Jumat, 21 Juli 2017

ULAMA DAN FATWA DALAM LAJNAH BAHTHUL MASĀIL NU ( LBMNU )

ULAMA DAN FATWA DALAM LAJNAH BAHTHUL MASĀIL NU ( LBMNU )
By. M. Syamsudini


A.   PENDAHULUAN
Ulama menduduki tempat yang sangat penting dalam Islam dan dalam  kehidupan kaum Muslimin. Dalam banyak hal, mereka dipandang menempati kedudukan dan otoritas keagamaan setelah Nabi Muhammad sendiri. Salah satu hadis  Nabi yang paling populer menyatakan bahwa ulama adalah pewaris para Nabi. Al'ulama' waratsah al-anbiya'. Karenanya mereka sangat dihormati kaum Muslimin lainnya, dan pendapat-pendapat mereka dianggap mengikat dalam berbagai masalah, yang bukan hanya terbatas pada masalah keagamaan saja, melainkan dalam berbagai masalah lainnya.
Pentingnya ulama dalam masyarakat Islam terletak pada kenyataan bahwamereka dipandang sebagai penafsir-penafsir legitimate dari sumber-sumber asli ajaranIslam, yakni ai-Qur'an dan Hadis. Dikarenakan pengetahuan agama yang mendalam dan ketinggian akhlak, ulama bergerak pada berbagai lapisan sosial. Mereka memiliki kekuatan dan pengaruh yang besar dalam masyarakat. Oleh karena itu juga pengetahuan termasuk pengetahuan agama yang dimiliki ulama adalah suatu kekuatan pencipta dan pembentuk; pengetahuan (knowledge) dan kekuatan (power) berkaitan erat sekali, dan konfigurasi keduanya merupakan kekuatan yang tangguh atas masyarakat. Pernyataan itu terlepas dari apakah ulama menuntut ilmu pengetahuan demi kekuatan yang dapat diterjemahkan ke dalam berbagai bidang kehidupan ataupun tidak, konsepsi masyarakat tentang tingginya nilai yang melekat pada pengetahuan agama telah memberikan dasar yang kuat bagi kontinuitas legitimasi kekuatan dan pengaruh moral ulama. Kompleksitas peran ulama dalam sektor-sektor penting masyarakat Islam dibarengi oleh legitimasi dari dasar agama Islam, maka apresiasi masyarakat dan arti pentingnya dalam masyarakat muslim menjadi sangat tinggi. Apalagi melekatnya term keulamaan pada seseorang, bukan melalui proses panjang dalam masyarakat sendiri, dimana unsur-unsur keulamaan seseorang berupa integritas kualitas keilmuan dan kredibilitas kesalihan moral dan tanggung-jawab sosialnya, dibuktikan. Keulamaan mereka tidak akan termanifestasi secara riil jika tidak dibarengi dengan penampakan sifat-sifat pribadi yang pantas dimiliki.[1]
Hal ini juga terjadi di Indonesia, terutama ulama dikalangan Nahdaltul Ulama yang merupakan perkumpulan para ‘alim yang terlembagakan dalam sebuah Jam’iyah/organisasi. Kelembagaan ulama dikalangan nahdliyin ini  berbeda dengan lembaga kependetaan. Secara konsepsional, lembaga kependetaan ini memang tidak ada dalam Islam, karena Islam mengajarkan hubungan langsung setiap orang dengan Tuhan, tanpa perantara. Seorang ulama bukanlah seorang profesional wakil Tuhan. Lembaga keulamaan baru timbul kemudian sebagai hasil proses kemasyarakatan dan mereka dipanggil sebagai ulama tak lain adalah ilmuwan ahli  tafsir, ahli hadis, dan ahli hukum, baik yang menulis buku ataupun mengajar, yang meneliti, yang mengembangkan ilmu dan bukan perantara/ broker  antara umat dan Tuhannya.


B.   TA’RIF ULAMA
Ulama adalah istilah yang terambil dari bahasa Arab dan merupakan bentuk plural dari kata ‘âlim yang berarti “orang pandai dalam pengetahuan agama Islam”.[2] Dalam terminologi agama, kata ini lebih dinisbatkan kepada “pengetahuan keagamaan”[3] daripada pengetahuan non-agama, sekalipun ada pendapat bahwa mereka yang memiliki ilmu-ilmu sains murni selama keilmuan tersebut dapat semakin menambah rasa takwa mereka kepada Allah dapat dimasukkan ke dalam kategori ini.
Dalam konteks masyarakat Indonesia, istilah yang diberikan kepada “ulama” sangat beragam. Di Jawa, biasanya dikenal dengan sebutan Kiayi, dalam masyarakat Betawi Muallim, di Tanah Sunda Ajengan, di Aceh Teungku, di Lombok Tuanku Guru, di Sulawesi Selatan Anre Gurutta, di Sumatera Barat Buya, dalam masyarakat Banjar Tuan Guru, dan lain sebagainya. Tetapi yang mengikat dari semua kata ini adalah bahwa mereka memiliki pengetahuan yang mendalam tentang agama dengan penguasaan yang baik atas kitab-kitab kuning, moralitas-akhlak yang agung, dan kesadaran ketuhanan yang tinggi. Jadi, dengan ketiadaan semua ini, seseorang sulit masuk ke dalam kategori “ulama”. Dalam Alquran, Allah berfirman: “Di antara hamba-hamba Allah yang punya rasa khasyyah kepada-Nya hanyalah para ulama.” (QS. Fathir [35]: 28)
Kata khasyyah mengandung konotasi adanya kesadaran ketuhanan yang tinggi. Dengan adanya kesadaran ini, sikap dan perilaku seseorang, baik dalam tataran personal maupun sosial-kemasyarakatan, disesuaikan dengan prinsip-prinsip univeral Alquran dan Sunnah Nabi Muhammad saw. Sementara itu, Alquran, yang didukung dengan bukti-bukti historis kehidupan Nabi, menekankan kebahagiaan dan kesuksesan pada berpegang kepada habl min Allâh (kecerdasan spiritual) dan habl min al-nâs (kecerdasan sosial). Maka, singkatnya, seorang baru dikatakan “ulama” jika menyatu dalam dirinya kesadaran ilahiah (kecerdasan spiritual dan emosional) dan kepekaan terhadap masalah-masalah sosial-kemasyarakatan.

C.   ULAMA LAJNAH BAHTHUL MASĀIL NU ( LBMNU )
Ada kriteria khusus yang tidak tertulis bagi seorang bisa “ikut aktif” dalam lajnah bahthul masail, selain keilmuan tentang Al quran dan al hadith seorang ulama bahthul masail harus menguasai ilmu nahwu, sharf, fiqh, ushl fiqh dan kaidah-kaidah fiqh. Karena  

D.   BAHTHUL MASĀIL SEBAGAI INSTISTUSI FATWA ULAMA LBMNU
Bahthul masail adalah kepanjangan dari bahth al-masa'il al-diniyah (penelitian atau pembahasan masalah-masalah keagamaan). Bahthul masail merupakan suatu kegiatan diskusi atau musyawarah di kalangan warga NU untuk mencari jawaban hukum terhadap masalah-masalah agama yang belum diketahui ketetapan hukumnya. Kegiatan ini kemudian diberi wadah tersendiri yaitu Lembaga Bahthul masail, selanjutnya disingkat LBM yang bertugas menampung, membahas dan memecahkan masalah-masalah keagamaan yang mawdu`iyah (konseptual) dan masalah-masalah keagamaan yang waqi`iyah (aktual) yang memerlukan kepastian hukum.[4] Maslah-masalah yang dibahas dalam forum Bahthul masail tersebut meliputi berbagai bidang masalah keagamaan seperti akidah, akhlak, fikih atau hukum islam, dan lain sebagainya.
Secara historis forum Bahthul masail telah ada sebelum Nahdlatul Ulama berdiri. Saat itu sudah ada tradisi diskusi di kalangan pesantren yang melibatkan kiai dan santri yang hasilnya diterbitkan dalam bulletin LINO (Lailatul Ijtima` Nahdlatul Oelama).[5] Bulletin LINO tersebut, selain memuat hasil Bahthul masail juga menjadi ajang diskusi interaktif jarak jauh antar para ulama. Seorang kiai menulis kemudian ditanggapi kiai lain, begitu seterusnya.
Apabila ditinjau dari latar belakang berdirinya dan dari Anggaran Dasar NU, maka dapat direkonstruksi bahwa latar belakang munculnya Bahthul masail adalah adanya kebutuhan masyarakat akan hukum Islam praktis (`amali) bagi kehidupan sehari-hari yang mendorong para ulama dan intelektual NU untuk mencari selosinya dengan melakukan Bahthul masail Dan apabila ditelusuri hasil-hasilnya, juga dapat diketahui bahwa bah{thul masa>il pertama dilaksanakan pada tahun 1926 M, beberapa bulan setelah berdirinya Nahdlatul Ulama.[6]
Istilah Lajnah Bahthul masail tidak muncul sejak pertama kali dalam lembaga pemecahan masalah / problem solving yang dilakukan NU, meski kegiatan Bahthul masail telah ada sejak kongres / muktamar, namun kegiatan tersebut tidak mempunyai nama. Bahkan, hingga akhir dekade delapanpuluhan, Lajnah Bahthul masail yang dibentuk secara formal dan disahkan oleh PBNU juga belum muncul kepermukaan. Baru dalam muktamar XXVIII di Yogyakarta tahun 1989, komisi I (Bahthul masail) merekomendasikan kepada PBNU untuk membentuk “Lajnah Bahthul masail Diniyah” (lembaga pengkajian masalah-masalah keagamaan) sebagai lembaga permanen yang khusus menangani persoalan keagamaan.[7]
Dengan demikian, Lajnah Bahthul masail merupakan forum resmi yang memiliki kewenangan menjawab berbagai permasalahan keagamaan yang dihadapi oleh Ulama dan warga Nahdliyyin. Bahkan tradisi keilmuan Nahdlatul Ulama juga dipengaruhi oleh keputusan Bahthul masail, karena segala permasalahan keagamaan yang dihadapi oleh Nahdlatul Ulama, dikaji dan diberi keputusan oleh forum ini kemudian ditransmisikan kepada warganya.
Untuk lebih lebih jelas, bagaimana prosedur dan proses penetapan hukum ( istinbat al hukm ), maka dibawah ini diperinci secara detail :

1.        PROSES BAHTHUL MASĀIL
Dalam struktur organisasi Nahdlatul Ulama, yang bertugas mengadakan kegiatan Bahthul masail adalah jajaran syuriyah (salah satu struktur organisasai Nahdlatul Ulama disemua tingkatan yang memiliki otoritas tertinggi). Sedangkan manajemen kepengurusan lembaga Bahthul masail secara sederhana ditangani oleh ketua dan sekretaris dan beberapa orang anggota. Peserta bah{thul masa>il adalah para ulama dan cendekiawan Nahdlatul Ulama, baik yang berada di dalam maupun yang berada di luar kepengurusan Nahdlatul Ulama, seperti para tokoh agama, para kiyai maupun para santri pondok pesantren.[8]
Mengenai prosesnya, disamping adanya masalah-masalah konseptual yang sengaja dimunculkan oleh pengurus lembaga Bahthul masail, pada umumnya pembahasan dalam forum ini bermula dari adanya permaslahan-permasalahan keagamaan yang dihadapi oleh masyarakat. Mereka mengajukan permasalahan kepada lembaga Bahthul masail tingkat ranting dan atau MWC NU, kemudian diteruskan kepada tingkat cabang (kota atau kabupaten) guna menyelenggarakan sidang Bahthul masail yang hasilnya diserahkan kepada majlis syuriyah Nahdlatul Ulama tingkat wilayah (propinsi). Setelah itu lembaga Bahthul masail tingkat wilayah menampung berbagai permasalahan yang masuk dan kemudian menyelenggarakan forum Bahthul masail dengan membahas permasalahan-permasalahan tertentu yang dianggap urgen bagi kehidupan umat. Beberapa permasalahan yang belum tuntas atau masih diperselisihkan, diserahkan kepada majlis syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) untuk diinvetarisasi dan diseleksi berdasarkan skala perioritas, yang pada gilirannya nanti akan dikaji/  dibahas dalam forum Bahthul masail yang pelaksanaannya dibarengkan bersamaan dengan acara Muktamar, Munas (musyawarah nasional), atau Konbes (konferensi besar).[9]
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa permasalahan yang dibahas dalam forum Bahthul masail merupakan permasalahan-permasalahan yang aktual di masyarakat. Artinya, permasalahan tersebut tidak muncul dari ruang hampa melainkan dilatarbelakangi oleh berbagai macam situasi dan kondisi yang ada di masyarakat dengan berbagai macam aspeknya, baik sosial, politik maupun ekonomi.
Selain itu terkadang permasalahan ditambah dengan permasalahan yang diajukan oleh PBNU sendiri, lalu diedarkan kepada para ulama dan para cendekiawan Nahdlatul Ulama yang ditunjuk sebagai anggota lajnah Bahthul masail agar dipelajari dan disiapkan jawabannya, untuk selanjutnya dibahas, dikaji dan ditetapkan keputusannya oleh lajnah bah{thul masa>il dalam sidang Bahthul masail yang diselenggarakan oleh PBNU bersamaan dengan acara muktamar atau musyawarah nasional alim ulama Nahdlatul Ulama.[10]
Dalam pelaksanaan pembahasan Bahthul masail, seorang pimpinan sidang didampingi beberapa orang yang tergabung dalam tim perumus duduk di bagian depan dengan menghadap kepada para anggota Bahthul masail yang lain. Dalam proses selanjutnya dapat dijelaskan tahapan-tahapan sebagai berikut:
1.    Pimpinan sidang membuka acara kemudian membacakan pertanyaan yang akan dibahas. Pertanyaan tersebut merupakan masalah-masalah keagamaan yang dikirim oleh PBNU kepada para anggota Bahthul masail untuk dipelajari dan disiapkan jawabannya pada daerah masing-masing.
2.    Tas}awwur terhadap pertanyaan. Untuk menghindari kesalahan dalam memahami pertanyaan, pimpinan sidang membahas maksud yang dekehendaki oleh soal dengan memperdengarkan penjelasan dari pembuat pertanyaan dan atau orang yang mempunyai wawasan yang memadahi terkait dengan persoalan yang akan dibahas. Pada sesi ini kadang-kadang memakan waktu yang cukup lama apabila pertanyaan yang akan dibahas tidak jelas maksudnya, sehingga hal ini menghendaki adanya pembahasan untuk merumuskan maksud dari pertanyaan tersebut.
3.    Penjelasan para ahli. Untuk kasus-kasus tertentu yang membutuhkan penjelasan pakar, lembaga Bahthul masail mengundang pakar seperti ahli medis, ahli ekonomi atau yang lainnya untuk menyampaikan penjelasan terkait dengan persoalan yang akan dibahas.
4.    Pembahasan. Pimpinan sidang membacakan soal dan dilanjutkan dengan penyampaian jawaban dari para anggota Bahthul masail dengan disertai argumentasi dan referensi yang digunakannya. Dalam menjawab pertanyaan, anggota bah{thul masa>il selalu merujuk kepada kitab-kitab tertentu yang merupakan pegangan para ulama NU dalam bidang pemikiran keagamaan, yang sering disebut sebagai "kitab-kitab kuning". Disebut kuning karena kertasnya berwarna kuning kemerah-merahan atau karena ketuaannya. Sebagian pertanyaan dijawab tanpa menyebutkan sumber dari buku tertentu, dengan hanya mengatakan bahwa jawaban yang diberikan adalah seperti yang ditemukan dalam buku-buku fiqih. Hal ini terjadi, karena para ulama yang ikut terlibat dalam pembahasan Bahthul masail sudah terbiasa dengan buku-buku tersebut dalam pendidikan dan pengalaman keulamaan mereka, sehingga sumber rujukan ini tidak perlu dijelaskan lebih rinci lagi.[11] Buku-buku khazanah lama ini dipandang dalam NU sebagai al-kutub al-mu`tabarah (buku-buku terpandang atau yang dijadikan landasan dan pertimbangan).
Forum Bahthul masail Muktamar NU di Situbondo pada tahun 1983 menetapkan bahwa  (الكتب المعتبرة فى المسائل الدينية عندنا هي الكتب على المذاهب الأربعة ) kitab-kitab mu`tabarah dalam masalah keagamaan, menurut kita adalah buku-buku yang berdasarkan kepada madzhab empat. Buku-buku ini oleh sebagian besar ulama NU masih dipandang relevan untuk memecahkan masalah-masalah kontemporer. Buku-buku yang sering dikutip atau dijadikan rujukan antara lain: I`anat al-Talibin, Rawdat al-Talibin, Anwar al-Tanzil, Bughyat al-Mustarshidin, Hashiyat al-Sharwani ala al-Tuhfah, Hashiyat al-Bujairimi ala Fath al-Wahhab, Hashiyat al-Bajuri ala Fath al-Qarib, Hashiyat al-`Iwad ala al-Iqna', Hashiyat al-Kurdi ala Bafadal, Radd al-Mukhtar ala Durr al-Mukhtar, Fath} al-Mu`in, Asna al-Matalib, Tanwir al-Qulub, Minhaj al-Talibin, al-Tuhfah, Mughni al-Muhtaj, dan lain lain.[12] Buku-buku tersebut pada umumnya merupakan kitab-kitab karya ulama madzhab Shafi`i.[13]  
5.    Pembahasan ini biasanya memerlukan waktu yang cukup lama karena akan terjadi perdebatan di kalangan para anggota Bahthul masail.
6.    Rumusan sementara. Setelah mendengarkan dan memeriksa serta mendiskusikan berbagai jawaban yang ada, tim perumus akan merumuskan jawaban yang dibacakan oleh pimpinan sidang atau dibacakan langsung oleh juru bicara tim perumus.[14] Apabila rumusan tersebut disetujui oleh para anggota Bahthul masail, maka akan disahkan oleh pimpinan sidang dengan pembacaan ummul Qur'an bersama, dan kemudian dilanjutkan pembahasan soal berikutnya. Apabila rumusan tersebut belum disepakati oleh para anggota bah{thul masa>il, maka akan dilakukan pembahasan lanjutan sampai menghasilkan rumusan yang disepakati oleh para anggota Bahthul masail.
7.    Apabila ada soal yang tidak dapat dipecahkan, maka soal tersebut dinyatakan mawquf dan akan dilakukan pembahasan para pertemuan Bahthul masail yang akan datang.[15]
8.    Pendokumentasian dan sosialisasi kepada warga Nahdliyyin. Putusan-putusan yang telah dihasilkan oleh forum Bahthul masail diinvertasir dan didokumentasikan oleh petugas yang telah diberi wewenang untuk hal itu, untuk selanjutnya dicetak dalam bentuk buku dan disosialisasikan kepada warga NU.

2.      ISTINBATH HUKUM DALAM BAHTHUL MASĀIL
Pengertian istinbat al-ahkam di kalangan NU bukan mengambil langsung dari sumber aslinya, yaitu al-Qur'an dan al-Sunnah akan tetapi – sesuai dengan sikap dasar bermadzhab -, mentah}biqkan (memberlakukan) secara dinamis nas-nas fuqaha' dalam kontek permasalahan yang sedang dicari hukumnya. Sedangkan istinbat dalam pengertian pertama (menggali secara langsung dari  al-Qur'an dan al-Sunnah) cenderung ke arah perilaku ijtihad yang oleh para ulama NU dirasa sangat sulit karena keterbatasan-keterbatasan yang disadari oleh mereka, terutama dibidang ilmu-ilmu penunjang dan pelengkap yang harus dikuasai oleh orang yang sedang berijtihad (mujtahid). Sementara itu istinbat} dalam pengertiannya yang kedua, selain praktis, dapat dilakukan oleh semua ulama NU yang telah memahami ibarat-ibarat kitab fiqih sesuai dengan terminologinya yang baku. Oleh karena itu, kalimat istinbat di kalangan Nahdlatul Ulama terutama dalam kerja bah{thul masail nya syuriyah tidak populer karena kalimat tersebut telah populer di kalangan ulama NU dengan konotasinya yang pertama yaitu ijtihad, suatu hal yang oleh ulama syuriah tidak dilakukan karena keterbatasan pengetahuan. Sebagai gantinya dipakai kalimat Bahthul masail yang artinya membahas masalah-masalah waqi`ah (yang terjadi) melalui referensi (maraji`) yaitu kutub al-fuqaha' (kitab-kitab karya para ahli fiqih).[16]
Selanjutnya, berbicara tentang Bahthul masail dalam kaitannya dengan istinbat hukum tidak dapat dilepaskan dari pembahasan fikih empat madzhab. Apapun persoalan fikih yang muncul dan siapapun yang terlibat dalam lajnah Bahthul masail harus tetap berada dan patuh pada koridor empat madzhab ini.[17]
Sebagaimana telah terdokumentasikan dalam sejarah tokoh-tokoh ulama fiqih, terdapat beragam aliran fiqih dimana empat madzhab adalah bagian kecil daripadanya. Selain tokoh empat madzhab, masih banyak tokoh madzhab lain seperti Imam al-Baqir (57-114 H), Ja`far al-Sadiq (80-148 H), Zaid bin Ali (80-122H), al-Awza`i (w.157 H), Sufyan al-Thawri (w. 160 H), al-Laith bin Sa`d (w. 175 H), Sufyan bin `Uyainah (w. 198 H), Ishaq bin Rahawaih (w. 238 H), Abu al-Thaur Ibrahim al-Kalbi (w. 240 H), Dawud al-zahiri (w. 270 H) dan lain-lain.[18]
Dalam hal banyaknya madzhab fiqih dan dipilihnya empat madzhab, KH. Hasyim Asy`ari salah seorang pendiri Nahdlatul Ulama menjelaskan bahwa sebenarnya bukan hanya empat madzhab saja yang boleh diikuti oleh umat Islam. Madzhab lain seperti Sufyan al-Thauri, Sufyan bin Uyainah, Ishaq bin Rahawaih dan Dawud al-Zahiri juga boleh diikuti. Hanya saja karena para imam tersebut tidak memiliki pengikut yang setia mengembangkan madzhab mereka dan tidak banyal literatur yang memuat pemikiran-pikiran mereka, sehingga mata rantai pemikiran mereka menjadi terputus.[19]
Empat madzhab, yakni Hanafi, Maliki, Shafi`i, dan Hambali muncul pada masa kekuasaan dinasti Umawiyah - Abbasiyah. Sebelum masa tersebut, apabila orang berbicara tentang madzhab, maka yang dimaksud adalah madzhab dikalangan sahabat, semisal madzhab Umar, Ali, Aisyah, Ibnu Umar, Ibnu Abbas dan sebagainya.[20] Kemudian pada masa selanjutnya yang dimaksud dengan empat madzhab adalah Hanafi, Maliki, Shafi`i, dan Hambali. Karena dalam kenyataannya mereka pengikut-pengikut yang setia yang menyebarluaskan paham imamnya, di samping adanya informasi yang jelas tentang ajaran para imam tersebut dalam buku-buku yang telah mereka tulis sebelumnya.
Alasan bermadzhab ini merupakan hal yang final dan tidak dapat ditawar lagi dalam organisasi NU. Hal ini sebagaimana telah diputuskan dalam Muktamar Nahdlatul Ulama ke-14 di Magelang pada tanggal 14 Jumadil Ulaa 1358 H/ 1939 M. Dalam keputusan tersebut dijelaskan bahwa kewajiban umat Islam untuk bermadzhab itu karena dikhawatirkan mencampurkan antara yang haq dan yang bathil, atau khawatir tergelincir dalam kesalahan atau khawatir mengambil yang mudah saja. [21]
Sikap bermadzhab ini secara konsekuen ditindak lanjuti dengan upaya pengambilan hukum fiqih dari refernsi (maraji`) berupa kitab-kitab fiqih yang pada umumnya dikerangkakan secara sistematik dalam beberapa komponen, yaitu ibadah, mu`amalah, munakahah (hukum keluarga) dan jinayah/ qadla (pidana/ peradilan).[22] Dalam hal ini para ulama NU mengerahkan orientasinya dalam pengambilan hukum kepada aqwal al-mujtahidin (pendapat para mujtahid) yang mutlaq maupun yang muntashib. Apabila kebetulan diketemukan qaul manshush (pendapat yang telah ada nashnya) maka qaul itulah yang dipegangi dan apabila tidak diketemukan, maka akan beralih ke qaul mukharraj (pendapat yang telah di takhrij). Apabila terjadi khilaf (perbedaan pendapat) maka yang diambil adalah qaul yang paling kuat  sesuai dengan pentarjihan ahli tarjih.[23]
Kemudian seiring pesatnya perkembangan zaman dan menyadari keterbatasan kemampuan kitab-kitab kuno dalam menjawab berbagai persoalan baru yang muncul, bagaimanapun rumusan fiqih yang dikonstruksikan ratusan tahun yang lalu jelas tidak memadai untuk menjawab semua persoalan yang terjadi saat ini, karena situasi sosial, politik, dan kebudayaan antara zaman dirumuskannya fikih klasik sangat berbeda dengan zaman sekarang. Selain itu hukum sendiri harus berputar sesuai dengan ruang dan waktu. Jika putusan hukum hanya didasarkan pada rumusan teks yang dirumuskan pada masa lalu, maka besar kemungkinannya bahwa ada persoalan hukum yang tidak ditemukan jawabannya dalam rumusan teks tersebut. Dalam kondisi semacam ini, apakah persoalan tersebut harus disikapi dengan cara mawquf (tidak terjawab)?. Hal ini tidak mungkin, karena memawqufkan persoalan hukum, hukumnya tidak boleh menurut para ulama (fuqaha’). Disinilah perlunya “fikih baru” yang mampu mengakomodir permasalahan-permasalahan baru yang muncul dalam masyarakat. Dan untuk itu perlu adanya istimbat hukum dengan metode manhaji yakni mengambil metodologi yang dipakai oleh ulama dahulu.
M.A. Sahal Mahfudh mengatakan bahwa dalam bahthul masail, munculnya pemikiran tentang perlunya “fiqih baru” ini sebetulnya sudah lama terjadi. Kira-kira sejak tahun 1980-an ketika mulai muncul dan marak diskusi tentang “tajdid” karena danya keterbatasan kitab-kitab fiqih dalam menjawab persoalan kontemporer disamping adanya ide tentang kontekstualisasi kitab kuning. Sejak itu lalu berkali-kali diadakan halaqah (diskusi) yang diikuti oleh beberapa ulama syuriyah dan pengasuh pondok pesantren untuk merumuskan “fiqih baru” itu. Kesepakatan telah dicapai yaitu menambah dan memperluas muatan agenda bahthul masail, yang tidak saja meliputi persoalan hukum halal / haram melainkan juga hal-hal yang besifat pengembangan  keislaman dan kajian kitab.[24]
Ada terobosan baru yang dilakukan oleh Lembaga Bahthul Masail NU dalam sistem istinbat hukum, hal ini ditetapkan dalam beberapa muktamar terakhir NU, yaitu pengambilan hukum dengan menggunakan tiga model baru, antara lain : Methode taqrir jama’i, ilhaq al-masail binadha’iriha dan istinbat jama’i. Taqrir Jama’i adalah : upaya kolektif untuk menetapkan pilihan terhadap satu diantara beberapa pendapat. Prosedur taqrir jama’i dilakukan dengan cara: pertama, mengidentifikasikan aqwal ulama yang berkaitan dengan masalah yang dibahas. Kedua ; memilih pendapat yang rajih ( unggul ) dengan kriteria sebagai berikut : 1. Pendapat yang paling kuat dalilnya,    2. Pendapat yang paling maslahah, 3. Pendapat yang didukung oleh jumhur ulama, 4. Pendapat ulama yang paling alim, 5. Pendapat ulama yang paling wara’, Ketiga : Memperhatikan ketentuan dari masing-masing madzhab atas pendapat yang diunggulkan diantara mereka. Keempat : Mengambil pendapat murid Imam madzhab yang terdekat. Ilhaq  adalah menyamakan suatu kasus yang belum ada ketentuan hukumnya dengan kasus yang telah ada jawabannya dalam kitab-kitab mu’tabar, sedangkan Istinbat Jama’i adalah upaya kolektif untuk mengeluarkan hukum syara’ dari dalilnya dengan menggunakan qaaid ushuliyah.
E. TIPOLOGI ULAMA LEMBAGA BAHTHUL MASĀIL NU / LBMNU
            Dalam memahami ulama bahthul masail NU dengan menggunakan kategorisasi, meminjam istilahnya Mansur Noor yang membuat katagorisasi Ulama dengan melihat respon ulama terhadap perubahan sosial dengan tiga kategori, antara lain : ulama konservatif, ulama adaptif dan ulama progresif.[25]
Ulama konservatif terindikasi lebih memegang pengetahuan dan keyakinan terhadap kebenaran sebuah pendapat yang ada dalam suatu kitab dan berusaha sekuat tenaga untuk memepertahankan pendapat yang ada dikitab tanpa reserve. Faktor utama yang menyebabkan seorang ulama bahthul masail menjadi konservatif dilatarbelakangi dengan adanya pameo yang sangat kuat, apabila melakukan ”perubahan” yang tidak sama dengan yang ada dikitab akan kualat dan su’ul adzab, sehingga ketika ada permasalahan baru yang ”sama sekali” tidak ada dikitab, maka dapat dipastikan jawabannya adalah mauquf /diagendakan dalam waktu yang tidak ditentukan. Ulama konservatif ini juga dikategorikan sebagai ulama yang hanya memegangi satu atau dua pendapat faqih atau yang lebih sering disebut ulama yang berpegangan pada fiqih qauly.
Selanjutnya, Ulama yang Adaptif lebih cenderung menganalisa masalah terlebih dahulu sebelum mengeksekusi masalah yang dipertanyakan, analisanya dengan menggunakan perbandingan pendapat berbagai imam yang ada dalam satu madzhab. Ketika dalam menganalisa masalah dalam satu madzhab tidak ditemukan jawabannya, maka analisanya diarahkan dengan menggunakan madzhab yang lain. Ulama adaptif juga dikategorikan dengan ulama yang menggunakan fiqh madzhaby.
Sementara ulama progresif cenderung menggedepankan ”maslahah” daripada yang lain, ulama progresif ini biasanya meneliti latar belakang dari sebuah produk fiqh yang ditelorkan oleh imam mazhab, sehingga ketika produk fiqh itu ”kurang pas” diterapkan pada satu   kawasan, maka ulama progresif ini meneliti latar belakang, faktor-faktor yang mempengaruhi produk fiqh itu ditetapkan, kondisi masyarakat saat itu dan suasana perpolitikan yang berlangsung. Ulama progresif ini juga dikategorikan sebagai ulama yang menganut fiqh manhaji karena selalu menelaah dan mengkritisi kembali  terhadap produk fiqih yang ditelorkan oleh para imam madzhab.

F. IKHTITAM

Negara Indonesia merupakan negara hukum dengan banyak problem hukum yang tidak pernah terselesaikan dengan baik, hadirnya institusi hukum independen semacam Lembaga Bahthul Masail NU ( LBMNU ) merupakan sebuah ”oase” ditengah Savanah hukum bagi umat Islam yang merindukan kesucian ajaran. Peran ulama yang melakukan musyawarah dalam LBMNU ini seharusnya melakukan kaderisasi dan terus memproduksi banyak cendekiawan dan ulama yang memberikan konstribusi signifikan dalam menjawab problema umat yang begitu komplek, ditambah lagi dengan perkembangan yang serba cepat, serba canggih membutuhkan ulama-ulama yang intelektual inovatif, sehingga bisa memberikan penyegaran dan perubahan pemikiran yang shalihun likulli zaman wal makan.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Zahro, “Lajnah Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama’, 1926 – 1999: Telaah Kritis Terhadap Keputusan Hukum Fiqih” (Desertasi Doktor, IAIN Sunan Kalijaga: Yogyakarta, 2001).
Ahmad Zahro, Tradisi Intelektual NU, (Yogyakarta: LKIIS, 2004).
Anggaran Dasar Nahdlatul Ulama Bab II tentang Aqidah/ Asas, pasal 3 ayat 1.
Anggaran Rumah Tangga Nahdlatul Ulama, Bab V tentang perangkat organisasi pasal 16 ayat 4 huruf l.
Poetoesan-Poetoesan Congres Nahdlotoel Oelama`, Oetoesan Nahdlotoel Oelama`, No 3 th1(Soerabaia: tp.,1347 H)
D. B. McDonald, “Ulama” dalam M.Th. Houtma, First Encyclopedia of Islam 1913-1936, (Leiden: E.J. Brill, 1987).
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi ke-3, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005).
I.H. Qureshi, The Political Role of Ulama in Moeslem Society, dalam Abubakar A., Bagader (ed.), The Ulama in the Modern Muslim National State, Muslim Youth Movement of Malaysaia, Kuala Lumpur 1983
Jalaluddin Rahmat, Kontekstualisasai Doktrin Islam Dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 1995).
KH.A. Aziz Masyhuri, Masalah Keagamaan Hasil Muktamar dan Munas Ulama Nahdlatul Ulama, (Surabaya: PP. Rabithat al-Ma`ahid al-Islamiyah/ Dinamika Press, 1997).
M.A. Sahal Mahfdh, “Bahtsul Masail dan Istinbath Hukum NU: Sebuah Catatan Pendek”, dalam Imam Ghazali Said dan A. Ma`ruf Asrori (Penyunting), Ahkamul Fuqaha:Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, ter. Djamaluddin Miri, (Surabaya: LTN NU dan Diantama, 2005).
Mansur Noor, Islam in an Indonesiaan World, Ulama of Madura ( Yogyakarta: Gadjah Mada University Press 1990
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2000).
Sahal Mahfudh, Bahthul masail dan Istinbat Hukum NU: Sebuah catatan Pendek, dalam “H.M. Jamaluddin Miri (ter.),  AHKAMUL FUQAHA: Solussi Problematika Aktual Hukum Islam Keputusan Muktamar, Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama” (1926-1999), (Surabaya: TN NU Jawa Timur dan Diantama, 2004).
Saifullah Ma`sum, ed., Karisma Ulama: Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU, (Bandung: Mizan, 1998).




[1] I.H. Qureshi, The Political Role of Ulama in Moeslem Society, dalam Abubakar A., Bagader (ed.), The Ulama in the Modern Muslim National State, Muslim Youth Movement of Malaysaia, Kuala Lumpur 1983, h. 1983
[2] D. B. McDonald, “Ulama” dalam M.Th. Houtma, First Encyclopedia of Islam 1913-1936, (Leiden: E.J. Brill, 1987), 994.
[3] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi ke-3, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), 30.

[4] Anggaran Rumah Tangga Nahdlatul Ulama, Bab V tentang perangkat organisasi pasal 16 ayat 4 huruf l.
[5] Sahal Mahfudh, Bahthul masail dan Istinbat Hukum NU: Sebuah catatan Pendek, dalam “H.M. Jamaluddin Miri (ter.),  AHKAMUL FUQAHA: Solussi Problematika Aktual Hukum Islam Keputusan Muktamar, Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama” (1926-1999), (Surabaya: TN NU Jawa Timur dan Diantama, 2004), vii.
[6] Baca: Poetoesan-Poetoesan Congres Nahdlotoel Oelama`, Oetoesan Nahdlotoel Oelama`, No. 3 th 1 (Soerabaia: tp., 1347 H), 3-50.
[7] Ahmad Zahro, “Lajnah Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama’, 1926 – 1999: Telaah Kritis Terhadap Keputusan Hukum Fiqih” (Desertasi Doktor, IAIN Sunan Kalijaga: Yogyakarta, 2001), 61-62.
[8] Zahro, Tradisi Intelektual NU, 78.
[9] Mahfudh, Nuansa Fiqh, 26.
[10] Zahro, Tradisi Intelektual NU, 26.
[11] Lihat: Rifyal ka`bah 140.
[12] KH.A. Aziz Masyhuri, Masalah Keagamaan Hasil Muktamar dan Munas Ulama Nahdlatul Ulama, (Surabaya: PP. Rabithat al-Ma`ahid al-Islamiyah/ Dinamika Press, 1997), 405-413.
[13] Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2000), 191.
[14] Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh peneliti, untuk daerah tertentu, seperti kabupaten Pasuruan, selain ada tim perumus juga ada mushahhih yang terdiri dari para kiayi sepuh (senior). Mushahhih bertugas sebagai konsultan rumusan bahthul masail yang dihasilkan oleh tim perumus. Setiap rumusan akan dikonsultasikan kepada mushahhih. Apabila rumusan itu disetujui oleh mushahhih, maka akan disahkan dengan membaca surat al-fatihah, sebaliknya rumusan itu akan dikaji ulang apabila belum mendapatkan restu dari mushahhih. Hasil wawancara peneliti dengan KH. Muhibb Aman Ali, salah satu anggota tim perumus PWNU Jawa Timur. Dalam kegiatan bahthul masail di lingkungan PCNU Pasuruan, beliau terkadang menjadi perumus dan terkadang menjadi mushahhih.
[15] Penjelasan tentang proses ini didapatkan dari hasil wawancara dengan beberapa ulama yang aktif mengikuti forum bahthul masail seperti KH. A. Masduqi Mahfudz, KH. A. Farihin, KH. Nurul Huda, dan yang lainnya. Selain itu, untuk memperkuat penjelasan tersebut, peneliti juga menyempatkan diri untuk mengikuti proses tersebut dalam beberapa kali forum bah{thul masa>il.
[16] M.A. Sahal Mahfdh, “Bahtsul Masail dan Istinbath Hukum NU: Sebuah Catatan Pendek”, dalam Imam Ghazali Said dan A. Ma`ruf Asrori (Penyunting), Ahkamul Fuqaha:Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, ter. Djamaluddin Miri, (Surabaya: LTN NU dan Diantama, 2005), xii-xiii.
[17] Anggaran Dasar Nahdlatul Ulama Bab II tentang Aqidah/ Asas, pasal 3 ayat 1.
[18] Ahmad Zahro, Tradisi Intelektual NU, (Yogyakarta: LKIIS, 2004), 81.
[19] Saifullah Ma`sum, ed., Karisma Ulama: Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU, (Bandung: Mizan, 1998), 80.
[20] Jalaluddin Rahmat, Kontekstualisasai Doktrin Islam Dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 1995), 268.
[21] Ibid.
[22] M.A. Sahal Mahfdh, “Bahtsul Masail dan Istinbath Hukum NU: Aebuah Catatan Pendek”, dalam Imam Ghazali Said dan A. Ma`ruf Asrori (Penyunting), Ahkamul Fuqaha:Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, ter. Djamaluddin Miri, (Surabaya: LTN NU dan Diantama, 2005), ix.
[23] Ibid.
[24] M.A. Sahal Mahfdh, “Bahtsul Masail dan Istinbath Hukum NU: Aebuah Catatan Pendek”, dalam Imam Ghazali Said dan A. Ma`ruf Asrori (Penyunting), Ahkamul Fuqaha:Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, ter. Djamaluddin Miri, (Surabaya: LTN NU dan Diantama, 2005), xii.
[25] Mansur Noor, Islam in an Indonesiaan World, Ulama of Madura ( Yogyakarta: Gadjah Mada University Press 1990

Tidak ada komentar:

Posting Komentar