Jumat, 21 Juli 2017

Kerukunan Masyarakat Banyuwangi

Kerukunan Masyarakat Banyuwangi
Sebuah “Potret”  Masyarakat Multikultural1
Oleh: M. Syamsudini 2
Awalan
Dalam konteks sosio-politik Banyuwangi sering dianggap sebagai wilayah yang rawan konflik. Hal ini dikarenakan ada sebuah peristiwa yang menjadikan pembenar justifikasi tersebut yaitu:  Aksi pembantaian dengan isu Ninja pada tahun 1998. Peristiwa tersebut secara langsung mencitrakan wilayah ini beserta komunitas pendukungya sebagai wilayah yang  mudah berkonflik. Tentu saja asumsi tersebut tidak selamanya benar, karena pada dasarnya peristiwa ninja tidak hanya menjadi karakteristik masyarakat di wilayah ini dan ada latar belakang serta setting politik yang menyebabkan peristiwa itu terjadi. Di samping itu peran media yang selama ini mem-blow up peristiwa ninja di wilayah ini juga menjadi penguat stereotip tersebut. Padahal dalam hal kebudayaan, masyarakat di wilayah Banyuwangi mempunyai keunikan dan karakteristik tersendiri. Keunikan dan karakteristik masyarakat Banyuwangi dalam konteks wacana kebudayaan merupakan tema baru dan belum banyak mendapat perhatian serius dari para pakar budaya. Kenyataan tersebut memang bisa dimaklumi, karena dalam konteks wilayah kebudayaan dan geografis, Banyuwangi  memang berada pada ‘ruang lain kebudayaan’. Mengapa dikatakan demikian? Dari sisi posisi dan wilayah, Banyuwangi hanya merupakan satu wilayah kebudayaan (cultural area) di bagian timur Provinsi Jawa Timur  dan jauh dari pusat informasi sehingga menjadikannya sebagai ‘liyan’ (the other) yang kurang diminati. Tetapi, benarkah ‘posisi pinggir’ dalam konteks diskursus budaya tersebut menjadikan Banyuwangi kurang menarik untuk dijadikan kajian akademis?
Potret sosio-kultural masyarakat yang mendiami wilayah Banyuwangi adalah kombinasi masyarakat saling berinteraksi dengan banyak etnis, suku, golongan, agama, aliran, kelompok dan seterusnya yang pada akhirnya melahirkan masyarakat multikultur.              Perpaduan dan adaptasi budaya ini memang terjadi meskipun lebih banyak berlangsung di pusat dan pinggiran kota. Di Kecamatan Banyuwangi Kota, misalnya, interaksi antara warga Madura, Bali, Cina, Arab, Mandar, Melayu, Jawa dan Osing melahirkan sebuah kerukunan yang mempunyai keunikan dan karakteristik tersendiri.
Dalam konteks kesenian, juga terjadi proses perpaduan dan, lagi-lagi, lebih cenderung berorientasi pada kesenian berakar dari budaya campuran. Di Alian, Kecamatan Rogojampi, misalnya, ada kelompok“Hadrah Kuntul” yang dalam pertunjukannya menggunakan Bahasa Arab yang komunitas penontonnya berasal dari etnis Osing, Bali, Cina, Madura dan Jawa. Pada umumnya, budaya Banyuwangi merupakan hasil dari suatu proses sosial panjang dan dialog intensif di antara bermacam-macam kebudayaan sejalan dengan masyarakat pendukungnya6.
Pendekatan multikultural akan menjadi alat bantu dalam menganalisis perkembangan masyarakat Banyuwangi dewasa ini. Dengan menggunakan pendekatan ini diharapkan akan menghasilkan kajian yang lebih komperhensif tentang bagaimana kondisi, peran, kontestasi, dan beragam kebudayaan dan masyarakat pendukungnya.4
Membicarakan Kerukunan masyarakat Banyuwangi dalam konteks yang lebih luas, tentu tidak bisa menegaskan keberadaan etnis lain, selain Jawa, Osing dan Madura. Tionghoa, Arab, Mandar, Melayu dan Bali, meskipun dianggap sebagai minoritas, mereka juga ikut berpartisipasi dalam proses sosial yang terjadi di masyarakat. Dan hal itu tidak berlangsung dalam waktu yang singkat. Di Kecamatan Glenmore, misalnya, sejak migrasi era kolonial sebagai bentuk mobilisasi massa oleh pihak kolonial (dalam hal ini Belanda) telah menghasilkan struktur masyarakat multietnis7.
Dalam kurun waktu yang cukup lama tersebut, sebuah proses budaya dalam masyarakat secara kontinyu berlangsung dalam nuansa damai. Mereka saling berinteraksi dan beradaptasi untuk saling melengkapi berdasarkan peran masing-masing. Etnis Tionghoa dan Arab, misalnya, berperan sebagai pedagang. Etnis Madura lebih banyak berperan sebagai pekerja kebun dan petani serta sebagian kecil berperan dalam dunia pendidikan pesantren sebagai kyai dan ustadz. Sementara etnis Jawa dan Osing mengambil peran sebagai petani, pendidik (formal), dan aparat birokrasi. Meskipun saat ini peran tersebut sudah ada yang berubah, tetapi secara umum bisa dikatakan tetap.
Pola interaksi dan adaptasi antarbudaya sebagai konsekuensi proses komunikasi antaretnis, tidak bisa dipungkiri, telah melahirkan sebuah varian budaya baru bernuansa hibrid yang kemudian disebut masyarakat multikultur. Lahirnya Masyarakat multikultur merupakan proses interaksi dan komunikasi di antara beragam etnis yang berakar dari peran sosial dan atraksi kultural masing-masing yang kemudian menghasilkan budaya hibrid. Hibridasi dalam konteks ini tidak hanya membicarakan proses perpaduan antara bermacam budaya yang menghasilkan budaya baru. Hibridasi yang terjadi di wilayah Banyuwangi merupakan hibridasi struktural dabn hibridasi kultural.

a. Hibridasi ala Banyuwangi
Dalam masyarakat Banyuwangi yang multietnik telah terjadi persilangan peran sosial teruatama dalam pilihan organisasi sebagai akibat dari saling berinteraksinya budaya mereka. Saat ini, misalnya, sudah banyak warga etnik Madura yang memilih untuk menjadi pegawai pemerintah maupun pendidik formal sehingga bukan lagi menjadi dominasi etnis Jawa dan Osing. Sedangkan hibridasi kultural yang terjadi pada masyarakat Banyuwangi merupakan percampuran bermacam bahasa dan tradisi multietnik yang membentuk ‘budaya baru’ meskipun tidak selamanya baru. Budaya baru tersebut berbentuk, misalnya, Bahasa Osing sering digunakan bahasa komunikasi di Kampung Arab yang mayoritas peenduduknya etnis Arab. Contoh lain Etnis Tionghoa, terutama dalam transaksi dagang, banyak berinteraksi dengan menggunakan Bahasa Madura maupun Bahasa Jawa bercampur logat Tionghoa yang cukup kental. Begitu pula dengan etnis Bali. Di kecamatan, seperti Rogojampi, kita bisa menjumpai perkampungan Bali di mana warganya banyak yang berkomunikasi dengan Bahasa Jawa bercampur logat Bahasa Bali.
Sedangkan dalam tradisi kesenian juga terjadi keterlibatan lintasetnis dalam kesenian Tionghoa dan Arab, tetapi tanpa merubah format pertunjukan maupun bahasanya. Dalam kesenian Barongsai dan Liang liong Muncar, misalnya, banyak anggota—baik penari maupun pemusiknya—yang berasal dari etnis Madura maupun Jawa. Begitupula yang terjadi dengan penggarapan kesenian Gambus (Arab), Kendang Kempul dan Janger (Osing) yang juga melibatkan etnik Madura dan Jawa. Di sini tampak jelas, meskipun telah terjadi hibridasi, namun di Banyuwangi tetap belum menghasilkan ‘sesuatu yang sepenuhnya baru’. Dengan kata lain ada kesadaran dan kemauan personal untuk berpartisipasi ke dalam kelompok kesenian etnis lain—baik karena motivasi ekonomi ataupun kesadaran budaya—dan tidak berarti mereka kehilangan jati diri budaya etnis asal mereka.

b. Orkestra Multikultural Masyarakat Banyuwangi
Selain membicarakan masyarakat Banyuwangi sebagai proses perpaduan, sebenarnya kita juga bisa membicarakan masyarakat Banyuwangi dalam konteks masyarakat multikultural. Mengapa demikian? Karena di samping ditemukannya data tentang perpaduan yang menghasilkan sebuah budaya baru, di wilayah kebudayaan ini juga bisa dilihat adanya budaya masingmasing etnis yang tetap dipertahankan dalam sebuah proses sosial yang menempati ruang dan waktu yang sama. Meskipun dalam kehidupan sehari-hari mereka berinteraksi, tetapi mereka tetap kukuh dalam menjalankan aktivitas budaya sesuai dengan identitas masingmasing demi terjaganya jati dirinya.
Di Banyuwangi,  kondisi tersebut sangat tampak ketika kita melihat aktivitas budaya di wilayah selatan, utara dan Barat. Sebagai produk segregasi etnis ala kolonial, masyarakat etnis Jawa yang menempati wilayah selatan Banyuwangi (seperti Tegaldlimo, Pesanggaran, Tegalsari, Siliragung dan Gambiran) sampai saat ini masih mempraktekkan produk budaya Jawa baik dalam hal bahasa, kesenian, maupun adat-istiadat lainnya. Masyarakat Jawa di Tegalsari, misalnya, sampai saat ini masih melestarikan kesenian Reog yang berasal dari nenek moyangnya di Ponorogo. Di samping itu, hampir semua masyarakat di selatan juga menggemari Wayang Kulit, Jaranan, dan Campursari. Sedangkan untuk urusan pendidikan mereka tetap berorientasi pada pendidikan formal, meskipun di sana juga terdapat pondok pesantren.
Contoh lain dari adanya perpaduan budaya masyarakat Banyuwangi terlihat dalam pementasan Janger ( nota bene budaya Bali ) menjadi perpaduan Janger yang bernuansa Banyuwangi. Dilihat dari performance-nya Janger Banyuwangi memiliki bentuk yang khas, karena itu dapat diasumsikan bahwa Janger Basnyuwangi selain terbentuk dari seni pertunjukan yang multilingual juga multikultural. Hal ini dapat dilihat adanya dalang dalam pertunjukan. Janger Banyuwangi merupakan kesenian yang terbentuk dari transformasi wayang orang, kethoprak, dan Seni Bali. Unsur-unsur yang dimunculkan dari ketiga bentuk kesenian tersebut dapat dibagankan sebagai berikut.

 















Dari ketiga unsur tersebut, hal yang berpengaruh dalam pembentukan wacana cerita adalah unsur dari wayang orang dan kethoprak, sedangkan Seni Bali  berpengaruh pada aspek teatrikalnya (pementasan) yakni musik, kostum, dan gerak/tari. Dengan adanya transformasi tersebut juga melahirkan bentuk wacana yang khas. Kekhasan bentuk wacana Janger, selain karena bahasanya juga adanya peran dalang. Peran dalang adalah untuk membawakan suluk sebagai pembuka cerita dan narasi di awal setiap episode. Dalam pementasan Janger disebut sebagai seni pedalangan. Baik suluk maupun narasi merupakan bagian integral dari cerita yang dipentaskan.

Di wilayah utara, masyarakat tetap bertahan pada orientasi budaya Madura. Bahasa Madura merupakan bahasa sehari-hari masyarakat di Kecamatan Giri, Kalipuro, Wongsorejo,  sebagian Glagah, sebagian Licin dan sebagian Banyuwangi Kota. Di samping ludruk ala Madura, masyarakat di sana gemar melihat pertunjukan Hadrah sebagai kesenian pesantren yang menjadi orientasi pendidikan etnis Madura. Pengajian7 juga menjadi acara favorit karena di samping mendapatkan wejangan-wejangan tentang Islam, mereka juga bisa bertemu dengan para Lorah (sebutan untuk kyai) ataupun Gus (anak kyai) yang dianggap bisa mendatangkan berkah bagi kehidupan warga. Sedangkan di wilayah Barat dan pinggiran kota—di samping berdagang, etnis Tionghoa—sebagai berkah reformasi politik nasional—juga mulai mengembangkan kesenian Barongsai dan Liang liong sebagai kesenian khas mereka. Pada peringatan Imlek, kesenian ini dipertontonkan menyusuri jalan-jalan protokol kota Banyuwangi, meskipun generasi mudanya sudah banyak yang menggunakan Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa dengan aksen Tionghoa, Bahasa Mandarin sudah mulai diperkenalkan lagi.
Dalam hal pendidikan sebagian besar warga etnis Tionghoa tetap menyekolahkan anakanaknya ke sekolah-sekolah yang dikelola gereja, seperti SD, SMP, dan SMA Santo Yusuf, SMA Mandala, SMA Aletheia dan lain-lain. Sementara etnis Arab tetap kukuh mempertahankan identitasnya dengan tetap melestarikan pernikahan sesama etnis. Mereka juga masih mempertahankan Musik Gambus sebagai pemenuh kebutuhan estetiknya.
Fakta-fakta di atas merupakan sisi lain Banyuwangi. Sebuah komunitas budaya yang selama ini hanya dianggap bercirikan perpaduan budaya Jawa, Osing, Bali dan Madura, ternyata menyimpan ‘sebuah orkestra multikultural’ yang berjalan dengan harmonis dan dinamis.
Meskipun seringkali dikatakan menghasilkan produk budaya yang dinamakan budaya Banyuwangi ternyata mereka tetap menikmati kesejarahan dalam bentuk pemertahanan identitas kultural etnis masing-masing. Mereka yang selama ini melangsungkan kehidupan dalam sebuah masyarakat di Banyuwangi ini berhasil mengembangkan satu bentuk masyarakat multikultural yang sangat toleran dalam menghargai perbedaan.
Orkestra multikultural dalam sebuah periuk besar bernama buadaya Banyuwangi ini merupakan sisi positif dari sebuah keberagaman yang semestinya terus dikembangkan dalam kehidupan masyarakat. Komunitas masyarakat multikultural Banyuwangi dengan segala kekurangannya telah memberikan contoh tentang bagaimana membangun kesadaran bersama dalam masyarakat multikultural. Parsudi Suparlan dalam makalahnya mengatakan:
Dalam model multikulturalisme ini, sebuah masyarakat (termasuk juga masyarakat bangsa seperti Indonesia) dilihat sebagai mempunyai sebuah kebudayaan yang berlaku umum dalam masyarakat tersebut yang coraknya seperti sebuah mosaik. Di dalam mosaik tercakup semua kebudayaan dari masyarakat-masyarakat yang lebih kecil yang membentuk terwujudnya masyarakat yang lebih besar, yang mempunyai kebudayaan yang seperti sebuah mosaik tersebut8.
Menyitir pendapat di atas, bisa dikatakan bahwa komunitas pendukung di wilayah kebudayaan Banyuwangi ternyata tidak hanya membuat mozaik budaya, tetapi lebih dari itu, mereka telah menghasilkan orkestra multikultural yang indah di tengah suburnya lahan pertanian dan perkebunan serta denyut nadi bisnis modern dan pendidikan yang mulai menggeliat. Hal ini menunjukkan betapa rentannya rasa kebersamaan yang dibangun dalam Negara- Bangsa, betapa kentalnya prasangka antara kelompok dan betapa rendahnya saling pengertian antar kelompok9. Ternyata selama puluhan—bahkan ratusan—tahun masyarakat Banyuwangi berhasil menciptakan mekanisme interaksi sosial yang mampu menjaga keharmonisan dalam kontestasi budaya masing-masing etnis.
Simpulan
Sepertihalnya sebuah orkestra yang mengusung perpaduan dari permainan bermacam instrumen musik dalam irama harmonis, masyarakat multikultural Banyuwangi bisa dikatakan sebagai ‘sebuah proses yang akan terus menjadi’ di tengah-tengah keragamannya. Artinya apa-apa yang saat ini bisa dikaji dan dipahami dari wilayah kebudayaan ini adalah sesuatu yang belum mapan (established) dan akan terus menjadi sesuai dengan gerak dinamis kebudayaan etnis-etnis pendukungnya. Berangkat dari kenyataan tersebut, ada beberapa kemungkinan yang bisa dilontarkan. Pertama, bisa jadi, pada suatu ketika perpaduan kebudayaan masing-masing etnis di wilayah ini akan menghasilkan sebuah budaya yang ‘benar-benar baru’. Kedua, Masyarakat multikultur Banyuwangi akan tetap seperti sekarang ini, ada hibridasi dan ada juga atraksi kultural dari masing-masing etnisnya dengan suasana yang semakin dinamis karena datangnya etnis-etnis lain dari seluruh bagian Indonesia, baik
karena alasan pendidikan ataupun pekerjaan. Semuanya bisa saja terjadi dan semuanya akan berdampak positif selagi komunitas pendukung menyadarinya. Yang tidak baik adalah ketika periuk besar ini hancur karena sengaja dipecah oleh mereka yang mengatasnamakan kebenaran demi kepentingan politik, agama, ekonomi, ataupun perut.
9
Catatan akhir
1 Disampaikan dalam Jelajah Budaya yang diselenggarakan oleh Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, di Jember 13 Agustus 2006.
2 Staf pengajar di Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra Universitas Jember.
3 Dr. Harry Yuswadi, M.A. 2005. Melawan Demi Kesejahteraan, Perlawanan Petani Jeruk terhadap Kebijakan Pembangunan Pertanian. Jember: Penerbit Kompyawisda, hal.101.
4 Bahasa Jawa Dialek Jember biasanya digunakan oleh etnis Madura di kota dan pinggiran kota ketika mereka berkomunikasi dalam ranah sosial dengan etnis Jawa, tetapi ketika berkomunikasi dengan sesama etnis Madura mereka tetap menggunakan Bahasa Madura. Bahasa lisan yang mereka gunakan memang berbeda jauh dengan Bahasa Jawa standar. Pemilihan bahasa tersebut didasari beberapa faktor, antara lain (1) beridentifikasi dengan mitra wacana, dalam hal ini etnis Jawa dan (2) menyatakan sifat positif terhadap Bahasa Jawa. Berikut contoh bahasa yang digunakan dalam percakapan seharihari antara etnis Jawa (EJ) dan Madura (EM): (EJ) Kate nang endi, Mas? (EM) Gak onok, iki ku-mlaku.
Jawaban ‘Gak onok, iki ku-mlaku’ merupakan usaha menggunakan Bahasa Jawa yang dipengaruhi Bahasa Madura. Lebih jauh tentang hal ini lihat Bambang Wibisono dan Akhmad Sofyan. “Latar Belakang Psikologis Pemilihan Bahasa pada Masyarakat Multilingual (Studi Kasus Pemakaian Bahasa oleh Masyarakat Etnik Madura di Jember)” dalam Jurnal Ilmu-ilmu Humaniora, Vol.II/No.1 Januari 2001, Fakultas Sastra Universitas Jember.hal. 1-13.
5 Lebih jauh tentang hal ini lihat Kusnadi. “Masyarakat ‘Tapal Kuda’, Konstruksi Kebudayaan dan Kekerasan Politik”, dalam Jurnal Ilmu-ilmu Humaniora, Vol. II/No.2/2001, Fakultas Sastra Universitas Jember.hal.3-4.
6 Ibid.
7 Bahkan menurut Kusnadi, pada masa kolonial kebudayaan Jawa dan Madura di wilayah Tapal Kuda juga berinteraksi kebudayaan Eropa, India, Melayu, Bugis, Mandar, dan Bali. Ibid.
8 Parsudi Suparlan, “Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural”, makalah dalam Simposium Internasional Bali ke-3, Denpasar, 16-21 Juli 2002.
9 Muhaemin el-Ma'hady dalam artikelnya “Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural”, diakses dari http://artikel.us/muhaemin6-04.html.

Daftar Bacaan
Barker, Chris.2004. Cultural Studies, Teori dan Praktik. (terjemahan Indonesia oleh Nurhadi). Yogyakarta: Kreasi Wacana.
el-Ma’hady, Muhaemin. “Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural” dalam http://artikel.us/muhaemin6-04.html, diakses pada 15 Pebruari 2006, 11.30 WIB.
Kusnadi. “Masyarakat “Tapal Kuda”: Konstruksi Kebudayaan dan Kekerasan Politik”, dalam Jurnal Ilmu-ilmu Humaniora, Vol.II/No.2/Juli 2001.Fakultas Sastra Universitas Jember.
Prawiroatmodjo, S.1985. Bausastra Jawa—Indonesia I. Jakarta: Gunung Agung.
Suparlan, Parsudi. “Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural”, makalah dalam Simposium Internasional Bali ke-3, Denpasar, 16-21 Juli 2002.
Sutarto, Ayu. 2004 “Pendekatan Kebudayaan: Wacana Tandingan untuk Mendukung Pembangunan di Provinsi Jawa Timur”, dalam Ayu Sutarto dan Setya Yuwana (et.als).
Pendekatan Kebudayaan dalam Pembangunan Provinsi Jawa Timur. Jember: Kompyawisda.
Wibisono, Bambang dan Akhmad Sofyan. “Latar Belakang Psikologis Pemilihan Bahasa pada Masyarakat Multilingual (Studi Kasus Pemakaian Bahasa oleh Masyarakat Etnik Madura di Jember)”, dalam Jurnal Ilmu-ilmu Humanioara, Vol.II/No.1/Januari 2001, Fakultas Sastra Universitas Jember.
Yuswadi, Harry. 2005. Melawan Demi Kesejahteraan, Perlawanan Petani Jeruk terhadap Kebijakan Pembangunan Pertanian. Jember: Kompyawisda.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar