ULAMA DAN
FATWA DALAM LAJNAH BAHTHUL MASĀIL NU ( LBMNU )
By. M.
Syamsudini
A.
PENDAHULUAN
Ulama
menduduki tempat yang sangat penting dalam Islam dan dalam kehidupan kaum Muslimin. Dalam banyak hal,
mereka dipandang menempati kedudukan dan otoritas keagamaan setelah Nabi
Muhammad sendiri. Salah satu hadis Nabi
yang paling populer menyatakan bahwa ulama adalah pewaris para Nabi. Al'ulama'
waratsah al-anbiya'. Karenanya mereka sangat dihormati kaum Muslimin lainnya,
dan pendapat-pendapat mereka dianggap mengikat dalam berbagai masalah, yang
bukan hanya terbatas pada masalah keagamaan saja, melainkan dalam berbagai
masalah lainnya.
Pentingnya
ulama dalam masyarakat Islam terletak pada kenyataan bahwamereka dipandang
sebagai penafsir-penafsir legitimate dari sumber-sumber asli
ajaranIslam, yakni ai-Qur'an dan Hadis. Dikarenakan pengetahuan agama yang
mendalam dan ketinggian akhlak, ulama bergerak pada berbagai lapisan sosial.
Mereka memiliki kekuatan dan pengaruh yang besar dalam masyarakat. Oleh karena
itu juga pengetahuan termasuk pengetahuan agama yang dimiliki ulama adalah
suatu kekuatan pencipta dan pembentuk; pengetahuan (knowledge) dan
kekuatan (power) berkaitan erat sekali, dan konfigurasi keduanya
merupakan kekuatan yang tangguh atas masyarakat. Pernyataan itu terlepas dari
apakah ulama menuntut ilmu pengetahuan demi kekuatan yang dapat diterjemahkan
ke dalam berbagai bidang kehidupan ataupun tidak, konsepsi masyarakat tentang
tingginya nilai yang melekat pada pengetahuan agama telah memberikan dasar yang
kuat bagi kontinuitas legitimasi kekuatan dan pengaruh moral ulama.
Kompleksitas peran ulama dalam sektor-sektor penting masyarakat Islam dibarengi
oleh legitimasi dari dasar agama Islam, maka apresiasi masyarakat dan arti
pentingnya dalam masyarakat muslim menjadi sangat tinggi. Apalagi melekatnya term
keulamaan pada seseorang, bukan melalui proses panjang dalam masyarakat
sendiri, dimana unsur-unsur keulamaan seseorang berupa integritas kualitas
keilmuan dan kredibilitas kesalihan moral dan tanggung-jawab sosialnya,
dibuktikan. Keulamaan mereka tidak akan termanifestasi secara riil jika
tidak dibarengi dengan penampakan sifat-sifat pribadi yang pantas dimiliki.[1]
Hal
ini juga terjadi di Indonesia, terutama ulama dikalangan Nahdaltul Ulama yang
merupakan perkumpulan para ‘alim yang terlembagakan dalam sebuah
Jam’iyah/organisasi. Kelembagaan ulama dikalangan nahdliyin ini berbeda dengan lembaga kependetaan. Secara
konsepsional, lembaga kependetaan ini memang tidak ada dalam Islam, karena
Islam mengajarkan hubungan langsung setiap orang dengan Tuhan, tanpa perantara.
Seorang ulama bukanlah seorang profesional wakil Tuhan. Lembaga
keulamaan baru timbul kemudian sebagai hasil proses kemasyarakatan dan mereka
dipanggil sebagai ulama tak lain adalah ilmuwan ahli tafsir, ahli hadis, dan ahli hukum, baik yang
menulis buku ataupun mengajar, yang meneliti, yang mengembangkan ilmu dan bukan
perantara/ broker antara umat dan
Tuhannya.
B.
TA’RIF
ULAMA
Ulama
adalah istilah yang terambil dari bahasa Arab dan merupakan bentuk plural dari
kata ‘âlim yang berarti “orang pandai dalam pengetahuan agama Islam”.[2]
Dalam terminologi agama, kata ini lebih dinisbatkan kepada “pengetahuan
keagamaan”[3]
daripada pengetahuan non-agama, sekalipun ada pendapat bahwa mereka yang
memiliki ilmu-ilmu sains murni selama keilmuan tersebut dapat semakin menambah
rasa takwa mereka kepada Allah dapat dimasukkan ke dalam kategori ini.
Dalam
konteks masyarakat Indonesia, istilah yang diberikan kepada “ulama” sangat
beragam. Di Jawa, biasanya dikenal dengan sebutan Kiayi, dalam masyarakat
Betawi Muallim, di Tanah Sunda Ajengan, di Aceh Teungku, di Lombok Tuanku Guru,
di Sulawesi Selatan Anre Gurutta, di Sumatera Barat Buya, dalam masyarakat
Banjar Tuan Guru, dan lain sebagainya. Tetapi yang mengikat dari semua kata ini
adalah bahwa mereka memiliki pengetahuan yang mendalam tentang agama dengan
penguasaan yang baik atas kitab-kitab kuning, moralitas-akhlak yang agung, dan
kesadaran ketuhanan yang tinggi. Jadi, dengan ketiadaan semua ini, seseorang
sulit masuk ke dalam kategori “ulama”. Dalam Alquran, Allah berfirman: “Di
antara hamba-hamba Allah yang punya rasa khasyyah kepada-Nya hanyalah para
ulama.” (QS. Fathir [35]: 28)
Kata
khasyyah mengandung konotasi adanya kesadaran ketuhanan yang tinggi.
Dengan adanya kesadaran ini, sikap dan perilaku seseorang, baik dalam tataran
personal maupun sosial-kemasyarakatan, disesuaikan dengan prinsip-prinsip
univeral Alquran dan Sunnah Nabi Muhammad saw. Sementara itu, Alquran, yang
didukung dengan bukti-bukti historis kehidupan Nabi, menekankan kebahagiaan dan
kesuksesan pada berpegang kepada habl min Allâh (kecerdasan spiritual) dan habl
min al-nâs (kecerdasan sosial). Maka, singkatnya, seorang baru dikatakan
“ulama” jika menyatu dalam dirinya kesadaran ilahiah (kecerdasan spiritual dan
emosional) dan kepekaan terhadap masalah-masalah sosial-kemasyarakatan.
C.
ULAMA
LAJNAH BAHTHUL MASĀIL NU
( LBMNU )
Ada kriteria
khusus yang tidak tertulis bagi seorang bisa “ikut aktif” dalam lajnah bahthul
masail, selain keilmuan tentang Al quran dan al hadith seorang ulama bahthul
masail harus menguasai ilmu nahwu, sharf, fiqh, ushl fiqh dan kaidah-kaidah
fiqh. Karena
D. BAHTHUL MASĀIL SEBAGAI INSTISTUSI FATWA ULAMA LBMNU
Bahthul masail adalah
kepanjangan dari bahth al-masa'il al-diniyah (penelitian atau pembahasan
masalah-masalah keagamaan). Bahthul masail merupakan suatu kegiatan diskusi
atau musyawarah di kalangan warga NU untuk mencari jawaban hukum terhadap
masalah-masalah agama yang belum diketahui ketetapan hukumnya. Kegiatan ini kemudian
diberi wadah tersendiri yaitu Lembaga Bahthul masail, selanjutnya disingkat LBM
yang bertugas menampung, membahas dan memecahkan masalah-masalah keagamaan yang
mawdu`iyah (konseptual) dan masalah-masalah keagamaan yang waqi`iyah
(aktual) yang memerlukan kepastian hukum.[4] Maslah-masalah yang dibahas dalam
forum Bahthul masail tersebut meliputi berbagai bidang masalah keagamaan seperti
akidah, akhlak, fikih atau hukum islam, dan lain sebagainya.
Secara historis forum Bahthul masail telah
ada sebelum Nahdlatul Ulama berdiri. Saat itu sudah ada tradisi diskusi di
kalangan pesantren yang melibatkan kiai dan santri yang hasilnya diterbitkan
dalam bulletin LINO (Lailatul Ijtima` Nahdlatul Oelama).[5] Bulletin LINO
tersebut, selain memuat hasil Bahthul masail juga menjadi ajang diskusi
interaktif jarak jauh antar para ulama. Seorang kiai menulis kemudian
ditanggapi kiai lain, begitu seterusnya.
Apabila ditinjau dari latar belakang
berdirinya dan dari Anggaran Dasar NU, maka dapat direkonstruksi bahwa latar belakang
munculnya Bahthul masail adalah adanya kebutuhan masyarakat akan hukum Islam
praktis (`amali) bagi kehidupan sehari-hari yang mendorong para ulama
dan intelektual NU untuk mencari selosinya dengan melakukan Bahthul masail Dan apabila
ditelusuri hasil-hasilnya, juga dapat diketahui bahwa bah{thul masa>il
pertama dilaksanakan pada tahun 1926 M, beberapa bulan setelah berdirinya
Nahdlatul Ulama.[6]
Istilah Lajnah Bahthul masail tidak muncul sejak pertama kali dalam lembaga
pemecahan masalah / problem solving yang dilakukan NU, meski kegiatan
Bahthul masail telah ada sejak
kongres / muktamar, namun kegiatan tersebut tidak mempunyai nama. Bahkan,
hingga akhir dekade delapanpuluhan, Lajnah Bahthul masail yang dibentuk
secara formal dan disahkan oleh PBNU juga belum muncul kepermukaan. Baru dalam
muktamar XXVIII di Yogyakarta tahun 1989, komisi I (Bahthul masail)
merekomendasikan kepada PBNU untuk membentuk “Lajnah Bahthul masail Diniyah” (lembaga pengkajian masalah-masalah
keagamaan) sebagai lembaga permanen yang khusus menangani persoalan keagamaan.[7]
Dengan demikian, Lajnah Bahthul masail merupakan forum resmi yang memiliki
kewenangan menjawab berbagai permasalahan keagamaan yang dihadapi oleh Ulama dan warga Nahdliyyin.
Bahkan tradisi keilmuan Nahdlatul Ulama juga dipengaruhi oleh keputusan Bahthul
masail, karena segala permasalahan keagamaan yang dihadapi oleh Nahdlatul
Ulama, dikaji dan diberi keputusan oleh forum ini kemudian ditransmisikan
kepada warganya.
Untuk
lebih lebih jelas, bagaimana prosedur dan proses penetapan hukum ( istinbat al
hukm ), maka dibawah ini diperinci secara detail :
1.
PROSES BAHTHUL MASĀIL
Dalam struktur organisasi Nahdlatul Ulama, yang bertugas
mengadakan kegiatan Bahthul masail adalah jajaran syuriyah (salah satu struktur organisasai Nahdlatul Ulama
disemua tingkatan yang memiliki otoritas tertinggi). Sedangkan manajemen
kepengurusan lembaga Bahthul masail secara sederhana ditangani oleh ketua dan sekretaris dan
beberapa orang anggota. Peserta bah{thul masa>il adalah para ulama
dan cendekiawan Nahdlatul Ulama, baik yang berada di dalam maupun yang berada
di luar kepengurusan Nahdlatul Ulama, seperti para tokoh agama, para kiyai
maupun para santri pondok pesantren.[8]
Mengenai prosesnya, disamping adanya masalah-masalah
konseptual yang sengaja dimunculkan oleh pengurus lembaga Bahthul masail, pada umumnya pembahasan dalam forum ini
bermula dari adanya permaslahan-permasalahan keagamaan yang dihadapi oleh
masyarakat. Mereka mengajukan permasalahan kepada lembaga Bahthul masail tingkat ranting dan atau MWC NU, kemudian
diteruskan kepada tingkat cabang (kota atau kabupaten) guna menyelenggarakan
sidang Bahthul masail yang hasilnya diserahkan kepada majlis syuriyah Nahdlatul Ulama tingkat
wilayah (propinsi). Setelah itu lembaga Bahthul masail tingkat wilayah menampung berbagai
permasalahan yang masuk dan kemudian menyelenggarakan forum Bahthul masail dengan membahas permasalahan-permasalahan
tertentu yang dianggap urgen bagi kehidupan umat. Beberapa permasalahan yang
belum tuntas atau masih diperselisihkan, diserahkan kepada majlis syuriyah
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) untuk diinvetarisasi dan diseleksi
berdasarkan skala perioritas, yang pada gilirannya nanti akan dikaji/ dibahas dalam forum Bahthul masail yang pelaksanaannya dibarengkan bersamaan
dengan acara Muktamar, Munas (musyawarah nasional), atau Konbes (konferensi
besar).[9]
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa permasalahan yang
dibahas dalam forum Bahthul masail merupakan permasalahan-permasalahan yang aktual di masyarakat. Artinya,
permasalahan tersebut tidak muncul dari ruang hampa melainkan dilatarbelakangi
oleh berbagai macam situasi dan kondisi yang ada di masyarakat dengan berbagai
macam aspeknya, baik sosial, politik maupun ekonomi.
Selain itu terkadang permasalahan ditambah dengan
permasalahan yang diajukan oleh PBNU sendiri, lalu diedarkan kepada para ulama
dan para cendekiawan Nahdlatul Ulama yang ditunjuk sebagai anggota lajnah Bahthul masail agar dipelajari dan disiapkan jawabannya,
untuk selanjutnya dibahas, dikaji dan ditetapkan keputusannya oleh lajnah bah{thul
masa>il dalam sidang Bahthul masail yang diselenggarakan oleh PBNU bersamaan dengan acara
muktamar atau musyawarah nasional alim ulama Nahdlatul Ulama.[10]
Dalam pelaksanaan pembahasan Bahthul masail, seorang pimpinan sidang didampingi beberapa
orang yang tergabung dalam tim perumus duduk di bagian depan dengan menghadap
kepada para anggota Bahthul masail yang lain. Dalam proses selanjutnya dapat dijelaskan tahapan-tahapan
sebagai berikut:
1.
Pimpinan sidang membuka acara kemudian membacakan
pertanyaan yang akan dibahas. Pertanyaan tersebut merupakan masalah-masalah
keagamaan yang dikirim oleh PBNU kepada para anggota Bahthul masail untuk dipelajari dan disiapkan jawabannya
pada daerah masing-masing.
2.
Tas}awwur terhadap pertanyaan. Untuk menghindari kesalahan dalam memahami
pertanyaan, pimpinan sidang membahas maksud yang dekehendaki oleh soal dengan
memperdengarkan penjelasan dari pembuat pertanyaan dan atau orang yang
mempunyai wawasan yang memadahi terkait dengan persoalan yang akan dibahas.
Pada sesi ini kadang-kadang memakan waktu yang cukup lama apabila pertanyaan
yang akan dibahas tidak jelas maksudnya, sehingga hal ini menghendaki adanya
pembahasan untuk merumuskan maksud dari pertanyaan tersebut.
3.
Penjelasan para ahli. Untuk kasus-kasus tertentu yang
membutuhkan penjelasan pakar, lembaga Bahthul masail mengundang pakar seperti ahli medis, ahli ekonomi atau
yang lainnya untuk menyampaikan penjelasan terkait dengan persoalan yang akan
dibahas.
4.
Pembahasan. Pimpinan sidang membacakan soal dan
dilanjutkan dengan penyampaian jawaban dari para anggota Bahthul masail dengan disertai argumentasi dan referensi
yang digunakannya. Dalam menjawab pertanyaan, anggota bah{thul masa>il
selalu merujuk kepada kitab-kitab tertentu yang merupakan pegangan para ulama
NU dalam bidang pemikiran keagamaan, yang sering disebut sebagai
"kitab-kitab kuning". Disebut kuning karena kertasnya berwarna kuning
kemerah-merahan atau karena ketuaannya. Sebagian pertanyaan dijawab tanpa
menyebutkan sumber dari buku tertentu, dengan hanya mengatakan bahwa jawaban
yang diberikan adalah seperti yang ditemukan dalam buku-buku fiqih. Hal ini
terjadi, karena para ulama yang ikut terlibat dalam pembahasan Bahthul masail sudah terbiasa dengan buku-buku tersebut
dalam pendidikan dan pengalaman keulamaan mereka, sehingga sumber rujukan ini
tidak perlu dijelaskan lebih rinci lagi.[11]
Buku-buku khazanah lama ini dipandang dalam NU sebagai al-kutub
al-mu`tabarah (buku-buku terpandang atau yang dijadikan landasan dan
pertimbangan).
Forum Bahthul masail Muktamar NU di Situbondo pada tahun 1983 menetapkan
bahwa (الكتب المعتبرة فى المسائل الدينية عندنا هي الكتب على المذاهب الأربعة )
kitab-kitab mu`tabarah dalam masalah keagamaan, menurut kita adalah
buku-buku yang berdasarkan kepada madzhab empat. Buku-buku ini oleh sebagian
besar ulama NU masih dipandang relevan untuk memecahkan masalah-masalah
kontemporer. Buku-buku yang sering dikutip atau dijadikan rujukan antara lain: I`anat
al-Talibin, Rawdat al-Talibin, Anwar al-Tanzil, Bughyat al-Mustarshidin,
Hashiyat al-Sharwani ala al-Tuhfah, Hashiyat al-Bujairimi ala Fath al-Wahhab,
Hashiyat al-Bajuri ala Fath al-Qarib, Hashiyat al-`Iwad ala al-Iqna', Hashiyat
al-Kurdi ala Bafadal, Radd al-Mukhtar ala Durr al-Mukhtar, Fath} al-Mu`in, Asna
al-Matalib, Tanwir al-Qulub, Minhaj al-Talibin, al-Tuhfah, Mughni al-Muhtaj,
dan lain lain.[12]
Buku-buku tersebut pada umumnya merupakan kitab-kitab karya ulama madzhab
Shafi`i.[13]
5.
Pembahasan ini biasanya memerlukan waktu yang cukup lama
karena akan terjadi perdebatan di kalangan para anggota Bahthul masail.
6.
Rumusan sementara. Setelah mendengarkan dan memeriksa
serta mendiskusikan berbagai jawaban yang ada, tim perumus akan merumuskan
jawaban yang dibacakan oleh pimpinan sidang atau dibacakan langsung oleh juru
bicara tim perumus.[14]
Apabila rumusan tersebut disetujui oleh para anggota Bahthul masail, maka akan disahkan oleh pimpinan sidang
dengan pembacaan ummul Qur'an bersama, dan kemudian dilanjutkan
pembahasan soal berikutnya. Apabila rumusan tersebut belum disepakati oleh para
anggota bah{thul masa>il, maka akan dilakukan pembahasan lanjutan
sampai menghasilkan rumusan yang disepakati oleh para anggota Bahthul masail.
7.
Apabila ada soal yang tidak dapat dipecahkan, maka soal
tersebut dinyatakan mawquf dan akan dilakukan pembahasan para pertemuan Bahthul masail yang akan datang.[15]
8.
Pendokumentasian dan sosialisasi kepada warga Nahdliyyin.
Putusan-putusan yang telah dihasilkan oleh forum Bahthul masail diinvertasir dan didokumentasikan oleh
petugas yang telah diberi wewenang untuk hal itu, untuk selanjutnya dicetak
dalam bentuk buku dan disosialisasikan kepada warga NU.
2.
ISTINBATH HUKUM DALAM BAHTHUL MASĀIL
Pengertian istinbat al-ahkam di
kalangan NU bukan mengambil langsung dari sumber aslinya, yaitu al-Qur'an dan
al-Sunnah akan tetapi – sesuai dengan sikap dasar bermadzhab -, mentah}biqkan
(memberlakukan) secara dinamis nas-nas fuqaha' dalam kontek
permasalahan yang sedang dicari hukumnya. Sedangkan istinbat dalam
pengertian pertama (menggali secara langsung dari al-Qur'an dan al-Sunnah) cenderung ke arah
perilaku ijtihad yang oleh para ulama NU dirasa sangat sulit karena
keterbatasan-keterbatasan yang disadari oleh mereka, terutama dibidang
ilmu-ilmu penunjang dan pelengkap yang harus dikuasai oleh orang yang sedang
berijtihad (mujtahid). Sementara itu istinbat} dalam
pengertiannya yang kedua, selain praktis, dapat dilakukan oleh semua ulama NU
yang telah memahami ibarat-ibarat kitab fiqih sesuai dengan terminologinya yang
baku. Oleh karena itu, kalimat istinbat di kalangan Nahdlatul Ulama
terutama dalam kerja bah{thul masail nya syuriyah tidak populer karena
kalimat tersebut telah populer di kalangan ulama NU dengan konotasinya yang pertama
yaitu ijtihad, suatu hal yang oleh ulama syuriah tidak dilakukan karena
keterbatasan pengetahuan. Sebagai gantinya dipakai kalimat Bahthul masail yang artinya membahas masalah-masalah waqi`ah
(yang terjadi) melalui referensi (maraji`) yaitu kutub al-fuqaha'
(kitab-kitab karya para ahli fiqih).[16]
Selanjutnya, berbicara tentang Bahthul masail dalam kaitannya dengan istinbat hukum tidak dapat
dilepaskan dari pembahasan fikih empat madzhab. Apapun persoalan fikih
yang muncul dan siapapun yang terlibat dalam lajnah Bahthul masail harus tetap berada dan patuh pada koridor empat madzhab
ini.[17]
Sebagaimana telah terdokumentasikan dalam
sejarah tokoh-tokoh ulama fiqih, terdapat beragam aliran fiqih dimana empat madzhab
adalah bagian kecil daripadanya. Selain tokoh empat madzhab, masih banyak tokoh
madzhab lain seperti Imam al-Baqir (57-114 H), Ja`far al-Sadiq (80-148 H), Zaid
bin Ali (80-122H), al-Awza`i (w.157 H), Sufyan al-Thawri (w. 160 H), al-Laith
bin Sa`d (w. 175 H), Sufyan bin `Uyainah (w. 198 H), Ishaq bin Rahawaih (w. 238
H), Abu al-Thaur Ibrahim al-Kalbi (w. 240 H), Dawud al-zahiri (w. 270 H) dan
lain-lain.[18]
Dalam hal banyaknya madzhab fiqih dan
dipilihnya empat madzhab, KH. Hasyim Asy`ari salah seorang pendiri Nahdlatul
Ulama menjelaskan bahwa sebenarnya bukan hanya empat madzhab saja yang boleh diikuti
oleh umat Islam. Madzhab lain seperti Sufyan al-Thauri, Sufyan bin Uyainah,
Ishaq bin Rahawaih dan Dawud al-Zahiri juga boleh diikuti. Hanya saja karena
para imam tersebut tidak memiliki pengikut yang setia mengembangkan madzhab
mereka dan tidak banyal literatur yang memuat pemikiran-pikiran mereka,
sehingga mata rantai pemikiran mereka menjadi terputus.[19]
Empat madzhab,
yakni Hanafi, Maliki, Shafi`i, dan Hambali muncul pada masa kekuasaan dinasti
Umawiyah - Abbasiyah. Sebelum masa tersebut, apabila orang berbicara tentang madzhab,
maka yang dimaksud adalah madzhab dikalangan sahabat, semisal madzhab Umar,
Ali, Aisyah, Ibnu Umar, Ibnu Abbas dan sebagainya.[20]
Kemudian pada masa selanjutnya yang dimaksud dengan empat madzhab adalah
Hanafi, Maliki, Shafi`i, dan Hambali. Karena dalam kenyataannya mereka
pengikut-pengikut yang setia yang menyebarluaskan paham imamnya, di samping
adanya informasi yang jelas tentang ajaran para imam tersebut dalam buku-buku
yang telah mereka tulis sebelumnya.
Alasan bermadzhab ini merupakan hal yang final dan tidak dapat ditawar lagi
dalam organisasi NU. Hal ini sebagaimana telah diputuskan dalam Muktamar
Nahdlatul Ulama ke-14 di Magelang pada tanggal 14 Jumadil Ulaa 1358 H/ 1939 M.
Dalam keputusan tersebut dijelaskan bahwa kewajiban umat Islam untuk bermadzhab
itu karena dikhawatirkan mencampurkan antara yang haq dan yang bathil, atau
khawatir tergelincir dalam kesalahan atau khawatir mengambil yang mudah saja. [21]
Sikap bermadzhab ini
secara konsekuen ditindak lanjuti dengan upaya pengambilan hukum fiqih dari
refernsi (maraji`) berupa kitab-kitab fiqih yang pada umumnya
dikerangkakan secara sistematik dalam beberapa komponen, yaitu ibadah,
mu`amalah, munakahah (hukum keluarga) dan jinayah/ qadla (pidana/
peradilan).[22] Dalam hal ini para ulama
NU mengerahkan orientasinya dalam pengambilan hukum kepada aqwal
al-mujtahidin (pendapat para mujtahid) yang mutlaq maupun yang muntashib.
Apabila kebetulan diketemukan qaul manshush (pendapat yang telah ada
nashnya) maka qaul itulah yang dipegangi dan apabila tidak diketemukan,
maka akan beralih ke qaul mukharraj (pendapat yang telah di takhrij).
Apabila terjadi khilaf (perbedaan pendapat) maka yang diambil adalah qaul
yang paling kuat sesuai dengan
pentarjihan ahli tarjih.[23]
Kemudian seiring pesatnya
perkembangan zaman dan menyadari keterbatasan kemampuan kitab-kitab kuno dalam
menjawab berbagai persoalan baru yang muncul, bagaimanapun rumusan fiqih yang
dikonstruksikan ratusan tahun yang lalu jelas tidak memadai untuk menjawab
semua persoalan yang terjadi saat ini, karena situasi sosial, politik, dan
kebudayaan antara zaman dirumuskannya fikih klasik sangat berbeda dengan zaman
sekarang. Selain itu hukum
sendiri harus berputar sesuai dengan ruang dan waktu. Jika putusan hukum hanya
didasarkan pada rumusan teks yang dirumuskan pada masa lalu, maka besar
kemungkinannya bahwa ada persoalan hukum yang tidak ditemukan jawabannya dalam
rumusan teks tersebut. Dalam kondisi semacam ini, apakah persoalan tersebut
harus disikapi dengan cara mawquf (tidak terjawab)?. Hal ini tidak mungkin,
karena memawqufkan persoalan hukum, hukumnya tidak boleh menurut para
ulama (fuqaha’). Disinilah
perlunya “fikih baru” yang mampu mengakomodir permasalahan-permasalahan baru
yang muncul dalam masyarakat. Dan untuk itu perlu adanya istimbat hukum dengan
metode manhaji yakni mengambil metodologi yang dipakai oleh ulama
dahulu.
M.A. Sahal Mahfudh
mengatakan bahwa dalam bahthul masail, munculnya pemikiran tentang
perlunya “fiqih baru” ini sebetulnya sudah lama terjadi. Kira-kira sejak tahun
1980-an ketika mulai muncul dan marak diskusi tentang “tajdid” karena danya
keterbatasan kitab-kitab fiqih dalam menjawab persoalan kontemporer disamping
adanya ide tentang kontekstualisasi kitab kuning. Sejak itu lalu berkali-kali
diadakan halaqah (diskusi) yang diikuti oleh beberapa ulama syuriyah dan
pengasuh pondok pesantren untuk merumuskan “fiqih baru” itu. Kesepakatan telah
dicapai yaitu menambah dan memperluas muatan agenda bahthul masail, yang
tidak saja meliputi persoalan hukum halal / haram melainkan juga hal-hal yang
besifat pengembangan keislaman dan
kajian kitab.[24]
Ada terobosan baru yang
dilakukan oleh Lembaga Bahthul Masail NU dalam sistem istinbat hukum, hal ini
ditetapkan dalam beberapa muktamar terakhir NU, yaitu pengambilan hukum dengan
menggunakan tiga model baru, antara lain : Methode taqrir jama’i, ilhaq
al-masail binadha’iriha dan istinbat jama’i. Taqrir Jama’i adalah : upaya
kolektif untuk menetapkan pilihan terhadap satu diantara beberapa pendapat. Prosedur
taqrir jama’i dilakukan dengan cara: pertama, mengidentifikasikan aqwal
ulama yang berkaitan dengan masalah yang dibahas. Kedua ; memilih
pendapat yang rajih ( unggul ) dengan kriteria sebagai berikut : 1. Pendapat
yang paling kuat dalilnya, 2. Pendapat
yang paling maslahah, 3. Pendapat yang didukung oleh jumhur ulama, 4. Pendapat
ulama yang paling alim, 5. Pendapat ulama yang paling wara’, Ketiga :
Memperhatikan ketentuan dari masing-masing madzhab atas pendapat yang
diunggulkan diantara mereka. Keempat : Mengambil pendapat murid Imam
madzhab yang terdekat. Ilhaq adalah
menyamakan suatu kasus yang belum ada ketentuan hukumnya dengan kasus yang
telah ada jawabannya dalam kitab-kitab mu’tabar, sedangkan Istinbat Jama’i
adalah upaya kolektif untuk mengeluarkan hukum syara’ dari dalilnya dengan
menggunakan qaaid ushuliyah.
E. TIPOLOGI ULAMA LEMBAGA
BAHTHUL MASĀIL NU / LBMNU
Dalam
memahami ulama bahthul masail NU dengan menggunakan kategorisasi, meminjam
istilahnya Mansur Noor yang membuat katagorisasi Ulama dengan melihat respon
ulama terhadap perubahan sosial dengan tiga kategori, antara lain : ulama
konservatif, ulama adaptif dan ulama progresif.[25]
Ulama konservatif terindikasi lebih memegang pengetahuan dan keyakinan
terhadap kebenaran sebuah pendapat yang ada dalam suatu kitab dan berusaha
sekuat tenaga untuk memepertahankan pendapat yang ada dikitab tanpa reserve.
Faktor utama yang menyebabkan seorang ulama bahthul masail menjadi
konservatif dilatarbelakangi dengan adanya pameo yang sangat kuat, apabila
melakukan ”perubahan” yang tidak sama dengan yang ada dikitab akan kualat dan
su’ul adzab, sehingga ketika ada permasalahan baru yang ”sama sekali” tidak ada
dikitab, maka dapat dipastikan jawabannya adalah mauquf /diagendakan
dalam waktu yang tidak ditentukan. Ulama konservatif ini juga dikategorikan
sebagai ulama yang hanya memegangi satu atau dua pendapat faqih atau yang lebih
sering disebut ulama yang berpegangan pada fiqih qauly.
Selanjutnya, Ulama yang Adaptif lebih cenderung menganalisa masalah
terlebih dahulu sebelum mengeksekusi masalah yang dipertanyakan, analisanya
dengan menggunakan perbandingan pendapat berbagai imam yang ada dalam satu
madzhab. Ketika dalam menganalisa masalah dalam satu madzhab tidak ditemukan
jawabannya, maka analisanya diarahkan dengan menggunakan madzhab yang lain. Ulama
adaptif juga dikategorikan dengan ulama yang menggunakan fiqh madzhaby.
Sementara ulama progresif cenderung menggedepankan ”maslahah” daripada yang
lain, ulama progresif ini biasanya meneliti latar belakang dari sebuah produk
fiqh yang ditelorkan oleh imam mazhab, sehingga ketika produk fiqh itu ”kurang
pas” diterapkan pada satu kawasan, maka
ulama progresif ini meneliti latar belakang, faktor-faktor yang mempengaruhi
produk fiqh itu ditetapkan, kondisi masyarakat saat itu dan suasana
perpolitikan yang berlangsung. Ulama progresif ini juga dikategorikan sebagai
ulama yang menganut fiqh manhaji karena selalu menelaah dan mengkritisi
kembali terhadap produk fiqih yang
ditelorkan oleh para imam madzhab.
F. IKHTITAM
Negara Indonesia
merupakan negara hukum dengan banyak problem hukum yang tidak pernah
terselesaikan dengan baik, hadirnya institusi hukum independen semacam Lembaga
Bahthul Masail NU ( LBMNU ) merupakan sebuah ”oase” ditengah Savanah hukum bagi
umat Islam yang merindukan kesucian ajaran. Peran ulama yang melakukan musyawarah
dalam LBMNU ini seharusnya melakukan kaderisasi dan terus memproduksi banyak
cendekiawan dan ulama yang memberikan konstribusi signifikan dalam menjawab
problema umat yang begitu komplek, ditambah lagi dengan perkembangan yang serba
cepat, serba canggih membutuhkan ulama-ulama yang intelektual inovatif,
sehingga bisa memberikan penyegaran dan perubahan pemikiran yang shalihun
likulli zaman wal makan.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Zahro, “Lajnah Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama’, 1926 – 1999: Telaah
Kritis Terhadap Keputusan Hukum Fiqih” (Desertasi Doktor, IAIN Sunan Kalijaga:
Yogyakarta, 2001).
Ahmad Zahro, Tradisi
Intelektual NU, (Yogyakarta: LKIIS, 2004).
Anggaran Dasar
Nahdlatul Ulama Bab II tentang Aqidah/ Asas, pasal 3 ayat 1.
Anggaran Rumah Tangga Nahdlatul Ulama, Bab V tentang perangkat organisasi
pasal 16 ayat 4 huruf l.
Poetoesan-Poetoesan Congres Nahdlotoel Oelama`, Oetoesan Nahdlotoel
Oelama`, No 3 th1(Soerabaia: tp.,1347 H)
D. B. McDonald, “Ulama” dalam M.Th.
Houtma, First Encyclopedia of Islam 1913-1936, (Leiden: E.J. Brill, 1987).
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Edisi ke-3, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005).
I.H. Qureshi, The Political Role of Ulama in
Moeslem Society, dalam Abubakar A., Bagader (ed.), The Ulama in the Modern
Muslim National State, Muslim Youth Movement of Malaysaia, Kuala Lumpur 1983
Jalaluddin Rahmat, Kontekstualisasai
Doktrin Islam Dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 1995).
KH.A. Aziz Masyhuri, Masalah Keagamaan
Hasil Muktamar dan Munas Ulama Nahdlatul Ulama, (Surabaya: PP. Rabithat
al-Ma`ahid al-Islamiyah/ Dinamika Press, 1997).
M.A. Sahal Mahfdh,
“Bahtsul Masail dan Istinbath Hukum NU: Sebuah Catatan Pendek”, dalam Imam
Ghazali Said dan A. Ma`ruf Asrori (Penyunting), Ahkamul Fuqaha:Solusi Problematika
Aktual Hukum Islam, ter. Djamaluddin Miri,
(Surabaya: LTN NU dan Diantama, 2005).
Mansur Noor, Islam in an Indonesiaan
World, Ulama of Madura ( Yogyakarta: Gadjah Mada University Press 1990
Mohammad
Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2000).
Sahal Mahfudh, Bahthul masail dan Istinbat Hukum NU: Sebuah catatan
Pendek, dalam “H.M. Jamaluddin Miri (ter.),
AHKAMUL FUQAHA: Solussi Problematika Aktual Hukum Islam Keputusan
Muktamar, Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama” (1926-1999), (Surabaya: TN
NU Jawa Timur dan Diantama, 2004).
Saifullah Ma`sum,
ed., Karisma Ulama: Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU, (Bandung: Mizan,
1998).
[1] I.H.
Qureshi, The Political Role of Ulama in Moeslem Society, dalam Abubakar A.,
Bagader (ed.), The Ulama in the Modern Muslim National State, Muslim Youth
Movement of Malaysaia, Kuala Lumpur 1983, h. 1983
[2] D. B. McDonald, “Ulama” dalam M.Th. Houtma, First Encyclopedia of
Islam 1913-1936, (Leiden: E.J. Brill, 1987), 994.
[3] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Edisi ke-3, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), 30.
[4] Anggaran Rumah Tangga Nahdlatul Ulama, Bab V tentang perangkat organisasi
pasal 16 ayat 4 huruf l.
[5] Sahal Mahfudh, Bahthul masail dan Istinbat Hukum NU: Sebuah catatan
Pendek, dalam “H.M. Jamaluddin Miri (ter.),
AHKAMUL FUQAHA: Solussi Problematika Aktual Hukum Islam Keputusan
Muktamar, Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama” (1926-1999), (Surabaya: TN
NU Jawa Timur dan Diantama, 2004), vii.
[6] Baca:
Poetoesan-Poetoesan Congres Nahdlotoel Oelama`, Oetoesan Nahdlotoel Oelama`,
No. 3 th 1 (Soerabaia: tp., 1347 H), 3-50.
[7] Ahmad Zahro, “Lajnah
Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama’, 1926 – 1999: Telaah Kritis Terhadap Keputusan
Hukum Fiqih” (Desertasi Doktor, IAIN Sunan Kalijaga: Yogyakarta ,
2001), 61-62.
[8] Zahro, Tradisi Intelektual NU, 78.
[9] Mahfudh, Nuansa Fiqh, 26.
[10] Zahro, Tradisi Intelektual NU, 26.
[11] Lihat: Rifyal ka`bah 140.
[12] KH.A. Aziz Masyhuri, Masalah Keagamaan Hasil Muktamar dan Munas
Ulama Nahdlatul Ulama, (Surabaya :
PP. Rabithat al-Ma`ahid al-Islamiyah/ Dinamika Press, 1997), 405-413.
[13] Mohammad Daud Ali, Hukum Islam:
Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT.Raja
Grafindo Persada, 2000), 191.
[14] Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh peneliti, untuk daerah
tertentu, seperti kabupaten Pasuruan, selain ada tim perumus juga ada mushahhih
yang terdiri dari para kiayi sepuh (senior). Mushahhih bertugas sebagai
konsultan rumusan bahthul masail yang dihasilkan oleh tim perumus.
Setiap rumusan akan dikonsultasikan kepada mushahhih. Apabila rumusan itu
disetujui oleh mushahhih, maka akan disahkan dengan membaca surat al-fatihah, sebaliknya rumusan itu akan
dikaji ulang apabila belum mendapatkan restu dari mushahhih. Hasil wawancara
peneliti dengan KH. Muhibb Aman Ali, salah satu anggota tim perumus PWNU Jawa
Timur. Dalam kegiatan bahthul masail di lingkungan PCNU Pasuruan, beliau
terkadang menjadi perumus dan terkadang menjadi mushahhih.
[15] Penjelasan tentang proses ini didapatkan dari hasil wawancara
dengan beberapa ulama yang aktif mengikuti forum bahthul masail seperti KH.
A. Masduqi Mahfudz, KH. A. Farihin, KH. Nurul Huda, dan yang lainnya. Selain
itu, untuk memperkuat penjelasan tersebut, peneliti juga menyempatkan diri
untuk mengikuti proses tersebut dalam beberapa kali forum bah{thul
masa>il.
[16] M.A. Sahal Mahfdh, “Bahtsul Masail dan Istinbath Hukum NU: Sebuah
Catatan Pendek”, dalam Imam Ghazali Said dan A. Ma`ruf Asrori (Penyunting), Ahkamul
Fuqaha:Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, ter. Djamaluddin Miri, (Surabaya : LTN NU dan
Diantama, 2005), xii-xiii.
[17] Anggaran Dasar Nahdlatul Ulama Bab II
tentang Aqidah/ Asas, pasal 3 ayat 1.
[19] Saifullah Ma`sum, ed., Karisma Ulama: Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU,
(Bandung: Mizan, 1998), 80.
[20] Jalaluddin Rahmat, Kontekstualisasai Doktrin Islam Dalam Sejarah,
(Jakarta: Paramadina, 1995), 268.
[22] M.A. Sahal Mahfdh, “Bahtsul Masail dan Istinbath Hukum NU: Aebuah Catatan
Pendek”, dalam Imam Ghazali Said dan A. Ma`ruf Asrori (Penyunting), Ahkamul
Fuqaha:Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, ter. Djamaluddin Miri,
(Surabaya: LTN NU dan Diantama, 2005), ix.
[24] M.A. Sahal Mahfdh, “Bahtsul Masail dan
Istinbath Hukum NU: Aebuah Catatan Pendek”, dalam Imam Ghazali Said dan A.
Ma`ruf Asrori (Penyunting), Ahkamul Fuqaha:Solusi Problematika Aktual Hukum
Islam, ter. Djamaluddin Miri, (Surabaya : LTN NU dan Diantama, 2005), xii.
[25] Mansur Noor, Islam in an Indonesiaan World, Ulama of Madura (
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press 1990
Tidak ada komentar:
Posting Komentar