Jumat, 21 Juli 2017

Kerukunan Masyarakat Banyuwangi

Kerukunan Masyarakat Banyuwangi
Sebuah “Potret”  Masyarakat Multikultural1
Oleh: M. Syamsudini 2
Awalan
Dalam konteks sosio-politik Banyuwangi sering dianggap sebagai wilayah yang rawan konflik. Hal ini dikarenakan ada sebuah peristiwa yang menjadikan pembenar justifikasi tersebut yaitu:  Aksi pembantaian dengan isu Ninja pada tahun 1998. Peristiwa tersebut secara langsung mencitrakan wilayah ini beserta komunitas pendukungya sebagai wilayah yang  mudah berkonflik. Tentu saja asumsi tersebut tidak selamanya benar, karena pada dasarnya peristiwa ninja tidak hanya menjadi karakteristik masyarakat di wilayah ini dan ada latar belakang serta setting politik yang menyebabkan peristiwa itu terjadi. Di samping itu peran media yang selama ini mem-blow up peristiwa ninja di wilayah ini juga menjadi penguat stereotip tersebut. Padahal dalam hal kebudayaan, masyarakat di wilayah Banyuwangi mempunyai keunikan dan karakteristik tersendiri. Keunikan dan karakteristik masyarakat Banyuwangi dalam konteks wacana kebudayaan merupakan tema baru dan belum banyak mendapat perhatian serius dari para pakar budaya. Kenyataan tersebut memang bisa dimaklumi, karena dalam konteks wilayah kebudayaan dan geografis, Banyuwangi  memang berada pada ‘ruang lain kebudayaan’. Mengapa dikatakan demikian? Dari sisi posisi dan wilayah, Banyuwangi hanya merupakan satu wilayah kebudayaan (cultural area) di bagian timur Provinsi Jawa Timur  dan jauh dari pusat informasi sehingga menjadikannya sebagai ‘liyan’ (the other) yang kurang diminati. Tetapi, benarkah ‘posisi pinggir’ dalam konteks diskursus budaya tersebut menjadikan Banyuwangi kurang menarik untuk dijadikan kajian akademis?
Potret sosio-kultural masyarakat yang mendiami wilayah Banyuwangi adalah kombinasi masyarakat saling berinteraksi dengan banyak etnis, suku, golongan, agama, aliran, kelompok dan seterusnya yang pada akhirnya melahirkan masyarakat multikultur.              Perpaduan dan adaptasi budaya ini memang terjadi meskipun lebih banyak berlangsung di pusat dan pinggiran kota. Di Kecamatan Banyuwangi Kota, misalnya, interaksi antara warga Madura, Bali, Cina, Arab, Mandar, Melayu, Jawa dan Osing melahirkan sebuah kerukunan yang mempunyai keunikan dan karakteristik tersendiri.
Dalam konteks kesenian, juga terjadi proses perpaduan dan, lagi-lagi, lebih cenderung berorientasi pada kesenian berakar dari budaya campuran. Di Alian, Kecamatan Rogojampi, misalnya, ada kelompok“Hadrah Kuntul” yang dalam pertunjukannya menggunakan Bahasa Arab yang komunitas penontonnya berasal dari etnis Osing, Bali, Cina, Madura dan Jawa. Pada umumnya, budaya Banyuwangi merupakan hasil dari suatu proses sosial panjang dan dialog intensif di antara bermacam-macam kebudayaan sejalan dengan masyarakat pendukungnya6.
Pendekatan multikultural akan menjadi alat bantu dalam menganalisis perkembangan masyarakat Banyuwangi dewasa ini. Dengan menggunakan pendekatan ini diharapkan akan menghasilkan kajian yang lebih komperhensif tentang bagaimana kondisi, peran, kontestasi, dan beragam kebudayaan dan masyarakat pendukungnya.4
Membicarakan Kerukunan masyarakat Banyuwangi dalam konteks yang lebih luas, tentu tidak bisa menegaskan keberadaan etnis lain, selain Jawa, Osing dan Madura. Tionghoa, Arab, Mandar, Melayu dan Bali, meskipun dianggap sebagai minoritas, mereka juga ikut berpartisipasi dalam proses sosial yang terjadi di masyarakat. Dan hal itu tidak berlangsung dalam waktu yang singkat. Di Kecamatan Glenmore, misalnya, sejak migrasi era kolonial sebagai bentuk mobilisasi massa oleh pihak kolonial (dalam hal ini Belanda) telah menghasilkan struktur masyarakat multietnis7.
Dalam kurun waktu yang cukup lama tersebut, sebuah proses budaya dalam masyarakat secara kontinyu berlangsung dalam nuansa damai. Mereka saling berinteraksi dan beradaptasi untuk saling melengkapi berdasarkan peran masing-masing. Etnis Tionghoa dan Arab, misalnya, berperan sebagai pedagang. Etnis Madura lebih banyak berperan sebagai pekerja kebun dan petani serta sebagian kecil berperan dalam dunia pendidikan pesantren sebagai kyai dan ustadz. Sementara etnis Jawa dan Osing mengambil peran sebagai petani, pendidik (formal), dan aparat birokrasi. Meskipun saat ini peran tersebut sudah ada yang berubah, tetapi secara umum bisa dikatakan tetap.
Pola interaksi dan adaptasi antarbudaya sebagai konsekuensi proses komunikasi antaretnis, tidak bisa dipungkiri, telah melahirkan sebuah varian budaya baru bernuansa hibrid yang kemudian disebut masyarakat multikultur. Lahirnya Masyarakat multikultur merupakan proses interaksi dan komunikasi di antara beragam etnis yang berakar dari peran sosial dan atraksi kultural masing-masing yang kemudian menghasilkan budaya hibrid. Hibridasi dalam konteks ini tidak hanya membicarakan proses perpaduan antara bermacam budaya yang menghasilkan budaya baru. Hibridasi yang terjadi di wilayah Banyuwangi merupakan hibridasi struktural dabn hibridasi kultural.

a. Hibridasi ala Banyuwangi
Dalam masyarakat Banyuwangi yang multietnik telah terjadi persilangan peran sosial teruatama dalam pilihan organisasi sebagai akibat dari saling berinteraksinya budaya mereka. Saat ini, misalnya, sudah banyak warga etnik Madura yang memilih untuk menjadi pegawai pemerintah maupun pendidik formal sehingga bukan lagi menjadi dominasi etnis Jawa dan Osing. Sedangkan hibridasi kultural yang terjadi pada masyarakat Banyuwangi merupakan percampuran bermacam bahasa dan tradisi multietnik yang membentuk ‘budaya baru’ meskipun tidak selamanya baru. Budaya baru tersebut berbentuk, misalnya, Bahasa Osing sering digunakan bahasa komunikasi di Kampung Arab yang mayoritas peenduduknya etnis Arab. Contoh lain Etnis Tionghoa, terutama dalam transaksi dagang, banyak berinteraksi dengan menggunakan Bahasa Madura maupun Bahasa Jawa bercampur logat Tionghoa yang cukup kental. Begitu pula dengan etnis Bali. Di kecamatan, seperti Rogojampi, kita bisa menjumpai perkampungan Bali di mana warganya banyak yang berkomunikasi dengan Bahasa Jawa bercampur logat Bahasa Bali.
Sedangkan dalam tradisi kesenian juga terjadi keterlibatan lintasetnis dalam kesenian Tionghoa dan Arab, tetapi tanpa merubah format pertunjukan maupun bahasanya. Dalam kesenian Barongsai dan Liang liong Muncar, misalnya, banyak anggota—baik penari maupun pemusiknya—yang berasal dari etnis Madura maupun Jawa. Begitupula yang terjadi dengan penggarapan kesenian Gambus (Arab), Kendang Kempul dan Janger (Osing) yang juga melibatkan etnik Madura dan Jawa. Di sini tampak jelas, meskipun telah terjadi hibridasi, namun di Banyuwangi tetap belum menghasilkan ‘sesuatu yang sepenuhnya baru’. Dengan kata lain ada kesadaran dan kemauan personal untuk berpartisipasi ke dalam kelompok kesenian etnis lain—baik karena motivasi ekonomi ataupun kesadaran budaya—dan tidak berarti mereka kehilangan jati diri budaya etnis asal mereka.

b. Orkestra Multikultural Masyarakat Banyuwangi
Selain membicarakan masyarakat Banyuwangi sebagai proses perpaduan, sebenarnya kita juga bisa membicarakan masyarakat Banyuwangi dalam konteks masyarakat multikultural. Mengapa demikian? Karena di samping ditemukannya data tentang perpaduan yang menghasilkan sebuah budaya baru, di wilayah kebudayaan ini juga bisa dilihat adanya budaya masingmasing etnis yang tetap dipertahankan dalam sebuah proses sosial yang menempati ruang dan waktu yang sama. Meskipun dalam kehidupan sehari-hari mereka berinteraksi, tetapi mereka tetap kukuh dalam menjalankan aktivitas budaya sesuai dengan identitas masingmasing demi terjaganya jati dirinya.
Di Banyuwangi,  kondisi tersebut sangat tampak ketika kita melihat aktivitas budaya di wilayah selatan, utara dan Barat. Sebagai produk segregasi etnis ala kolonial, masyarakat etnis Jawa yang menempati wilayah selatan Banyuwangi (seperti Tegaldlimo, Pesanggaran, Tegalsari, Siliragung dan Gambiran) sampai saat ini masih mempraktekkan produk budaya Jawa baik dalam hal bahasa, kesenian, maupun adat-istiadat lainnya. Masyarakat Jawa di Tegalsari, misalnya, sampai saat ini masih melestarikan kesenian Reog yang berasal dari nenek moyangnya di Ponorogo. Di samping itu, hampir semua masyarakat di selatan juga menggemari Wayang Kulit, Jaranan, dan Campursari. Sedangkan untuk urusan pendidikan mereka tetap berorientasi pada pendidikan formal, meskipun di sana juga terdapat pondok pesantren.
Contoh lain dari adanya perpaduan budaya masyarakat Banyuwangi terlihat dalam pementasan Janger ( nota bene budaya Bali ) menjadi perpaduan Janger yang bernuansa Banyuwangi. Dilihat dari performance-nya Janger Banyuwangi memiliki bentuk yang khas, karena itu dapat diasumsikan bahwa Janger Basnyuwangi selain terbentuk dari seni pertunjukan yang multilingual juga multikultural. Hal ini dapat dilihat adanya dalang dalam pertunjukan. Janger Banyuwangi merupakan kesenian yang terbentuk dari transformasi wayang orang, kethoprak, dan Seni Bali. Unsur-unsur yang dimunculkan dari ketiga bentuk kesenian tersebut dapat dibagankan sebagai berikut.

 















Dari ketiga unsur tersebut, hal yang berpengaruh dalam pembentukan wacana cerita adalah unsur dari wayang orang dan kethoprak, sedangkan Seni Bali  berpengaruh pada aspek teatrikalnya (pementasan) yakni musik, kostum, dan gerak/tari. Dengan adanya transformasi tersebut juga melahirkan bentuk wacana yang khas. Kekhasan bentuk wacana Janger, selain karena bahasanya juga adanya peran dalang. Peran dalang adalah untuk membawakan suluk sebagai pembuka cerita dan narasi di awal setiap episode. Dalam pementasan Janger disebut sebagai seni pedalangan. Baik suluk maupun narasi merupakan bagian integral dari cerita yang dipentaskan.

Di wilayah utara, masyarakat tetap bertahan pada orientasi budaya Madura. Bahasa Madura merupakan bahasa sehari-hari masyarakat di Kecamatan Giri, Kalipuro, Wongsorejo,  sebagian Glagah, sebagian Licin dan sebagian Banyuwangi Kota. Di samping ludruk ala Madura, masyarakat di sana gemar melihat pertunjukan Hadrah sebagai kesenian pesantren yang menjadi orientasi pendidikan etnis Madura. Pengajian7 juga menjadi acara favorit karena di samping mendapatkan wejangan-wejangan tentang Islam, mereka juga bisa bertemu dengan para Lorah (sebutan untuk kyai) ataupun Gus (anak kyai) yang dianggap bisa mendatangkan berkah bagi kehidupan warga. Sedangkan di wilayah Barat dan pinggiran kota—di samping berdagang, etnis Tionghoa—sebagai berkah reformasi politik nasional—juga mulai mengembangkan kesenian Barongsai dan Liang liong sebagai kesenian khas mereka. Pada peringatan Imlek, kesenian ini dipertontonkan menyusuri jalan-jalan protokol kota Banyuwangi, meskipun generasi mudanya sudah banyak yang menggunakan Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa dengan aksen Tionghoa, Bahasa Mandarin sudah mulai diperkenalkan lagi.
Dalam hal pendidikan sebagian besar warga etnis Tionghoa tetap menyekolahkan anakanaknya ke sekolah-sekolah yang dikelola gereja, seperti SD, SMP, dan SMA Santo Yusuf, SMA Mandala, SMA Aletheia dan lain-lain. Sementara etnis Arab tetap kukuh mempertahankan identitasnya dengan tetap melestarikan pernikahan sesama etnis. Mereka juga masih mempertahankan Musik Gambus sebagai pemenuh kebutuhan estetiknya.
Fakta-fakta di atas merupakan sisi lain Banyuwangi. Sebuah komunitas budaya yang selama ini hanya dianggap bercirikan perpaduan budaya Jawa, Osing, Bali dan Madura, ternyata menyimpan ‘sebuah orkestra multikultural’ yang berjalan dengan harmonis dan dinamis.
Meskipun seringkali dikatakan menghasilkan produk budaya yang dinamakan budaya Banyuwangi ternyata mereka tetap menikmati kesejarahan dalam bentuk pemertahanan identitas kultural etnis masing-masing. Mereka yang selama ini melangsungkan kehidupan dalam sebuah masyarakat di Banyuwangi ini berhasil mengembangkan satu bentuk masyarakat multikultural yang sangat toleran dalam menghargai perbedaan.
Orkestra multikultural dalam sebuah periuk besar bernama buadaya Banyuwangi ini merupakan sisi positif dari sebuah keberagaman yang semestinya terus dikembangkan dalam kehidupan masyarakat. Komunitas masyarakat multikultural Banyuwangi dengan segala kekurangannya telah memberikan contoh tentang bagaimana membangun kesadaran bersama dalam masyarakat multikultural. Parsudi Suparlan dalam makalahnya mengatakan:
Dalam model multikulturalisme ini, sebuah masyarakat (termasuk juga masyarakat bangsa seperti Indonesia) dilihat sebagai mempunyai sebuah kebudayaan yang berlaku umum dalam masyarakat tersebut yang coraknya seperti sebuah mosaik. Di dalam mosaik tercakup semua kebudayaan dari masyarakat-masyarakat yang lebih kecil yang membentuk terwujudnya masyarakat yang lebih besar, yang mempunyai kebudayaan yang seperti sebuah mosaik tersebut8.
Menyitir pendapat di atas, bisa dikatakan bahwa komunitas pendukung di wilayah kebudayaan Banyuwangi ternyata tidak hanya membuat mozaik budaya, tetapi lebih dari itu, mereka telah menghasilkan orkestra multikultural yang indah di tengah suburnya lahan pertanian dan perkebunan serta denyut nadi bisnis modern dan pendidikan yang mulai menggeliat. Hal ini menunjukkan betapa rentannya rasa kebersamaan yang dibangun dalam Negara- Bangsa, betapa kentalnya prasangka antara kelompok dan betapa rendahnya saling pengertian antar kelompok9. Ternyata selama puluhan—bahkan ratusan—tahun masyarakat Banyuwangi berhasil menciptakan mekanisme interaksi sosial yang mampu menjaga keharmonisan dalam kontestasi budaya masing-masing etnis.
Simpulan
Sepertihalnya sebuah orkestra yang mengusung perpaduan dari permainan bermacam instrumen musik dalam irama harmonis, masyarakat multikultural Banyuwangi bisa dikatakan sebagai ‘sebuah proses yang akan terus menjadi’ di tengah-tengah keragamannya. Artinya apa-apa yang saat ini bisa dikaji dan dipahami dari wilayah kebudayaan ini adalah sesuatu yang belum mapan (established) dan akan terus menjadi sesuai dengan gerak dinamis kebudayaan etnis-etnis pendukungnya. Berangkat dari kenyataan tersebut, ada beberapa kemungkinan yang bisa dilontarkan. Pertama, bisa jadi, pada suatu ketika perpaduan kebudayaan masing-masing etnis di wilayah ini akan menghasilkan sebuah budaya yang ‘benar-benar baru’. Kedua, Masyarakat multikultur Banyuwangi akan tetap seperti sekarang ini, ada hibridasi dan ada juga atraksi kultural dari masing-masing etnisnya dengan suasana yang semakin dinamis karena datangnya etnis-etnis lain dari seluruh bagian Indonesia, baik
karena alasan pendidikan ataupun pekerjaan. Semuanya bisa saja terjadi dan semuanya akan berdampak positif selagi komunitas pendukung menyadarinya. Yang tidak baik adalah ketika periuk besar ini hancur karena sengaja dipecah oleh mereka yang mengatasnamakan kebenaran demi kepentingan politik, agama, ekonomi, ataupun perut.
9
Catatan akhir
1 Disampaikan dalam Jelajah Budaya yang diselenggarakan oleh Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, di Jember 13 Agustus 2006.
2 Staf pengajar di Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra Universitas Jember.
3 Dr. Harry Yuswadi, M.A. 2005. Melawan Demi Kesejahteraan, Perlawanan Petani Jeruk terhadap Kebijakan Pembangunan Pertanian. Jember: Penerbit Kompyawisda, hal.101.
4 Bahasa Jawa Dialek Jember biasanya digunakan oleh etnis Madura di kota dan pinggiran kota ketika mereka berkomunikasi dalam ranah sosial dengan etnis Jawa, tetapi ketika berkomunikasi dengan sesama etnis Madura mereka tetap menggunakan Bahasa Madura. Bahasa lisan yang mereka gunakan memang berbeda jauh dengan Bahasa Jawa standar. Pemilihan bahasa tersebut didasari beberapa faktor, antara lain (1) beridentifikasi dengan mitra wacana, dalam hal ini etnis Jawa dan (2) menyatakan sifat positif terhadap Bahasa Jawa. Berikut contoh bahasa yang digunakan dalam percakapan seharihari antara etnis Jawa (EJ) dan Madura (EM): (EJ) Kate nang endi, Mas? (EM) Gak onok, iki ku-mlaku.
Jawaban ‘Gak onok, iki ku-mlaku’ merupakan usaha menggunakan Bahasa Jawa yang dipengaruhi Bahasa Madura. Lebih jauh tentang hal ini lihat Bambang Wibisono dan Akhmad Sofyan. “Latar Belakang Psikologis Pemilihan Bahasa pada Masyarakat Multilingual (Studi Kasus Pemakaian Bahasa oleh Masyarakat Etnik Madura di Jember)” dalam Jurnal Ilmu-ilmu Humaniora, Vol.II/No.1 Januari 2001, Fakultas Sastra Universitas Jember.hal. 1-13.
5 Lebih jauh tentang hal ini lihat Kusnadi. “Masyarakat ‘Tapal Kuda’, Konstruksi Kebudayaan dan Kekerasan Politik”, dalam Jurnal Ilmu-ilmu Humaniora, Vol. II/No.2/2001, Fakultas Sastra Universitas Jember.hal.3-4.
6 Ibid.
7 Bahkan menurut Kusnadi, pada masa kolonial kebudayaan Jawa dan Madura di wilayah Tapal Kuda juga berinteraksi kebudayaan Eropa, India, Melayu, Bugis, Mandar, dan Bali. Ibid.
8 Parsudi Suparlan, “Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural”, makalah dalam Simposium Internasional Bali ke-3, Denpasar, 16-21 Juli 2002.
9 Muhaemin el-Ma'hady dalam artikelnya “Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural”, diakses dari http://artikel.us/muhaemin6-04.html.

Daftar Bacaan
Barker, Chris.2004. Cultural Studies, Teori dan Praktik. (terjemahan Indonesia oleh Nurhadi). Yogyakarta: Kreasi Wacana.
el-Ma’hady, Muhaemin. “Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural” dalam http://artikel.us/muhaemin6-04.html, diakses pada 15 Pebruari 2006, 11.30 WIB.
Kusnadi. “Masyarakat “Tapal Kuda”: Konstruksi Kebudayaan dan Kekerasan Politik”, dalam Jurnal Ilmu-ilmu Humaniora, Vol.II/No.2/Juli 2001.Fakultas Sastra Universitas Jember.
Prawiroatmodjo, S.1985. Bausastra Jawa—Indonesia I. Jakarta: Gunung Agung.
Suparlan, Parsudi. “Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural”, makalah dalam Simposium Internasional Bali ke-3, Denpasar, 16-21 Juli 2002.
Sutarto, Ayu. 2004 “Pendekatan Kebudayaan: Wacana Tandingan untuk Mendukung Pembangunan di Provinsi Jawa Timur”, dalam Ayu Sutarto dan Setya Yuwana (et.als).
Pendekatan Kebudayaan dalam Pembangunan Provinsi Jawa Timur. Jember: Kompyawisda.
Wibisono, Bambang dan Akhmad Sofyan. “Latar Belakang Psikologis Pemilihan Bahasa pada Masyarakat Multilingual (Studi Kasus Pemakaian Bahasa oleh Masyarakat Etnik Madura di Jember)”, dalam Jurnal Ilmu-ilmu Humanioara, Vol.II/No.1/Januari 2001, Fakultas Sastra Universitas Jember.
Yuswadi, Harry. 2005. Melawan Demi Kesejahteraan, Perlawanan Petani Jeruk terhadap Kebijakan Pembangunan Pertanian. Jember: Kompyawisda.



TRADISI NGOSEK PONJEN

TRADISI  NGOSEK PONJEN
(Refleksi ajaran Islam dan budaya lokal pada masyarakat Osing Banyuwangi)
A. Latar Belakang
Manusia hidup di berbagai belahan dunia membentuk bangsa-bangsa dengan berbagai bentuk postur, karakter, adat, budaya, tradisi dan pandangan hidupnya yang beranekaragam sesuai dengan karakteristik lingkungan alam dan geografis tempat hidup mereka. Proses adaptasi manusia dengan alam akan melahirkan budaya lokal dalam masyarakat.
Tradisi dan budaya lokal semacam ini dapat ditemui ketika masa awal tersebarnya Islam di pulau Jawa. Kontak kebudayaan antara para pendatang yang sering singgah di wilayah pesisir pada masa-masa awal Islam di Jawa menyebabkan adanya proses tarik menarik antara tradisi dan budaya lokal dengan budaya luar yang tak jarang menghasilkan dinamika budaya masyarakat setempat..[1]
Pertemuan ajaran Islam dan budaya lokal yang membentuk masyarakat adat muslim dapat dijumpai pada masyarakat suku Osing Banyuwangi yang teguh untuk melestarikan kebudayaan nenek moyangnya terutama pada hal-hal yang berhubungan dengan laku kehidupan sehari-hari.
Tradisi dan budaya suku Osing di Banyuwangi ini merupakan perwujudan atas pemahaman nilai-nilai spiritual keagamaan yang dimanifestasikan dalam bentuk-bentuk tatanan hidup dan sosial kemasyarakatan. Adat atau budaya  masyarakat seperti ini tidak dapat dilepaskan dengan pemahaman dan kepercayaan yang mereka anut.
Potret tradisi masyarakat Osing Banyuwangi yang mencerminkan keterkaitan antara budaya lokal dan pemahaman keagamaan salah satunya adalah  tradisi kosek ponjen yang diselenggarakan sebagai manifestasi pemahaman agamanya. Tradisi ini adalah tradisi komunal dan sebagian besar warga mengikutinya. Pada zaman dulu tradisi ini diselenggarakan pada pernikahan anak kemunjilan ( bungsu ). Tradisi ini dipimpin oleh  tokoh budayawan osing senior yang sekaligus bertindak sebagai pelaksana kosek ponjen atau dikenal dengan istilah perang bangkat  untuk pengantin bungsu.[2]
Menurut tetua adat Osing Banyuwangi, tradisi Kosek Ponjen atau Perang Bangkat sudah jauh dilakukan oleh nenek moyang suku Osing sebagai wujud rasa sayang mereka kepada anak kemunjilan (bungsu). Sedangkan mereka hanya bertanggung jawab mewarisi peradaban budaya dengan tetap melestarikannya. Masyarakat suku Osing Banyuwangi percaya bahwa tradisi ini diwariskan untuk kebaikan dan kebahagian pengantin khususnya dan masyarakat suku Osing Banyuwangi pada umumnya, karena tradisi ini mengandung ajaran-ajaran tentang kehidupan berumah tangga yang tersirat pada setiap pelaksanaan ritual dan sesajen-sesajennya.[3]
Bertolak dari latar belakang di atas, tradisi kebudayaan masyarakat ” Osing muslim ” Banyuwangi dengan Ngosek ponjennya menarik untuk diteliti. Sebab masyarakat suku Osing menggunakan tradisi ini sebagai media menciptakan keharmonisan rumah tangga melalui ritual-ritual dan sesajennya. Berdasarkan keingintahuan peneliti tersebut maka penelitian ini dikemas dengan judul: “ Tradisi  Ngosek Ponjen ( Refleksi Ajaran Islam Dan Budaya Lokal Pada Masyarakat Osing Banyuwangi )”.
B. Fokus dan Tujuan Penelitian
Secara lebih jelas, masalah penelitian ini diderivasi dalam pernyataan penelitian sebagai berikut:
1.      Tentang proses terjadinya integrasi antara ajaran Islam dan tradisi lokal yang ada pada tradisi ngosek ponjen.
2.      Tentang pelaksanaan ritual tradisi ngosek ponjen/perang bangkat.
3.      Tentang makna apa saja yang terkandung dalam simbol peras-peras ( sesajen-sesajen) pada ritual tradisi ngosek ponjen.

C. Kontribusi Penelitian

Adapun kegunaan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.      Penelitian ini memberi kontribusi bagi catatan sejarah peradaban masyarakat Banyuwangi dalam mengekspresikan ajaran agamanya. Catatan ini penting bagi pengembangan budaya masyarakat Banyuwangi di masa yang akan datang.
2.      Penelitian ini dapat memberikan sumbangan ilmu pengetahuan sosial, dengan beberapa pendekatan yang bersifat multi-dimensional, khususnya yang berkaitan dengan sosial-budaya dan keagaman.
3.      Penelitian ini dapat memberikan pemahaman analitis terhadap eksistensi dan fungsi tradisi-tradisi pernikahan bernuansa Islami yang di era modern ini masih dilaksanakan oleh komunitas masyarakat muslim di Kabupaten Banyuwangi dengan menggunakan istilah Ngosek Ponjen, dengan pemahaman semacam ini  tidak lagi terjadi kesalahpahaman antara pihak yang tidak mendukung dengan pihak yang mendukung tradisi ngosek ponjen ini.
4.      Lebih jauh lagi, melalui pengungkapan makna dan fungsi tradisi ngosek ponjen dalam konteks kehidupan bermasyarakat, diharapkan agar berbagai pihak akan memahami bahwa ada makna dan nilai-nilai tertentu di balik tradisi pernikahan ngosek ponjen ini, bukan hanya sekedar berhura-hura. Makna dan nilai-nilai itulah pada gilirannya akan menjadi anutan dan dilestarikan oleh generasi penerus. 
D. Telaah Pustaka

Kajian empirik tentang tradisi dalam ruang lingkup perkawinan telah banyak dilakukan oleh akademisi dengan ragam lokus dan prespektif, baik dari sisi antropologi budaya, antropologi hukum dan lain sebagainya. Seperti pada penelitian Muhammad Subhan yang meneliti tentang Petungan bulan untuk mantu yaitu pemilihan bulan untuk menentukan bulan tertentu untuk melangsungkan pernikahan.[4] Adapun hasil penelitian ini adalah bagi sebagian masyarakat Jawa yang mempunyai hajat perkawinan tidak hanya melakukan perkawinan begitu saja, tetapi ada proses yang sangat menarik yaitu proses pemilihan bulan yang diharapkan akan membawa keberuntungan dan keselamatan dari mara-bahaya, juga hidup kekal dan bahagia bersama pasangannya. Karena sebagian masyarakat percaya bahwa semua yang diawali dengan kebaikan, maka yang akan didapatkanpun baik. Pemilihan bulan yang disandarkan pada “petungan” sebenarnya tidak bertentangan dengan syari’at Islam karena sebagian sudah diatur dalam al-Qur’an dan Hadits.
Sejalan dengan penilitian yang dilakukan oleh Muhammad Subhan, Anis Dyah Rahayu juga meneliti tentang perkawinan dalam masyarakat Jawa. Penelitian tersebut membahas tentang rangkaian prosesi perkawinan adat Jawa mulai dari nontoni, meminang, peningset, serahan, pingitan, tarub, siraman, pingitan, resepsi, walimah, dan ngunduh pengantin.[5] Hasil penelitiannya menunjukkan, bahwa praktek/tata cara perkawinan adat Jawa ada yang sesuai dengan Islam dan ada yang tidak sesuai dengan Islam. Sedang yang dianggap sesuai adalah nontoni, meminang, melamar, upacara midodareni, Upacara ijab, dan upacara panggih. Sedangkan yang tidak sesuai dengan Islam adalah peningset, srahserahan/asuk tukon, upacara siraman pengantin, dan resepsi/walimah.
Selain itu, penelitian lain dilakukan oleh Siti Suaifa. Penelitian ini dilakukan karena ada sebuah tradisi yang menarik dalam merayakan pernikahan. Tradisi tersebut adalah tradisi Bubak Kawah dan Tumplek Punjen yang dipercaya oleh masyarakat di Desa Wonokerso Kec. Pakisaji Kabupaten Malang sebagai harapan agar mendapatkan keselamatan dan kebahagiaan dalam kehidupan rumah tangganya. Penelitian ini membahas tentang pelaksanaan dan pandangan hukum Islam terhadap tradisi Bubak Kawah dan Tumplek Punjen. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pelaksanaan dan pandangan hukum Islam terhadap tradisi tersebut.[6] Hasil penelitian saudara Siti Suaifa menunjukkan bahwa tradisi Bubak Kawah dan Tumplek Punjen terdapat unsur-unsur mistik yang menjadi tradisi pra Islam dan tidak sesuai dengan ajaran Islam, yaitu adanya sesaji dan di dalam ritual tersebut juga disertai dengan adanya keyakinan/kepercayaan dari sebagian warga masyarakat, bahwa hanya dengan mengadakan ritual Bubak Kawah dan Tumplek Punjen kehidupan rumah tangganya akan selamat sehingga dengan adanya unsur-unsur itulah tradisi Bubak Kawah dan Tumplek Punjen haram dilaksanakan.


BAB II                                                     
KERANGKA TEORITIK

                                                                          

A. Agama dan Masyarakat

Kajian penelitian ini menggunakan konsep agama sebagai suatu sistem budaya yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan lingkungannya dalam bentuk pranata-pranata agama. Menurut Zamakhsari Dhofier dan Abdurrahman Wahid bahwa agama tidak mengandung nilai-nilai di dalam dirinya, tetapi mengandung ajaran-ajaran yang menanamkan nilai-nilai sosial pada penganutnya, sehingga ajaran-ajaran agama tersebut merupakan salah satu elemen yang membentuk sistem nilai budaya[7].
Menurut Durkheim agama adalah sebuah sistem keyakinan yang dianut dan diwujudkan dalam tindaknan-tindakan keagamaan oleh suatu kelompok atau masyarakat dalam menginterpretasi dan memberi respon terhadap apa yang dirasakan dan diyakini sebagai sakral.[8]
Sedangkan Geertz mendefinisikan agama sebagai suatu sistem budaya. Kebudayaan didefinisikannya sebagai pola bagi kelakuan yang terdiri dari serangkaian aturan-aturan, resep-resep, rencana-rencana dan petunjuk-petunjuk yang digunakan manusia untuk mengatur tingkah lakunya. Kebudayaan dengan demikian juga dilihat sebagai pengorganisasian pengertian-pengertian yang tersimpul dalam simbol-simbol yang berkaitan dengan eksistensi manusia.[9]
1
 
Agama dan estetika merupakan cara pemahaman yang berbeda yang relevansi antara satu dengan lainnya tidak merupakan suatu keharusan. Agama bukan hal yang esensial bagi seni, demikian pula sebaliknya seni terhadap agama. Herbert Read dalam Art and Society menyatakan bahwa dorongan estetis itu inhern pada manusia, dan masalah hubungan seni dengan agama terletak dalam pertanyaan, seberapa jauh suatu agama mengembangkan atau menghambat dorongan itu[10]. Dalam hal ini Max Weber menyatakan bahwa perbedaan sikap terhadap seni bisa juga terjadi dalam suatu agama, terutama karena perbedaan kelas sosial, pembawa agama dan pengaruh struktural lainnya.[11]
B. Kebudayaan dan Masyarakat
Jika sistem nilai budaya sebagai suatu pedoman hidup bagi sebagian besar masyarakat, maka pandangan hidup lebih kepada individu atau golongan. Oleh karena itu, budaya adalah sebuah sistem yang mempunyai koherensi. Bentuk-bentuk simbolis yang berupa kata-kata, benda, laku, mite, sastra, lukisan, nyanyian, musik, kepercayaan mempunyai kaitan erat dengan konsep-konsep epistemologis dari sistem pengetahuan masyarakatnya. Sistem simbol dan epistemologis juga tidak bida terpisahkan dari sistem sosial yang berupa stratifikasi sosial, gaya hidup, sossialisasi, agama, mobilitas sosial, organisasi kenegaraan dan seluruh perilaku sosial.[12]
Tradisi Ngosek Ponjen sebagai suatu proses ritual, adalah bagian ritual yang dipandang sebagai kehendak untuk memperoleh pengharapan lebih baik di hari esok. Ngosek Ponjen dapat dikategorikan sebagai slametan. Menurut Gilfford Geertz, slametan terbagi dalam empat jenis; pertama, berkisar sekitar krisis-krisis kehidupan - kelahiran, khitanan, perkawinan dan kematian; kedua, berhubungan dengan hari raya Islam - Maulid Nabi, Idul Fitri, Idul Adha dan sebagainya; ketiga, berhubungan dengan integrasi sosial desa, misalnya bersih desa (pembersihan desa dar roh jahat); dan keempat slametan sela yang diselenggarakan dalam waktu yang tidak tetap, tergantung kepada kejadian luar biasa yang dialami seseorang - keberangkatan  untuk suatu perjalanan jauh, pindah tempat, ganti nama, sakit, tertekan tenung dan sebagainya.[13]
C.  Islam Menyapa Budaya Lokal

Saling sapa Islam dengan budaya lokal pertama dilakukan oleh para pedagang muslim yang datang ke Nusantara. Pedagang menyapa untuk mempromosikan dagangannya sekaligus menawarkan keyakinan keislamannya. Kekuatan ekonomi sebagai simbol kesejahteraan dan keimanan atau kepercayaan sebagai dasar kedamaian didialektikan secara bersamaan oleh para juru dakwah kepada masyarakat. Kesejahteraan dan kedamaian tersebut dimantapkan secara sosio-religius dengan ikatan perkawinan yang membuat tradisi Islam Timur Tengah menyatu dengan tradisi Nusantara atau Jawa. Akulturasi budaya ini tidak mungkin terelakkan setelah terbentuknya keluarga muslim yang merupakan nucleus komunitas muslim dan selanjutnya memainkan peranan yang sangat besar dalam penyebaran Islam. Akulturasi budaya ini semakin menemukan momentumnya saat para pedagang ini menyunting keluarga elit pemerintahan atau keluarga kerajaan yang berimplikasi pada pewarisan “kekuatan politik” di kemudian hari.[14]
D.  Perubahan Budaya: Dari Tradisi Lokal ke Tradisi Islam Lokal.
Istilah tradisi mengandung pengertian tentang adanya kaitan masa lalu dengan masa sekarang. Ia menunjuk kepada sesuatu yang masih ada hingga sekarang. Oleh karena itu, Shiels sebagaimana dikutip Pranowo secara ringkas menyatakan bahwa tradisi adalah sesuatu yang diwariskan atau ditransmisikan dari masa lalu ke masa kini. Jadi ketika berbicara tentang tradisi Islam berarti berbicara tentang serangkaian ajaran atau doktrin yang terus berlangsung dari masa lalu sampai masa sekarang, yang masih ada dan tetap berfungsi di dalam kehidupan masyarakat luas.
E. Pengertian Tradisi Dan Makna Simbolis
    1.  Pengertian Tradisi
Kata tradisi merupakan terjemahan dari kata turats yang berasal dari   bahasa
         Arab yang terdiri dari unsure huruf wa-ra-tsa. Kata ini berasal dari bentuk masdaryang mempunyai arti segala yang diwarisi manusia dari kedua orang tuanya, baikberupa harta maupun pangkat dari keningratan.[15]
E. Pengertian Tradisi Dan Makna Simbolis
    1.  Pengertian Tradisi
Kata tradisi merupakan terjemahan dari kata turats yang berasal dari   bahasa Arab yang terdiri dari unsure huruf wa-ra-tsa. Kata ini berasal dari bentuk masdaryang mempunyai arti segala yang diwarisi manusia dari kedua orang tuanya, baikberupa harta maupun pangkat dari keningratan.[16]
2.   Pengertian Simbol
Simbol adalah obyek, kejadian, bunyi bicara, atau bentuk benda tertulis yang diberi makna oleh manusia.[17] Kata simbol berasal dari kata Yunani Symbolos yang berarti tanda atau ciri yang memberitahukan sesuatu hal kepada seseorang. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia simbol diartikan sebagai (lambang) sesuatu seperti tanda, lukisan, perkataan, lencana dan sebagainya, yang menyatakan sesuatu hal atau mengandung maksud tertentu, misalnya warna putih ialah lambing kesucian, gambar padi sebagai lambang kemakmuran: atau berarti juga tanda pengenal permanen (tetap) yang menyatakan sifat, keadaan dan sebagainya. Misalnya tutup kepala peci merupakan tanda pengenal tutup kepala nasional Indonesia.[18]
3.   Makna Dan Tujuan Simbol
Makna dan tujuan simbol dalam perspektif kebudayaan adalah:[19]
a.  Dipakai sebagai tanda atau peringatan untuk memperingati suatu kejadian atau peristiwa tertentu, agar supaya segala kejadian atau peristiwa itu dapat diketahui atau diingat kembali oleh masyarakat segenerasinya.
    b.  Dipakai sebagai media atau perantara dalam religinya. Orang Jawa sangat memuja kepada Yang Maha Kuasa, dan juga sangat menghormati arwah moyangnya. Disamping itu mereka pun percaya bahwa Yang Maha Kuasa atau Tuhan, juga menciptakan dunia lain disamping dunia manusia yaitu alam halus di mana para makhluk halus berada.
    c. Dipakai sebagai media pembawa pesan atau nasehat. Sarana komunikasi yang ada masih sangat terbatas jangkauannya dan kurang tahan terhadap kerusakan yang disebabkan oleh cuaca alam, maka dipakailah material yang tahan lama seperti batu-batu, bahasa lisan, suara, cahaya dan warna, serta tindakan simbolis.


BAB III
Metode Penelitian

A. Paradigma dan Pendekatan
Paradigma adalah pandangan yang mendasar dari ilmuwan tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari oleh suatu cabang disiplin ilmu pengetahuan.[20] Paradigma dapat juga diartikan sebagai kerangka keyakinan yang mengandung komitmen intelektual yang diterima secara keseluruhan. Paradigma adalah kumpulan longgar dari sebuah asumsi yang dipegang bersama, konsep atau proporsi yang mengarahkan cara berfikir dan penelitian.[21] Dari pengertian paradigma di atas dapat diambil benang merah bahwa paradigma menjadi sebuah Frame of Mind penelitian. Di dalamnya memuat konsep dan map (peta) kajian secara menyeluruh.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan paradigma Antropologi. Antropologi adalah pemahaman ilmiah tentang tingkah laku sosial dan cultural manusia serta pemahaman ilmiah secara sistematik terhadap distribusi. Antropologi ini melakukan strartnya sebagai ilmu tentang evolusi manusia, masyarakatnya serta kebudayaannya dan kemudian ilmu tentang sejarah perubahan kebudayaan -kebudayaan manusia di muka bumi.[22] Suatu segi ilmu antropologi yang menonjol ialah pendekatan secara menyeluruh yang dilakukan terhadap manusia. Karakteristik antropologi hukum memang terletak pada sifat pengamatan, penyelidikan, serta pemahamannya secara menyeluruh terhadap kehidupan manusia. Antropologi dapat digunakan untuk memahami tradisi dan mata rantai intelektual yang tumbuh dan berkembang dalam lingkaran kebudayaan atau peradaban.
Sedangkan model pendekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan Etnografi. Penelitian etnografi adalah penelitian untuk mendeskripsikan kebudayaan sebagaimana adanya. Model ini berupaya mempelajari peristiwa kultural, yang menyajikan pandangan-pandangan hidup subyek berpikir, hidup, dan berperilaku. Kegiatan pengumpulan bahan keterangan atau data yang dilakukan secara sistematik mengenai cara hidup serta berbagai aktivitas sosial dan berbagai benda kebudayaan dari suatu masyarakat.
Pendekatan etnografi secara sederhana didefinisikan oleh spradley[23] sebagai usaha mendeskripsikan kebudayaan suatu komunitas atau kelompok masyarakat. Tujuannya adalah untuk memahami kebudayaan tersebut menurut perspektif mereka. Sedangkan Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian lapangan (field research).
B. Data dan Sumber data
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif maka sumber data utamanya adalah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah tambahan seperti dokumen dan lainnya. [24]
Sementara itu, data yang diperlukan dalam penelitian meliputi antara lain:      (1) persepsi komunitas masyarakat tradisi ngosek ponjen, (2 ) prosesi pelaksanaan tradisi ngosek ponjen (3) makna simbul dan bentuk ritus-ritus kegamaan serta keterkaitannya dengan peristiwa hidup semisal kehamilan, kelahiran, menjadi dewasa, kawin, beranak, mati dan kegiatan keagamaan serta peristiwa lain dalam kehidupan seperti menanam, memanen, menebang, dan bencana alam.
Data-data tersebut diperoleh dari informan penelitian. Penentuan tentang informan penelitian dilakukan dengan teknik purposive sampling, yang dipilih berdasarkan key informan dan terus mengalir (snow balling) hingga membentuk informasi yang utuh sesuai dengan fokus penelitian.
C. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi berperan serta (participan observation), wawancara mendalam (in depth interiview) dan dokumentasi (document review). [25] Teknik tersebut digunakan peneliti, karena fenomena akan dapat dimengerti maknanya secara baik, apabila peneliti melakukan interaksi dengan subyek penelitian dimana fenomena tersebut berlangsung.
Teknik wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam, artinya peneliti mengajukan beberapa pertanyaan secara mendalam untuk menggali informasi selengkap mungkin tentang konsep yang Mutlak. Sehingga dengan wawancara mendalam ini data-data bisa terkumpulkan semaksimal mungkin. Orang-orang yang dijadikan informan dalam penelitian ini adalah kepala desa, tokoh lokal, dan komunitas masyarakat Osing yang diambil secara purposive.
Ada beberapa alasan mengapa teknik observasi atau pengamatan digunakan dalam penelitian ini. Pertama, pengamatan didasarkan atas pengalaman secara langsung pelaksanaan ritus-ritus keagamaan yang biasa terjadi dalam komunitas masyarakat Osing. Kedua, pengamatan memungkinkan peneliti untuk melihat dan mengamati sendiri, kemudian mencatat perilaku dan kejadian sebagaimana yang terjadi pada keadaan sebenarnya. Dengan teknik ini, peneliti mengamati aktifitas-aktifitas sehari-hari obyek penelitian, karakteristik fisik situasi sosial dan perasaan pada waktu menjadi bagian dari situasi tersebut. Selama peneliti di lapangan, jenis observasinya tidak tetap. Dalam hal ini peneliti mulai dari observasi  deskriptif (descriptive observations) secara luas, yaitu berusaha melukiskan  secara umum situasi sosial dan apa yang terjadi disana. Kemudian, setelah perekaman dan analisis data pertama, peneliti menyempitkan pengumpulan datanya dan mulai melakukan observasi terfokus (focused observations). Dan akhirnya, setelah dilakukan lebih banyak lagi analisis dan observasi yang berulang-ulang di lapangan, peneliti dapat menyempitkan lagi penelitiannya dengan melakukan observasi selektif (selective observations). Sekalipun demikian, peneliti masih terus melakukan observasi deskriptif sampai akhir pengumpulan data.
Teknik dokumentasi ini digunakan untuk mengumpulkan data dari sumber non insani, sumber ini terdiri dari dokumen dan rekaman. “Rekaman” sebagai setiap tulisan  atau pernyataan yang dipersiapkan oleh atau untuk individual atau organisasi dengan tujuan membuktikan adanya suatu peristiwa terutama yang berkaitan dengan tradisi ngosek ponjen. Sedangkan “dokumen” digunakan untuk mengacu atau bukan selain rekaman, yaitu tidak dipersiapkan secara khusus untuk tujuan tertentu, seperti surat-surat, buku harian,  catatan khusus, foto-foto, dan sebagainya.[26] Teknik dokumentasi ini sengaja digunakan dalam penelitian ini sebab; pertama, sumber ini selalu tersedia dan murah terutama ditinjau dari konsumsi waktu; kedua, rekaman dan dokumen merupakan sumber informasi yang stabil, baik keakuratannya dalam merefleksikan situasi yang terjadi dimasa lampau, maupun dapat dan dianalisis kembali tanpa mengalami perubahan; ketiga, rekaman dan dokumen merupakan sumber informasi yang kaya, secara konstektual relevan dan mendasar dalam konteknya; keempat, sumber ini sering merupakan pernyataan yang legal yang dapat memenuhi akuntabilitas. Hasil pengumpulan data melalui cara dokumentasi ini, dicatat dalam format rekaman dokumentasi.
D. Methode Pengolahan dan Analisis Data
Dalam rangka mempermudah dalam memahami data yang diperoleh dan agar data terstruktur secara baik, rapi dan sistematis, maka pengolahan data dengan beberapa tahapan menjadi sangat urgen dan signifikan. Adapun tahapan-tahapan pengolahan data adalah:
a. Editing
Proses editing adalah meneliti kembali catatan peneliti untuk mengetahui apakah catatan tersebut sudah cukup baik dan dapat segera dipersiapkan untuk keperluan proses selanjutnya.[27] Dalam proses ini, peneliti juga akan mencermati bahan-bahan yang telah dikumpulkan dengan membuang hal-hal yang tidak berhubungan dengan penelitian.

b. Clasifying
Mereduksi data yang ada dengan cara menyusun dan mengklasifikasikan data yang diperoleh ke dalam pola tertentu atau permasalahan tertentu untuk mempermudah pembacaan dan pembahasan sesuai dengan kebutuhan penelitian.
c. Verifying
Proses verifying adalah memeriksa kembali (menelaah secara mendalam) data dan informasi yang diperoleh dari lapangan agar validitasnya bisa terjamin. Dalam proses ini, peneliti akan melakukan cross check terhadap data yang telah dikumpulkan apabila diperlukan
d. Analyzing
Proses analyzing akan dilakukan dengan menggunakan teori-teori yang telah dipaparkan sebelumnya diantaranya menggunakan teori tentang makna simbol-simbol dalam tradisi Perang Bangkat serta menggunakan teori antropologi tentang Simbol sebagai pendekatan terhadap jiwa tradisi tersebut. Dengan proses ini, peneliti akan menganalisa dan menyajikan data-data yang diperoleh dari lapangan baik dari observasi maupun wawancara dalam bentuk diskriptif kualitatif yakni metode penelitian yang menghasilkan data diskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.
e. Concluding
Proses concluding adalah pengambilan kesimpulan dari data-data yang telah diolah untuk mendapatkan jawaban.[28] Dalam proses ini peneliti akan menyimpulkan hasil temuan-temuan dari lapangan untuk menjawab permasalahan dalam rumusan
masalah.Uji kredibilitas data atau kepercayaan terhadap data hasil penelitian ini dilakukan dengan keikutsertaan peneliti, ketekunan pengamatan, triangulasi dan  kecukupan referensial.[29]
BAB IV
LAPORAN HASIL PENELITIAN
A.    Tradisi Ngosek Ponjen/Perang Bangkat, Sejarah, Pengertian dan Pandangan masyarakat Banyuwangi
1. Tradisi Ngosek Ponjen/Perang Bangkat pada Zaman Blambangan
Tradisi ngosek ponjen/perang bangkat sudah ada sejak zaman Blambangan, akan tetapi mempunyai perbedaan dari segi kemasan, filosofinya dan prosesinya. Dari penelusuran para budayawan Banyuwangi, Tradisi ngosek ponjen/perang bangkat di zaman Blambangan adalah upacara adat perkawinan bagi kemunjilan (anak bungsu) yang menikah dengan sesama kemunjilan atau selainnya. Sedangkan peras (sesaji) yang disediakan adalah alat pertanian yang serba kecil (peras pikul), alat-alat dapur (peras suwun), padi seikat, ketan seikat, jiwawut seikat, bunga jambe satu tongkol, daun berbunga merah, daun berbunga kuning, bermacam-macam kerupuk, tiga jenis air; air laut, air gowok (air yang berasal dari hujan yang menggenang pada lobang kayu), ayam dan telur, satu kantong besar rempah-rempah, sebuah benda peninggalan dalam satu kotak berukurantinggi 25 cm, lebar 15 cm, dan panjang 25 cm, terbungkus kain rapi dan dijahit yang tidak boleh dibuka siapapun, kupat, uang logam hasil pungutan dari sanak saudara, dan kain putih (lawon). Sedangkan upacara tradisi perang bangkat, pertama, saat surub mempelai pria diarak ke rumah mempelai perempuan bersama dengan para ahli waris dan pawing adat. Setelah di depan pintu rumah mempelai perempuan, kain lawon di pasang membentang di depan mempelai pria dan perempuan, kemudian para pawang mulai bersajak bersahut-sahutan sampai ada salah satu dari pawang kalah (tidak mampu menjawab), maka dengan kekalahan itu para mempelai diijinkan untuk bersatu dan kemudian uang hasil pungutan di tuangkan dimuka mempelai berdua sambil di kelilingi sanak saudara kemudian uang dikosek.[30] Tradisi pengantin kemunjilan di zaman kerajaan Blambangan berkuasa, tradisi ini tidak menandakan adanya kesamaan tujuan dengan ajaran Islam. Tradisi ini berkisar pada ritual mistik dan kesenian saja, hal ini terlihat dari sesajen yang disiapkan dan prosesinya yang bernuansa Hindhu-Budha. Sehingga dapat diasumsikan bahwa tradisi perang bangkat merupakan hasil dari integrasian ajaran Islam ke budaya lokal. Hal ini dilihat dari performance prosesi pelaksanaan tradisi perang bangkat yang dipandu dan dipedomani oleh Islam dalam coraknya yang mengambil ajaran Islam sebagai kerangka seleksi terhadap budaya lokal, seperti prosesi arak-arakan berubah tujuan sebagai sarana penyiaran perkawinan, setiap akan memulai prosesi selalu bershalawat kepada Nabi Muhammad, meminta berkah kepada Allah SWT bukan kepada roh-roh leluhur dan pembacaan sesajen sebagai sarana menasehati pasangan.[31]
2. Pengertian Tradisi Perang Bangkat dan Ngosek Ponjen
Pengertian tradisi perang bangkat adalah upacara adat perkawinan bagi kemunjilan yang menikah dengan sesama kemunjilan atau salah satu dari mereka kemunjilan dengan harapan kehidupan rumah tangganya bahagia. Sedangkan secara bahasa perang adalah melawan sedang bangkat berasal blangkep yakni bersama-sama. Sehingga Jika kosa kata perang bangkat digabungkan didapatkan makna yakni melawan bersama-sama. Secara analitis penggunaan kosa kata perang bangkat pada penyebutan tradisi ini, dikarenakan dalam prosesi tersebut terdapat prosesi perangperangan antara pengantin pria dan pengantin perempuan sebagai wujud perang terhadap sifat psikis anak kemunjilan (bungsu) yakni manja serta kekanak-kanakan. Dengan prosesi perang-perangan, terkandung harapan orang tua agar anak kemunjilan mereka mampu melawan sifat-sifat manja dalam diri mereka.
Masyarakat suku Osing Banyuwangi mempunyai dua sebutan untuk tradisi ini, yakni tradisi perang bangkat dan ngosek ponjen. Namun keduanya mempunyai persamaan. Ngosek Ponjen adalah prosesi seremoni mengantarkan anak kemunjilan ke dalam kehidupan berumah tangga dengan kegiatan yakni ngosek ponjen (mengusap sari ) sari dalam bahasa Osing adalah uang) di dalam tampah yang dilakukan oleh seluruh ahli waris anak kemunjilan.
B.     Tradisi Ngosek Ponjen/Perang Bangkat, Sejarah, Pengertian dan Pandangan masyarakat Banyuwangi
1. Tradisi Ngosek Ponjen/Perang Bangkat pada Zaman Blambangan
Tradisi ngosek ponjen/perang bangkat sudah ada sejak zaman Blambangan, akan tetapi mempunyai perbedaan dari segi kemasan, filosofinya dan prosesinya. Dari penelusuran para budayawan Banyuwangi, Tradisi ngosek ponjen/perang bangkat di zaman Blambangan adalah upacara adat perkawinan bagi kemunjilan (anak bungsu) yang menikah dengan sesama kemunjilan atau selainnya. Sedangkan peras (sesaji) yang disediakan adalah alat pertanian yang serba kecil (peras pikul), alat-alat dapur (peras suwun), padi seikat, ketan seikat, jiwawut seikat, bunga jambe satu tongkol, daun berbunga merah, daun berbunga kuning, bermacam-macam kerupuk, tiga jenis air; air laut, air gowok (air yang berasal dari hujan yang menggenang pada lobang kayu), ayam dan telur, satu kantong besar rempah-rempah, sebuah benda peninggalan dalam satu kotak berukurantinggi 25 cm, lebar 15 cm, dan panjang 25 cm, terbungkus kain rapi dan dijahit yang tidak boleh dibuka siapapun, kupat, uang logam hasil pungutan dari sanak saudara, dan kain putih (lawon). Sedangkan upacara tradisi perang bangkat, pertama, saat surub mempelai pria diarak ke rumah mempelai perempuan bersama dengan para ahli waris dan pawing adat. Setelah di depan pintu rumah mempelai perempuan, kain lawon di pasang membentang di depan mempelai pria dan perempuan, kemudian para pawang mulai bersajak bersahut-sahutan sampai ada salah satu dari pawang kalah (tidak mampu menjawab), maka dengan kekalahan itu para mempelai diijinkan untuk bersatu dan kemudian uang hasil pungutan di tuangkan dimuka mempelai berdua sambil di kelilingi sanak saudara kemudian uang dikosek.[32] Tradisi pengantin kemunjilan di zaman kerajaan Blambangan berkuasa, tradisi ini tidak menandakan adanya kesamaan tujuan dengan ajaran Islam. Tradisi ini berkisar pada ritual mistik dan kesenian saja, hal ini terlihat dari sesajen yang disiapkan dan prosesinya yang bernuansa Hindhu-Budha. Sehingga dapat diasumsikan bahwa tradisi perang bangkat merupakan hasil dari integrasian ajaran Islam ke budaya lokal. Hal ini dilihat dari performance prosesi pelaksanaan tradisi perang bangkat yang dipandu dan dipedomani oleh Islam dalam coraknya yang mengambil ajaran Islam sebagai kerangka seleksi terhadap budaya lokal, seperti prosesi arak-arakan berubah tujuan sebagai sarana penyiaran perkawinan, setiap akan memulai prosesi selalu bershalawat kepada Nabi Muhammad, meminta berkah kepada Allah SWT bukan kepada roh-roh leluhur dan pembacaan sesajen sebagai sarana menasehati pasangan.[33]
2. Pengertian Tradisi Perang Bangkat dan Ngosek Ponjen
Pengertian tradisi perang bangkat adalah upacara adat perkawinan bagi kemunjilan yang menikah dengan sesama kemunjilan atau salah satu dari mereka kemunjilan dengan harapan kehidupan rumah tangganya bahagia. Sedangkan secara bahasa perang adalah melawan sedang bangkat berasal blangkep yakni bersama-sama. Sehingga Jika kosa kata perang bangkat digabungkan didapatkan makna yakni melawan bersama-sama. Secara analitis penggunaan kosa kata perang bangkat pada penyebutan tradisi ini, dikarenakan dalam prosesi tersebut terdapat prosesi perangperangan antara pengantin pria dan pengantin perempuan sebagai wujud perang terhadap sifat psikis anak kemunjilan (bungsu) yakni manja serta kekanak-kanakan. Dengan prosesi perang-perangan, terkandung harapan orang tua agar anak kemunjilan mereka mampu melawan sifat-sifat manja dalam diri mereka.
Masyarakat suku Osing Banyuwangi mempunyai dua sebutan untuk tradisi ini, yakni tradisi perang bangkat dan ngosek ponjen. Namun keduanya mempunyai persamaan. Ngosek Ponjen adalah prosesi seremoni mengantarkan anak kemunjilan ke dalam kehidupan berumah tangga dengan kegiatan yakni ngosek ponjen (mengusap sari ) sari dalam bahasa Osing adalah uang) di dalam tampah yang dilakukan oleh seluruh ahli waris anak kemunjilan.
3. Latar Belakang di selenggarakan Tradisi Perang Bangkat
Keajegan tradisi perang bangkat di Banyuwangi tidak terlepas dari latar belakang sejarah nenek moyang, sejarah tradisi ini mengandung ajaran filosofi para leluhur yang dikemas ke dalam sebuah upacara yang sarat akan simbol-simbol yang penuh makna atau ajaran kehidupan berumah tangga. Dari sejarah inilah masyarakat suku Osing mengetahui pentingnya tradisi ini bagi kebahagiaan kehidupan rumah tangga anak kemunjilan.
Menurut bapak Pak Slamet selaku tetua adat di desa Kemiren Banyuwangi, Sejarah tradisi perang bangkat ini bermula dari beberapa alasan:
1) Kegelisahan orang tua zaman dahulu saat akan melepaskan anak kemunjilan mereka untuk mengarungi kehidupan berumah tangga. Hal ini disebabkan, anak kemunjilan identik dengan anak manja serta kekanak-kanakan, sehingga ditakutkan tidak akan mampu mengarungi kehidupan berumah tangga yang dibutuhkan sikap dan sifat kedewasaan.
2)  Adanya perbedaan umur yang jauh antara saudara yang satu dengan yag lain akibat kebiasaan nenek moyang mempunyai banyak anak. Sehingga ketika saudara-saudaranya menikah, dengan sendirinya mereka mengurus keluarganya sendiri-sendiri sehingga anak kemunjilan merasa kemunjilan (sendiri/terkucil) tidak ada lagi saudara-saudara yang memperhatikan.
3)  Anak kemunjilan selalu mendapat harta sisa-sisa karena semua harta telah diberikan kepada kakak-kakanya secara herarki. Hal ini mengakibatkan anak kemunjilan mendapatkan harta lebih sedikit serta tidak berharga, sehingga anak kemunjilan menjadi kerantan-rantan.[34]
Dengan berbagai alasan di atas, maka para leluhur masyarakat Banyuwangi mengadakan ritual perang bangkat atau ngosek ponjen yang dalam setiap pelaksanaannya mengandung makna filosofi yakni sebagai sarana pemberian wejangan (nasehat) dalam mencapai kebahagian rumah tangga serta bentuk perhatian saudara-saudara kepada saudara kemunjilan dalam hal materi dan psikologis (wejangan dengan bentuk simbol-simbol sedang ngosek Ponjen adalah bentuk perhatian keluarga.
4.  Pandangan Masyarakat suku Osing Banyuwangi Terhadap Tradisi Ngosek Ponjen atau Perang Bangkat
Tradisi perang bangkat merupakan salah satu adat istiadat yang masih dilestarikan oleh masyarakat suku Osing Kemiren, bagi mereka tradisi tersebut mempunyai nilai-nilai luhur dalam setiap prosesi yang dijalankan. Secara umum masyarakat suku Osing banyuwangi sepakat untuk melestarikan, tanpa ada perbedaan pandangan atau keterpaksaan. Menurut mereka, tradisi perang bangkat adalah adat istiadat yang harus tetap dilestarikan dan dijaga sebagai eksistensi nenek moyang.
Hal ini seperti dituturkan oleh bapak Pak Slametselaku tetua adat desa Kemiren merangkap sebagai modin didesa tersebut.
Anane pelaksanaan Ponjenan ikau dimulai reng zamane nenek moyang bengen, teko nenek moyang sampe’ diuri-uri sampe’ saikai kerono ninggalaken seng wanai ono sangsine ikau engko’ ya kediagau, biyen ono’ uwong ceritane mbah-mbah biyen seng ngosek Ponjen ikau ono sangsine moro-moro loro seng marai – marai sampe’ rambute gundul terus takon neng sesepuh deso jare wong tuek kemiren di itung-itung ikai ditageh Ponjen tapi mergo lalai mergo mokhal kedigau serto disaur mari ikau mbengen kadung saiki wajib dilasaknano gawe lestarikno adat.
Arti dalam bahasa Indonesia adalah :
Adanya pelaksanaan Ponjenan (tradisi perang bangkat) dimulai dari zaman nenek moyang dulu, dari nenek moyang sampai sampai karena meninggalkan tidak berani ada sangsinya, dahulu ada orang ceritanya mbah-mbah dulu yang tidak melaksanakan ngosek Ponjen tiba-tiba sakit tidak selesai-selesai sampai rambutnya botak selanjutnya bertanya ke sesepuh desa katanya orang tua kemiren di hitung-hitung ini diminta Ponjen tapi karena lupa tapi setelah dilakukan sembuh. Itu tadi dahulu sekarang itu wajib dilaksanakan untuk melestarikan adat.
C.    Pelaksanaan Tradisi Ngosek Ponjen / Perang Bangkat
a.      Prosesi Tradisi Perang Bangkat
Pada dasarnya ritual pelaksanaan tradisi perkawinan di Banyuwangi diawali dengan akad nikah sebagai pertanda syahnya perkawinan. Bagi masyarakat suku Osing Banyuwangi, kewajiban sebagai masyarakat beragama lebih diutamakan, sedang adat perkawinan dilaksanakan sesudah kewajiban pada agama dipenuhi. Hal ini seperti dinyatakan oleh bapak Pak Slamet selaku tetua adat di desa Kemiren- Banyuwangi:
Kadung ngelaksanakno adat kawin ikau kudu nikah solong, nikah ikau kewajiban nang agamo’, Adat ikau nomor loro’ nikah solong.kadung nang kemiren ikau agamo karo adat mlaku bareng.[35]
Menurut beliau perkawinan adalah kewajiban kepada agama, sedangkan adat perkawinan adalah kewajiban kepada leluhur. Dalam melaksanaan adat perkawinan, masyarakat harus mendahulukan kewajiban kepada agama yakni menikah sesuai dengan syarat syah dan rukun pernikahan. Sedangkan kedudukan agama dan adapt istiadat tidak bisa dilepaskan secara terpisah akan tetapi mempunyai siklus keteraturan yang telah disepakati bersama.
Seperti dalam tradisi Jawa pada umumnya, tradisi pemilihan hari juga dikenal dalam adat istiadat masyarakat suku Osing Banyuwangi tapi tidak menggunakan nogo dino seperti kebanyakan orang Jawa. Hari baik bagi mereka adalah selain hari naas, hari naas tersebut yakni hari kematian kedua orang tua atau kerabat dekat. Pentingnya pemilihan hari didasarkan bahwa, perkawinan adalah hari bahagia yang harus dilaksanakan pada hari-hari bahagia pula. Waktu pelaksanaan akad nikah adalah penentuan yang telah disepakati oleh tetua adat dan orang tua calon mempelai berdua, begitupun dengan waktu surub70 Ritual pelaksanaan tradisi perang bangkat ini, didapatkan peneliti dari hasil observasi secara langsung dengan mengikuti jalannya upacara ritual pelaksanaan tradisi perang bangkat di Kelurahan Panderejo dan Singonegaran Kecamatan Banyuwangi Kota  pada tanggal 4 September 2004 dan 2 Maret 2011 di rumah bapak Mansur dan Bapak Saelan, ketika mengadakan ritual tradisi perang bangkat
untuk anak kemunjilannya. Namun dalam memaparkan data tentang pelaksanaan tradisi perang bangkat ini, penulis tidak hanya mengandalkan metode observasi saja, tetapi menggunakan metode wawancara dengan tujuan jika ada sesuatu yang kurang jelas bagi penulis bisa ditanyakan melalui proses tanya jawab.
D.    Makna Simbol Dalam Tradisi Ngosek Ponjen / Perang Bangkat
Disini akan diuraikan arti dan maksud peras yang digunakan dalam ritual tradisi perang bangkat yang peneliti dapatkan dari hasil wawancara dengan Pak Slamet tetua adat desa Kemiren yang biasa memimpin upacara ritual tradisi perang bangkat:[36]
a.  Dua peras pikul, yang berisi alat-alat pertanian yang dibuat serba kecil seperti singkal, garu (teter), arit, pacul, pengutik (mutik), dan dua ikat kayu bakar. Pikul berasal dari kata kerja memikul, sedang alat-alat pertanian adalah benda yang digunakan para petani untuk menggarap sawah. Maksudnya bahwa, di dalam kehidupan berumah tangga seorang suami mempunyai kewajiban memikul tanggung jawab memenuhi nafkah keluarga.
b.  Peras Suwun, yang berisi alat-alat dapur yang dibuat semua serba kecil, seperti; dandang, kukusan, wajan, sutil, erus, cuwek (layah), cantuk (uleg-uleg), ereg, welasah, palungan, lompang (bebekan dan lompang) beserta anak-anaknya. Suwun dalam bahasa Osing berarti meminta dan menopang, sedangkan alat-alat dapur adalah benda yang digunakan untuk memasak. Maksudnya bahwa, seorang istri mempunyai hak untuk meminta nafkah dari suami, yang nantinya dipakai untuk menopang kebutuhan rumah tangga.
c. Dua bantal dan kloso, Mempunyai arti simbolis yakni hendaknya hidup berumah tangga mempunyai papan atau rumah untuk berteduh agar keluarga terlindungi.
d. Ayam yang sedang mengeram lengkap dengan telur dan petarangannya, mempunyai makna simbolis bahwa tujuan perkawinan adalah untuk mendapatkan keturunan shaleh dan shalihah. Jadi diharapkan agar kedua pengantin segera mendapatkan keturunan yang shaleh dan shalehah seperti tujuan perkawinan.
e.  Kendi, makne iso ngundi-ngundi, maksudnya bahwa, , suami istri diharapkan bisa menghemat pembelajaan dalam rumah tangga.
f.  Ramesan, berisi nasi lengkap dengan lauk pauk dan jajanan pasar, mempunyai maksud agar rumah tangganya dapat memenuhi pangan demi terwujudnya rumah tangga sejahtera.
g.  Rokok, rokok dalam bahasa Osing adalah udud, ududo mene anget, nyebuto meno inget, artinya dalam menjalani hidup manusia harus selalu berdzikir mengingat Allah SWT sehingga terciptalah rumah tangga yang berjiwa spiritual yang diberkahi Allah SWT
h. Banyu arum, mene rum-ruman, dalam bahasa Osing Rum-ruman adalah sayang-sayangan atau kasih mengasihi, sayang menyayangi. Artinya dalam berumah tangga pasangan pengantin harus tetap menjaga suasana rumah tangga yang saling kasih mengasihi dan sayang menyayangi sehingga rumah tangga tetap tentram.
i.  Watu, watu dalam bahasa Indonesia adalah batu, simbol tersebut bermakna bahwa pasangan suami istri harus teguh dalam memegang segala prinsip dalam berumah tangga.
j.  Sapu, sapu adalah simbol dari kebersamaan, mempunyai makna simbolis bahwa dalam mengarungi kehidupan berumah tangga pasangan pengantin harus bersama-sama menjadi satu kesatuan tim sehingga menjadi tim yang solid sehingga mampu menjaga ketahanan keluarga.
                                                            BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

Dari pembahasan penelitian ini diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1.      Tentang proses terjadinya integrasi antara ajaran Islam dan tradisi lokal yang ada pada tradisi ngosek ponjen.
Tradisi ngosek ponjen atau perang bangkat di Banyuwangi tidak terlepas dari latar belakang sejarah nenek moyang, sejarah tradisi ini mengandung ajaran filosofi para leluhur yang dikemas ke dalam sebuah upacara yang sarat akan simbol-simbol yang penuh makna atau ajaran kehidupan berumah tangga. Dari sejarah inilah masyarakat suku Osing mengetahui pentingnya tradisi ini bagi kebahagiaan kehidupan rumah tangga anak kemunjilan.
  1. Tentang pelaksanaan ritual tradisi ngosek ponjen atau perang bangkat.
 Pada dasarnya ritual pelaksanaan tradisi perkawinan di Banyuwangi diawali dengan akad nikah sebagai pertanda syahnya perkawinan. Bagi masyarakat suku Osing Banyuwangi, kewajiban sebagai masyarakat beragama lebih diutamakan, sedang adat perkawinan dilaksanakan sesudah kewajiban pada agama dipenuhi.
Pelaksanaan prosesi tradisi ngosek ponjen atau perang bangkat ini sangat sederhana, setelah hari surub ditentukan, para kedua anggota keluarga pengantin musyawarah untuk menentukan tempat pelaksanaan ritual tradisi perang bangkat dilaksanakan dan dimana kedua pengantin dipaes (dirias). Hal ini disebabkan, sebelum prosesi perang bangkat dilaksanakan, kedua pengantin akan diarak dari tempat paes ke tempat ritual tradisi tersebut dilaksanakan.
3.      Tentang makna apa saja yang terkandung dalam simbol peras-peras  ( sesajen-sesajen) pada ritual tradisi ngosek ponjen.
Di dalam melaksanakan prosesi ngosek ponjen atau  perang bangkat, masyarakat suku Osing Banyuwangi harus menyediakan bermacam-macam perlengkapan yang diistilahkan oleh mereka dengan peras ( sesajen ). Peras ini secara simbolis masing-masing mempunyai makna dan tujuan tertentu yang berupa nasehat-nasehat dari nenek moyang yang tersirat dalam setiap simbol-simbol tersebut. Masyarakat suku Osing menengarai adanya sebuah implikasi simbol-simbol dalam tradisi tersebut dengan keharmonisan dalam rumah tangga mereka, karena di dalam simbol-simbol tersebut terdapat sebuah ajaran dalam mengarungi kehidupan berumah tangga.
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Moeslim.. Islam sebagai Kritik Sosial. Jakarta: Penerbit Erlangga. 2003
Andang Subaharianto dkk, Tantangan Industrialisasi Banyuwangi, Malang; Bayumedia Publishing, 2004
Bryan S. Turner, Religion and Sosial, (London; SAGE Publication, 1991),
Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi, dalam Masyarakat Jawa (Jakarta: Pustka Jaya, 1981
Herbert Read, Art and Sociaty, (New York; Shocken Books, 1970) bab 3 dalam Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat, (Yogya; Tiara Wacana Yogya, 1987
James P. Spradley, Participant Observation (New York Chicago San Francisco Dallas Montreal Toronto London Sydney, 1980
Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Bina Aksara, 2002)
Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat, (Yogyakarta; Tiara Wacana Yogya, 1987
Lofland, Analyzing Social Setting: A Guide to Qualitative Observation and Analysis, (Belmont, Cal: Wadsworth Publishing Company, 1984.
Matthew B. Miles & AS. Michael Huberman, Analisis Data Kualitatif, terj. Tjetjep Rohendi Rohidi (Jakarta: UI Press, 1992
Max Weber, The Protestan Ethic and Spirit of Capitalism, diterjemahkan oleh Yusuf Risasudirja, Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme, (Jakarta; Pustaka Promethe, 2001
Max Weber, The Sosiology of Religion, (Boston; Beacon Press, 1964) dalam Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat, (Yogya; Tiara Wacana Yogya, 1987
Moeloeng, Lexy. J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosdakarya. 2005.
Muhaimin AG. Islam dalam Bingkai Budaya Lokal Potret dari Cirebon, Jakarta: Logos, 2001
Nana Sudjana dan Ahwal Kusuma, Proposal Penelitian di Perguruan Tinggi (Bandung: Sinar Baru Algasindo, 2001)
Nur Syam, Islam Pesisir , Yogyakarta: LkiS, 2005
Roberts Keith, Religion in Sociologocal Perspective, Homewood, 1994
Roland Robertson, Sociology of Religion, terj, A. Fedyani Saefudin, Jakarta; Rajawali Pers, 1992
Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996), Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996)
Sayid Sabiq, “ Fiqihus- Sunnah “, diterjemahkan oleh Mohammad Thalib, Jilid, 7 (Cet.1; Bandung: PT Al-Maarif, 1981)
Simuh. ”Interaksi Islam dalam Budaya Jawa” dalam Muhammadiyah dalam Kritik. Surakarta: Muhammaddiyah University Press. 2002.
Spradley, J.P., The Etnographic Interview, Holt, Reinhard and Wilston, N.Y., 1979
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan RD,   Bandung: Al-Fabeta, 2005
Suwardi Endraswara, Metode, Teori, Teknik Penelitian Kebudayaan: Ideologi, Epistimologi, dan Aplikasi(Yogyakarta: Pustaka Widyatama, 2006)
Tomagola, Anatomi Konflik Komunal di Indonesia, dalam Soleh Isrie Konflik Etno Religius Indonesia Kontemporer, Jakarta: Badan Litbang Agama, 2003
Zamakhsari Dhofier dan Abdurrahman Wahid, Penafsiran kembali Ajaran Agama; Dua kasus dari Jombang, Dalam Prisma, No. 3, Jakarta; LP3ES, 1978



[1] Nur Syam, Islam Pesisir (Yogyakarta: LkiS, 2005) hlm., 2. Kajian Corak Islam sinkretik yang menggambarkan mengenai sinkretisme antara budaya Jawa, Islam dan Hindu/Budhisme yang dikonsepkan sebagai agama Jawa dapat dilihat pada hasil penelitian Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi, dalam Masyarakat Jawa (Jakarta: Pustka Jaya, 1981). Sedangkan kajian corak Islam akulturatif dapat dilihat dalam Muhaimin AG. Islam dalam Bingkai Budaya Lokal Potret dari Cirebon (Jakarta: Logos, 2001)
[2] Wawancara dengan H. Slamet budayawan Banyuwangi 3 Maret  2011
[3] Wawancara dengan H. Armaya, Banyuwangi  5 Maret 2011
[4] Muhammad Subhan, Tradisi Perkawinan Masyarakat Jawa Di Tinjau Dari Hukum Islam (Kasus di Kelurahan Kauman Kec. Mojosari Kab. Mojokerto), UIN Malang, 2004
[5] Anis Dyah Rahayu, Tinjauan Islam Tentang Prosesi Perkawinan Adat Jawa (Kasus di Desa
Bogodeso Kec. Kanigoro, Kab. Blitar), UIN Malang, 2005
[6] Siti Suaifa, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Tradisi Bubak Kawah dan Tumplek Punjen Dalam
Pernikahan (Studi Kasus di Desa Wonokerso Kec. Pakisaji, Kab. Malang),  UIN Malang,2005
[7] Zamakhsari dan Abdurrahman Wahid, Penafsiran kembali Ajaran Agama; Dua kasus dari Jombang, Dalam Prisma, No. 3, (Jakarta; LP3ES, 1978) hlm. 27.
[8] Bryan S. Turner, Religion and Sosial, (London; SAGE Publication, 1991), hlm., 243
[9] Clifford Geertz, religion as Cultural System, dalam Atropological Approaches to the Study of religion, (London; SAGE Publication, 1996) hlm.. 35-50.
[10] Herbert Read, Art and Sociaty, (New York; Shocken Books, 1970) bab 3 dalam Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat, (Yogya; Tiara Wacana Yogya, 1987) hlm., 54.
[11] Max Weber, The Sosiology of Religion, (Boston; Beacon Press, 1964) dalam Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat, (Yogya; Tiara Wacana Yogya, 1987) hlm., 54.
[12] Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat, (Yogyakarta; Tiara Wacana Yogya, 1987), hlm., xi
[13] Gillford Geertz, Abangan, Santri dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa, (Jakarta; Pustaka Jaya, 1989) hlm., 13-14.
[14] Ibda` | Vol. 6 | No. 1 | Jan-Jun 2008 | 110-131 3 P3M STAIN Purwokerto | Moh. Roqib
[15] Ahmad Ali Riyadi, Dekonstruksi Tradisi (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2007), 119.
[16] Ahmad Ali Riyadi, Dekonstruksi Tradisi (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2007), 119.
[17] Achmad Fedyani Saifudin, Antropologi Kontemporer: Suatu Pendekatan Kritis Mengenai Paradigma, (Jakarta: Kencana, 2006) 289
[18] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op. Cit., 568
[19] Herusatoto, Op.Cit., 199-201
[20] Suwardi Endraswara, Metode, Teori, Teknik Penelitian Kebudayaan: Ideologi, Epistimologi, dan Aplikasi(Yogyakarta: Pustaka Widyatama, 2006),9
[21] Lexi J. Moeleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Rosda Karya, 1995), 30.
[22] Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996), 333
[23] Spradley, J.P., The Etnographic Interview, Holt, Reinhard and Wilston, N.Y., 1979, h. 3.
[24] Lofland, Analyzing Social Setting: A Guide to Qualitative Observation and Analysis, (Belmont, Cal: Wadsworth Publishing Company, 1984), 47.
[25] Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan RD   (Bandung: Al-Fabeta, 2005), 309.  
[26] Ibid., 161.
[27] Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Bina Aksara, 2002), 206
[28] Nana Sudjana dan Ahwal Kusuma, Proposal Penelitian di Perguruan Tinggi (Bandung: Sinar Baru Algasindo, 2001), 89
[29] Lexy Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, 175
[30] Peneliti mendapatkan data ini dari wawancara dengan budayawan Banyuwangi H. Armaya 4 april 2011
[31] wawancara dengan budayawan Banyuwangi H. Armaya 4 April 2011
[32] Peneliti mendapatkan data ini dari wawancara dengan budayawan Banyuwangi H. Armaya 4 april 2011
[33] wawancara dengan budayawan Banyuwangi H. Armaya 4 April 2011
[34] Kerantan-rantan dalam bahasa jawa adalah nelongso sedangkan dalam bahasa Indonesia adalah khawatir
[35] Pak Slamet, Wawancara (desa Kemiren, 02 April 2011)
[36] Pak Slamet, Wawancara (desa Kemiren, 20 April 2011)