Kerukunan Masyarakat Banyuwangi
Sebuah “Potret” Masyarakat Multikultural1
Oleh: M. Syamsudini 2
Awalan
Dalam konteks sosio-politik Banyuwangi
sering dianggap sebagai wilayah yang rawan konflik. Hal ini dikarenakan ada
sebuah peristiwa yang menjadikan pembenar justifikasi tersebut yaitu: Aksi pembantaian dengan isu Ninja pada tahun
1998. Peristiwa tersebut secara langsung mencitrakan wilayah ini beserta
komunitas pendukungya sebagai wilayah yang mudah berkonflik. Tentu saja asumsi tersebut
tidak selamanya benar, karena pada dasarnya peristiwa ninja tidak hanya menjadi
karakteristik masyarakat di wilayah ini dan ada latar belakang serta setting
politik yang menyebabkan peristiwa itu terjadi. Di samping itu peran media yang
selama ini mem-blow up peristiwa ninja di wilayah ini juga menjadi penguat
stereotip tersebut. Padahal dalam hal kebudayaan, masyarakat di wilayah Banyuwangi
mempunyai keunikan dan karakteristik tersendiri. Keunikan dan karakteristik
masyarakat Banyuwangi dalam konteks wacana kebudayaan merupakan tema baru dan
belum banyak mendapat perhatian serius dari para pakar budaya. Kenyataan
tersebut memang bisa dimaklumi, karena dalam konteks wilayah kebudayaan dan
geografis, Banyuwangi memang berada pada
‘ruang lain kebudayaan’. Mengapa dikatakan demikian? Dari sisi posisi dan
wilayah, Banyuwangi hanya merupakan satu wilayah kebudayaan (cultural area) di
bagian timur Provinsi Jawa Timur dan
jauh dari pusat informasi sehingga menjadikannya sebagai ‘liyan’ (the other)
yang kurang diminati. Tetapi, benarkah ‘posisi pinggir’ dalam konteks diskursus
budaya tersebut menjadikan Banyuwangi kurang menarik untuk dijadikan kajian
akademis?
Potret sosio-kultural masyarakat
yang mendiami wilayah Banyuwangi adalah kombinasi masyarakat saling berinteraksi
dengan banyak etnis, suku, golongan, agama, aliran, kelompok dan seterusnya
yang pada akhirnya melahirkan masyarakat multikultur. Perpaduan dan adaptasi budaya ini
memang terjadi meskipun lebih banyak berlangsung di pusat dan pinggiran kota.
Di Kecamatan Banyuwangi Kota, misalnya, interaksi antara warga Madura, Bali,
Cina, Arab, Mandar, Melayu, Jawa dan Osing melahirkan sebuah kerukunan yang
mempunyai keunikan dan karakteristik tersendiri.
Dalam konteks kesenian, juga
terjadi proses perpaduan dan, lagi-lagi, lebih cenderung berorientasi pada
kesenian berakar dari budaya campuran. Di Alian, Kecamatan Rogojampi, misalnya,
ada kelompok“Hadrah Kuntul” yang
dalam pertunjukannya menggunakan Bahasa Arab yang komunitas penontonnya berasal
dari etnis Osing, Bali, Cina, Madura dan Jawa. Pada umumnya, budaya Banyuwangi
merupakan hasil dari suatu proses sosial panjang dan dialog intensif di antara
bermacam-macam kebudayaan sejalan dengan masyarakat pendukungnya6.
Pendekatan multikultural akan
menjadi alat bantu dalam menganalisis perkembangan masyarakat Banyuwangi dewasa
ini. Dengan menggunakan pendekatan ini diharapkan akan menghasilkan kajian yang
lebih komperhensif tentang bagaimana kondisi, peran, kontestasi, dan beragam
kebudayaan dan masyarakat pendukungnya.4
Membicarakan Kerukunan masyarakat
Banyuwangi dalam konteks yang lebih luas, tentu tidak bisa menegaskan
keberadaan etnis lain, selain Jawa, Osing dan Madura. Tionghoa, Arab, Mandar,
Melayu dan Bali, meskipun dianggap sebagai minoritas, mereka juga ikut berpartisipasi
dalam proses sosial yang terjadi di masyarakat. Dan hal itu tidak berlangsung
dalam waktu yang singkat. Di Kecamatan Glenmore, misalnya, sejak migrasi era
kolonial sebagai bentuk mobilisasi massa oleh pihak kolonial (dalam hal ini
Belanda) telah menghasilkan struktur masyarakat multietnis7.
Dalam kurun waktu yang cukup lama
tersebut, sebuah proses budaya dalam masyarakat secara kontinyu berlangsung
dalam nuansa damai. Mereka saling berinteraksi dan beradaptasi untuk saling
melengkapi berdasarkan peran masing-masing. Etnis Tionghoa dan Arab, misalnya,
berperan sebagai pedagang. Etnis Madura lebih banyak berperan sebagai pekerja
kebun dan petani serta sebagian kecil berperan dalam dunia pendidikan pesantren
sebagai kyai dan ustadz. Sementara etnis Jawa dan Osing mengambil peran sebagai
petani, pendidik (formal), dan aparat birokrasi. Meskipun saat ini peran
tersebut sudah ada yang berubah, tetapi secara umum bisa dikatakan tetap.
Pola interaksi dan adaptasi
antarbudaya sebagai konsekuensi proses komunikasi antaretnis, tidak bisa
dipungkiri, telah melahirkan sebuah varian budaya baru bernuansa hibrid yang
kemudian disebut masyarakat multikultur. Lahirnya Masyarakat multikultur merupakan
proses interaksi dan komunikasi di antara beragam etnis yang berakar dari peran
sosial dan atraksi kultural masing-masing yang kemudian menghasilkan budaya
hibrid. Hibridasi dalam konteks ini tidak hanya membicarakan proses perpaduan
antara bermacam budaya yang menghasilkan budaya baru. Hibridasi yang terjadi di
wilayah Banyuwangi merupakan hibridasi struktural dabn hibridasi kultural.
a. Hibridasi ala Banyuwangi
Dalam masyarakat Banyuwangi yang
multietnik telah terjadi persilangan peran sosial teruatama dalam pilihan
organisasi sebagai akibat dari saling berinteraksinya budaya mereka. Saat ini,
misalnya, sudah banyak warga etnik Madura yang memilih untuk menjadi pegawai
pemerintah maupun pendidik formal sehingga bukan lagi menjadi dominasi etnis
Jawa dan Osing. Sedangkan hibridasi kultural yang terjadi pada masyarakat Banyuwangi
merupakan percampuran bermacam bahasa dan tradisi multietnik yang membentuk
‘budaya baru’ meskipun tidak selamanya baru. Budaya baru tersebut berbentuk,
misalnya, Bahasa Osing sering digunakan bahasa komunikasi di Kampung Arab yang
mayoritas peenduduknya etnis Arab. Contoh lain Etnis Tionghoa, terutama dalam
transaksi dagang, banyak berinteraksi dengan menggunakan Bahasa Madura maupun
Bahasa Jawa bercampur logat Tionghoa yang cukup kental. Begitu pula dengan
etnis Bali. Di kecamatan, seperti Rogojampi, kita bisa menjumpai perkampungan Bali
di mana warganya banyak yang berkomunikasi dengan Bahasa Jawa bercampur logat
Bahasa Bali.
Sedangkan dalam tradisi kesenian juga
terjadi keterlibatan lintasetnis dalam kesenian Tionghoa dan Arab, tetapi tanpa
merubah format pertunjukan maupun bahasanya. Dalam kesenian Barongsai dan Liang
liong Muncar, misalnya, banyak anggota—baik penari maupun pemusiknya—yang
berasal dari etnis Madura maupun Jawa. Begitupula yang terjadi dengan
penggarapan kesenian Gambus (Arab), Kendang Kempul dan Janger (Osing) yang juga
melibatkan etnik Madura dan Jawa. Di sini tampak jelas, meskipun telah terjadi
hibridasi, namun di Banyuwangi tetap belum menghasilkan ‘sesuatu yang
sepenuhnya baru’. Dengan kata lain ada kesadaran dan kemauan personal untuk
berpartisipasi ke dalam kelompok kesenian etnis lain—baik karena motivasi
ekonomi ataupun kesadaran budaya—dan tidak berarti mereka kehilangan jati diri
budaya etnis asal mereka.
b. Orkestra Multikultural Masyarakat Banyuwangi
Selain membicarakan masyarakat
Banyuwangi sebagai proses perpaduan, sebenarnya kita juga bisa membicarakan masyarakat
Banyuwangi dalam konteks masyarakat multikultural. Mengapa demikian? Karena di
samping ditemukannya data tentang perpaduan yang menghasilkan sebuah budaya
baru, di wilayah kebudayaan ini juga bisa dilihat adanya budaya masingmasing
etnis yang tetap dipertahankan dalam sebuah proses sosial yang menempati ruang
dan waktu yang sama. Meskipun dalam kehidupan sehari-hari mereka berinteraksi,
tetapi mereka tetap kukuh dalam menjalankan aktivitas budaya sesuai dengan
identitas masingmasing demi terjaganya jati dirinya.
Di Banyuwangi, kondisi tersebut sangat tampak ketika kita
melihat aktivitas budaya di wilayah selatan, utara dan Barat. Sebagai produk
segregasi etnis ala kolonial, masyarakat etnis Jawa yang menempati wilayah
selatan Banyuwangi (seperti Tegaldlimo, Pesanggaran, Tegalsari, Siliragung dan Gambiran)
sampai saat ini masih mempraktekkan produk budaya Jawa baik dalam hal bahasa,
kesenian, maupun adat-istiadat lainnya. Masyarakat Jawa di Tegalsari, misalnya,
sampai saat ini masih melestarikan kesenian Reog yang berasal dari nenek
moyangnya di Ponorogo. Di samping itu, hampir semua masyarakat di selatan juga
menggemari Wayang Kulit, Jaranan, dan Campursari. Sedangkan untuk urusan
pendidikan mereka tetap berorientasi pada pendidikan formal, meskipun di sana
juga terdapat pondok pesantren.
Contoh lain dari adanya perpaduan budaya masyarakat Banyuwangi terlihat dalam pementasan Janger ( nota bene budaya Bali
) menjadi perpaduan Janger yang bernuansa Banyuwangi. Dilihat dari performance-nya Janger Banyuwangi memiliki
bentuk yang khas, karena itu dapat diasumsikan bahwa Janger Basnyuwangi selain
terbentuk dari seni pertunjukan yang multilingual juga multikultural. Hal ini
dapat dilihat adanya dalang dalam pertunjukan. Janger Banyuwangi merupakan
kesenian yang terbentuk dari transformasi wayang orang, kethoprak, dan Seni
Bali. Unsur-unsur yang dimunculkan dari ketiga bentuk kesenian tersebut dapat
dibagankan sebagai berikut.
![]() |
Dari ketiga unsur tersebut, hal yang berpengaruh dalam
pembentukan wacana cerita adalah unsur dari wayang orang dan kethoprak,
sedangkan Seni Bali berpengaruh pada
aspek teatrikalnya (pementasan) yakni musik, kostum, dan gerak/tari. Dengan
adanya transformasi tersebut juga melahirkan bentuk wacana yang khas. Kekhasan
bentuk wacana Janger, selain karena bahasanya juga adanya peran dalang. Peran
dalang adalah untuk membawakan suluk sebagai pembuka cerita dan narasi di awal
setiap episode. Dalam pementasan Janger disebut sebagai seni pedalangan. Baik
suluk maupun narasi merupakan bagian integral dari cerita yang dipentaskan.
Di wilayah utara, masyarakat
tetap bertahan pada orientasi budaya Madura. Bahasa Madura merupakan bahasa
sehari-hari masyarakat di Kecamatan Giri, Kalipuro, Wongsorejo, sebagian Glagah, sebagian Licin dan sebagian
Banyuwangi Kota. Di samping ludruk ala Madura, masyarakat di sana gemar melihat
pertunjukan Hadrah sebagai kesenian pesantren yang menjadi orientasi pendidikan
etnis Madura. Pengajian7 juga menjadi acara favorit karena di samping
mendapatkan wejangan-wejangan tentang Islam, mereka juga bisa bertemu dengan
para Lorah (sebutan untuk kyai) ataupun Gus (anak kyai) yang dianggap bisa
mendatangkan berkah bagi kehidupan warga. Sedangkan di wilayah Barat dan
pinggiran kota—di samping berdagang, etnis Tionghoa—sebagai berkah reformasi
politik nasional—juga mulai mengembangkan kesenian Barongsai dan Liang liong
sebagai kesenian khas mereka. Pada peringatan Imlek, kesenian ini
dipertontonkan menyusuri jalan-jalan protokol kota Banyuwangi, meskipun
generasi mudanya sudah banyak yang menggunakan Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa
dengan aksen Tionghoa, Bahasa Mandarin sudah mulai diperkenalkan lagi.
Dalam hal pendidikan sebagian
besar warga etnis Tionghoa tetap menyekolahkan anakanaknya ke sekolah-sekolah
yang dikelola gereja, seperti SD, SMP, dan SMA Santo Yusuf, SMA Mandala, SMA
Aletheia dan lain-lain. Sementara etnis Arab tetap kukuh mempertahankan
identitasnya dengan tetap melestarikan pernikahan sesama etnis. Mereka juga
masih mempertahankan Musik Gambus sebagai pemenuh kebutuhan estetiknya.
Fakta-fakta di atas merupakan
sisi lain Banyuwangi. Sebuah komunitas budaya yang selama ini hanya dianggap
bercirikan perpaduan budaya Jawa, Osing, Bali dan Madura, ternyata menyimpan
‘sebuah orkestra multikultural’ yang berjalan dengan harmonis dan dinamis.
Meskipun seringkali dikatakan
menghasilkan produk budaya yang dinamakan budaya Banyuwangi ternyata mereka
tetap menikmati kesejarahan dalam bentuk pemertahanan identitas kultural etnis
masing-masing. Mereka yang selama ini melangsungkan kehidupan dalam sebuah masyarakat
di Banyuwangi ini berhasil mengembangkan satu bentuk masyarakat multikultural
yang sangat toleran dalam menghargai perbedaan.
Orkestra multikultural dalam
sebuah periuk besar bernama buadaya Banyuwangi ini merupakan sisi positif dari
sebuah keberagaman yang semestinya terus dikembangkan dalam kehidupan
masyarakat. Komunitas masyarakat multikultural Banyuwangi dengan segala
kekurangannya telah memberikan contoh tentang bagaimana membangun kesadaran
bersama dalam masyarakat multikultural. Parsudi Suparlan dalam makalahnya
mengatakan:
Dalam model multikulturalisme
ini, sebuah masyarakat (termasuk juga masyarakat bangsa seperti Indonesia)
dilihat sebagai mempunyai sebuah kebudayaan yang berlaku umum dalam masyarakat
tersebut yang coraknya seperti sebuah mosaik. Di dalam mosaik tercakup semua
kebudayaan dari masyarakat-masyarakat yang lebih kecil yang membentuk
terwujudnya masyarakat yang lebih besar, yang mempunyai kebudayaan yang seperti
sebuah mosaik tersebut8.
Menyitir pendapat di atas, bisa
dikatakan bahwa komunitas pendukung di wilayah kebudayaan Banyuwangi ternyata
tidak hanya membuat mozaik budaya, tetapi lebih dari itu, mereka telah
menghasilkan orkestra multikultural yang indah di tengah suburnya lahan
pertanian dan perkebunan serta denyut nadi bisnis modern dan pendidikan yang
mulai menggeliat. Hal ini menunjukkan betapa rentannya rasa kebersamaan yang
dibangun dalam Negara- Bangsa, betapa kentalnya prasangka antara kelompok dan
betapa rendahnya saling pengertian antar kelompok9. Ternyata selama
puluhan—bahkan ratusan—tahun masyarakat Banyuwangi berhasil menciptakan
mekanisme interaksi sosial yang mampu menjaga keharmonisan dalam kontestasi
budaya masing-masing etnis.
Simpulan
Sepertihalnya sebuah orkestra
yang mengusung perpaduan dari permainan bermacam instrumen musik dalam irama
harmonis, masyarakat multikultural Banyuwangi bisa dikatakan sebagai ‘sebuah
proses yang akan terus menjadi’ di tengah-tengah keragamannya. Artinya apa-apa
yang saat ini bisa dikaji dan dipahami dari wilayah kebudayaan ini adalah
sesuatu yang belum mapan (established) dan akan terus menjadi sesuai dengan
gerak dinamis kebudayaan etnis-etnis pendukungnya. Berangkat dari kenyataan
tersebut, ada beberapa kemungkinan yang bisa dilontarkan. Pertama, bisa jadi, pada suatu ketika perpaduan kebudayaan
masing-masing etnis di wilayah ini akan menghasilkan sebuah budaya yang
‘benar-benar baru’. Kedua, Masyarakat
multikultur Banyuwangi akan tetap seperti sekarang ini, ada hibridasi dan ada
juga atraksi kultural dari masing-masing etnisnya dengan suasana yang semakin
dinamis karena datangnya etnis-etnis lain dari seluruh bagian Indonesia, baik
karena alasan pendidikan ataupun
pekerjaan. Semuanya bisa saja terjadi dan semuanya akan berdampak positif
selagi komunitas pendukung menyadarinya. Yang tidak baik adalah ketika periuk
besar ini hancur karena sengaja dipecah oleh mereka yang mengatasnamakan
kebenaran demi kepentingan politik, agama, ekonomi, ataupun perut.
9
Catatan akhir
1 Disampaikan dalam Jelajah
Budaya yang diselenggarakan oleh Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional
Yogyakarta, di Jember 13 Agustus 2006.
2 Staf pengajar di Jurusan Sastra
Indonesia, Fakultas Sastra Universitas Jember.
3 Dr. Harry Yuswadi, M.A. 2005. Melawan
Demi Kesejahteraan, Perlawanan Petani Jeruk terhadap Kebijakan Pembangunan
Pertanian. Jember: Penerbit Kompyawisda, hal.101.
4 Bahasa Jawa Dialek Jember
biasanya digunakan oleh etnis Madura di kota dan pinggiran kota ketika mereka
berkomunikasi dalam ranah sosial dengan etnis Jawa, tetapi ketika berkomunikasi
dengan sesama etnis Madura mereka tetap menggunakan Bahasa Madura. Bahasa lisan
yang mereka gunakan memang berbeda jauh dengan Bahasa Jawa standar. Pemilihan
bahasa tersebut didasari beberapa faktor, antara lain (1) beridentifikasi
dengan mitra wacana, dalam hal ini etnis Jawa dan (2) menyatakan sifat positif
terhadap Bahasa Jawa. Berikut contoh bahasa yang digunakan dalam percakapan
seharihari antara etnis Jawa (EJ) dan Madura (EM): (EJ) Kate nang endi, Mas?
(EM) Gak onok, iki ku-mlaku.
Jawaban ‘Gak onok, iki ku-mlaku’
merupakan usaha menggunakan Bahasa Jawa yang dipengaruhi Bahasa Madura. Lebih
jauh tentang hal ini lihat Bambang Wibisono dan Akhmad Sofyan. “Latar
Belakang Psikologis Pemilihan Bahasa pada Masyarakat Multilingual (Studi Kasus
Pemakaian Bahasa oleh Masyarakat Etnik Madura di Jember)” dalam Jurnal
Ilmu-ilmu Humaniora, Vol.II/No.1 Januari 2001, Fakultas Sastra Universitas
Jember.hal. 1-13.
5 Lebih jauh tentang hal ini lihat
Kusnadi. “Masyarakat ‘Tapal Kuda’, Konstruksi Kebudayaan dan Kekerasan
Politik”, dalam Jurnal Ilmu-ilmu Humaniora, Vol. II/No.2/2001, Fakultas
Sastra Universitas Jember.hal.3-4.
6 Ibid.
7 Bahkan menurut Kusnadi, pada
masa kolonial kebudayaan Jawa dan Madura di wilayah Tapal Kuda juga
berinteraksi kebudayaan Eropa, India, Melayu, Bugis, Mandar, dan Bali. Ibid.
8 Parsudi Suparlan, “Menuju
Masyarakat Indonesia yang Multikultural”, makalah dalam Simposium
Internasional Bali ke-3, Denpasar, 16-21 Juli 2002.
9 Muhaemin el-Ma'hady dalam
artikelnya “Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural”, diakses dari http://artikel.us/muhaemin6-04.html.
Daftar Bacaan
Barker, Chris.2004. Cultural
Studies, Teori dan Praktik. (terjemahan Indonesia oleh Nurhadi). Yogyakarta:
Kreasi Wacana.
el-Ma’hady, Muhaemin.
“Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural” dalam
http://artikel.us/muhaemin6-04.html, diakses pada 15 Pebruari 2006, 11.30 WIB.
Kusnadi. “Masyarakat “Tapal
Kuda”: Konstruksi Kebudayaan dan Kekerasan Politik”, dalam Jurnal Ilmu-ilmu
Humaniora, Vol.II/No.2/Juli 2001.Fakultas Sastra Universitas Jember.
Prawiroatmodjo, S.1985. Bausastra
Jawa—Indonesia I. Jakarta: Gunung Agung.
Suparlan, Parsudi. “Menuju
Masyarakat Indonesia yang Multikultural”, makalah dalam Simposium Internasional
Bali ke-3, Denpasar, 16-21 Juli 2002.
Sutarto, Ayu. 2004 “Pendekatan
Kebudayaan: Wacana Tandingan untuk Mendukung Pembangunan di Provinsi Jawa
Timur”, dalam Ayu Sutarto dan Setya Yuwana (et.als).
Pendekatan Kebudayaan dalam
Pembangunan Provinsi Jawa Timur. Jember: Kompyawisda.
Wibisono, Bambang dan Akhmad
Sofyan. “Latar Belakang Psikologis Pemilihan Bahasa pada Masyarakat
Multilingual (Studi Kasus Pemakaian Bahasa oleh Masyarakat Etnik Madura di
Jember)”, dalam Jurnal Ilmu-ilmu Humanioara, Vol.II/No.1/Januari 2001, Fakultas
Sastra Universitas Jember.
Yuswadi, Harry. 2005. Melawan
Demi Kesejahteraan, Perlawanan Petani Jeruk terhadap Kebijakan Pembangunan
Pertanian. Jember: Kompyawisda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar