berbeda hanya konseptualisasinya (Wahid, 1998, 58).         

Dari keseluruhan uraian di muka dapat digarisbawahi bahwa bagi kalangan neo-modernis, Islam di Indonesia memiliki potensi besar dalam mempelopori pluralisme dan toleransi beragama. Hanya saja, harus ada suatu usaha yang kontinu dalam membina kerukunan seraya mencari penyelesaian secara damai manakala timbul konflik. Karena itulah progam yang dikembangkan kalangan neo-modernis tidak lain kecuali membangun kerja sama dan dialog antar umat beragama. Disadari oleh mereka, sifat truth–claim memang selalu melekat dalam diri pemeluk agama, tetapi justru karena adanya perbedaan pengalaman dan penghayatan keagamaan itu dimungkinkan adanya titik temu.
Pada intinya pencarian gagasan titik temu ini mengarah dua segi:     Pertama: Dialog teologis-spiritual. Dialog model ini baru memperoleh arti yang sesungguhnya apabila disertai dengan keberanian para pemeluknya mempertanyakan, menggugat, dan mengoreksi diri sendiri sudah memahami jantung pengalaman keagamaan orang lain. Jika ini dapat di lakukan maka akan lahir pandangan keagamaan yang inklusif, terbuka, dan tidak mudah menyalakan keyakianan keagamaan orang lain. Model ini sering diistilahkan dengan dialog   intra religius  (intrareligius dialogue).
Kedua: Dialog sosial-kemanusian, artinya antar pemeluk agama membicarakan masalah agama dan hubungannya dengan problem kemanusiaan yang terjadi, yang kemudian berusaha secara bersama-sama mencari alternatif pemecahannya. Dalam dialog ini agama-agama dimintai responnya terhadap problem sosial kontemporer, yang tidak lain hal ini menuntut peran kritis agama. Dalam hubungan ini tidak jarang terjadi kesamaan persepsi dan visi masing-masing agama. Kedua model dialog tersebut selalu di kembangkan oleh kalangan neo-modernis dalam rangka mengukuhkan konsep pluralisme agama di Indonesia.

C.   PENUTUP
             Terdapat empat tema pokok yang menjadi wacana pemikiran neo-modernisme Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tentang Islam di Indonesia,  yaitu:
1.       Islam dan Demokrasi. Demokrasi merupakan pilihan politik satu-satunya bagi masyarakat Indonesia. Prinsip pemikiran neo-modernisme Gus Dur menyatakan, nilai-nilai dalam demokrasi sepenuhnya obyektif dan tidak ada satu pun yang berlawanan dengan norma agama. Dalam aplikasinya harus ada saling mengisi, terutama sekali bahwa agama dapat memberikan kekuatan etik, moral, dan spiritual bagi berkembangnya demokratisasi.
2.       Relasi Islam dan Negara, menurut Gus Dur untuk mencarikan solusi  atas ketegangan antara dua kutub yang berbeda tersebut, yaitu menjadikan Islam sebagai etika sosial dalam kehidupan bernegara dan pribumisasi Islam. Secara tidak langsung maka ia menolak formalisasi negara Islam.
3.       Islam dan Pancasila di Indonesia, sebagai iderologi dan falsafah negara adalah sesuatu yang final, karena tidak ada satu pun nilai-nilai Pancasila itu bertentangan secara diametral dengan prinsip-prinsip dasar Islam.
4.       Islam dan Pluralisme. Kalangan neo-modernis intens mengeluti ini karena secara riil-obyektif, masyarakat Indonesia sangat majemuk, tidak saja dari segi etnis tetapi juga dari segi agama. Pada faktanya, kondisi masyarakat plural sangatlah rawan konflik, karenanya jika isu sara terusik maka akibat sosial yang ditimbulkannya besar sekali. Neo-modernis hendak membangun visi agar pluralisme benar-benar dapat diterima oleh seluruh masyarakat Indonesia. Indikator penerimaan paham pluralisme tercermin dari sikap keterbukaan dan toleransi.


DAFTAR PUSTAKA

Ali, Fachry, dan Bahtiar Effendy. 1986. Meramba Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru. Mizan: Bandung.

Amal, Taufik Adnan. 1989. Islam dan Tantangan Modernitas. Mizan: Bandung.

Arifin, Syamsul. 1996. Spiritualisasi Islam dan Peradaban Masa Depan. Si-Press: Yogyakarta.

Arkoun, Muhammad. 1987. Rethinking Islam Today. Occasional Papers            Sereies. Center of Contemporary Arab Studies: Georgetown University.

________. 1989. The Concept of Authority in Islamic Thought. dalam  The Islamic World Classical to Modern Times: Essays in Honor of Bernard Lewis.  Princeton: Darwin Press.

Armer, J. Michael and John Katsillis. “Modernization Theory”. dalam Edgar F. Borgotta Ed. Encyclopedia of Sociology. Vol. I. Macmillan. Publishing Company: New York. 1992.

Ashcroft, Bill, at., al. 1998.  Key Consepts in Post Colonial Studies.  Routladge: New York.

A. Luthfi Asyaukanie. Tipologi dan Wacana Pamikiran Arab Kontemporer. Jurnal Pemikiran Islam Paramadina Vol. I. No. 1. Juli-Desember 1998. hal.58.

Barton, Greg. 1995. “Neo-Modernism: A Vital Synthesis of Traditionalist and Modernist Islamic Thought in Indonesia”. in Studi Islamika. Vol. 2 No. 3 Tahun 1995.

________. 1995.  The Emergence of New Modernism: Progressive, Liberal, Movement of Islamic Thought in Indonesia. Disertasi Doctor: Monash University.

________. 1996, NU Traditional Islam and Modernity In Indonesia.  Monash Asia Institute: Monash.

________. 1999. Gagasan Islam neo-modernisme di Indonesia. Paramadina: Jakarta.

________. 2004. Biografi Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid. LKiS: Yogyakarta.

Bellah, Robert N. 1964.  Religious Evolution, American Sociological Review 29: 358-374.

Berger, Peter L. 1967. The Sacred Canopy:Elements of a Sociological Theory of Religion. Doubleday: Garden City New York.

________. 1991. Langit Suci: Agama Sebagai Realitas Sosial. LP3ES: Jakarta.

________. 1992. Kabar Angin Dari Langit: Makna Teologi dalam Masyarakat Modern. LP3ES: Jakarta.

Berger, Peter L. and Thomas Luckmann. 1966. The Social Construction of Reality: A Treatise in The Sociology of Knowledge. Doubleday: Garden City New York.

Binder, Leonard. 1988. Islamic Liberalism. University of Chicago Press: Chicago.

Coward, Harold.  1996. Religious Pluralism.., Simon & Schuster Inc.: New York

Daya, Burhanuddin. 1993. Hubungan Antar Agama di Indonesia. Journal Ilmu dan Kebudayaan. Ulumul Qur’an. Nomor 4 Vol. IV. Tahun 1993,

Derrida, J. 1978. Writing and Difference. terj. Inggris Alan Bass. Routledge & Kegal Paul: London.

Durkheim, Emile. 1992. The  Elementary Form of  the Religious Life. New York: Free Press.

Fealy, Greg. 1998. History of Nahdlotul Ulama :1952-1967, Clyton: Centre of Southeast Asian Studies: Monash University,

Foucault, Michel. 1972. The Archeology of Knowledge. terj. Inggris oleh AM. Sheridan. London: Tavistock Publication.

________. 1980. Power Knowledge: Selected Interviews and Other Writing 1972-1977.  Colin Gordon (ed.) dan terj. Inggris Colin Gordon, et. Al., Panteon Books: New York.

________. 1977. Dicipline And Punish: The Birth of the Prison, terj. Alan Sheridan, Allen Lane. Penguin Books: Harmondsworth. London

________. 1998. The History of Sexuality. Vol I: The Will to Knowledge, Peguin Book: London

Gibb, H.A.R.  1990. Modern Trends in Islam. The University of Chicago Press: USA.

Hafner,Robert W. 2001, “Public Islam and The Problem of Democratization”, Journal Sociology of Religion Vol. 62 No. 4 Winter 2001.

Hick, John. 1987. “Religious Pluralism” dalam  The World’s Religious Traditions: Current Perspectives in Religious Studies, ed. Frank Whaling. Crossroad: New York.

________. 1999. “Conflicting Truth Claim”. dalam Gery E. Kesler. Philosophy of Religion: Toward a Global Perspective, Wodsworth Publishing Company: California.






1Kata “ Neo modernis” sengaja ditulis dalam tanda  petik, karena istilah ini masih menjadi perdebatan tersendiri di kalangan internal kelompok yang disebut Islam  Neo modernis. Ada yang  senang menggunakan Istilah Islam Liberalis, Islam Progresif, dan post Tradisionalisme Islam. Terlepas apapun sebutannya titik tolak dari pemikiran Islam Neo modernis di Indonesia adalah bahwa kaum muslimin tidak cukup menawarkan Islam dalam kehidupan moderen hanya dengan menyodorkan Qur'an dan sunnah tanpa dibekali kerangka pemahaman kontekstual yang memadai. Seluruh teks-teks keagamaan perlu dilihat dari dua sudut ; "sudut legal-spesifik" dan "ide moral-universal". Dengan membagi dua aspek ini secara adil maka pengaplikasian nilai-nilai Islam akan lebih mengena sesuai tuntutan sosial masyarakat modern yang senantiasa berubah. Menurut Charles Kurzman (1998) Model Islam ini bertitik tolak pada suatu rasionalitas untuk terus menerus menjaga kesinambungan syariah Islam dengan tuntutan sejarah,  dan pengembangan suatu metode sistematis yang mampu mela­kukan  rekonstruksi Islam secara total dan tuntas serta tetap setia pada akar-akar spiritualnya dan dapat menjawab kebutuhan Islam moderen, tanpa mengalah secara membabi buta kepada barat atau menafikannya. Di samping itu, Islam Neo modernis juga harus bersikap kritis terhadap warisan-warisan sejarah keagamaannya. 
2 Sebagai perbandingan tentang kekuatan hubungan Islam dan negara pada masa Orde baru bisa dilihat dalam buku Kekuatan Islam dan Pergulatan Kekuasaan di Indonesia Sebelum dan sesudah  Runtuhnya Rezim Soeharto (Aminuddin, 1999). 
3 Syafi’i Anwar membuat tipologi pemikiran politik Islam di Indonesia sebagai berikut;Formalistik, substantivistik, transformatik, Totalistik, Idealistik, Realistik (Anwar, 1995, 143-182).Sedang Bakhtiar Effendi membuat lima model teoritik; Dekonfensionalisasi Islam, domestikasi Islam, skismatik dan aliran, trikotomi dan Islam kultural (Effendi, 1998, 23).
6Gus Duir membuat kebijakan yang fenomenal pada tanggal 17 Januari 2000, ia mengeluarkan Inpres No. 6/2000. Isinya mencabut Inpres No. 14 yang dibuat Soeharto tentang agama, kepercayaan dan adat istiadat China. Dan selanjutnya diikuti oleh Megawati meresmikan Imlek sebagai hari Libur nasional.