MENELUSURI PENDIRIAN MASJID JAMI’ DAN
MASJID AGUNG
DI NUSANTARA DALAM PRESPEKTIF SEJARAH[*]
Oleh. M. Syamsudini, M.Ag
A. Rasional
Masjid merupakan salah satu sarana pembinaan umat
yang mendapat perhatian begitu besar dari Rasulullah Saw. Karena itu, pada saat
singgah di Quba dalam perjalanan hijrah ke Madinah, beliau membangun masjid
yang kemudian diberi nama dengan masjid Quba, bahkan ketika sampai di Madinah,
bangunan pertama yang didirikan adalah masjid. Oleh karena itu, sebagai muslim,
semestinya memiliki perhatian dan cinta yang besar kepada masjid. Kecintaan
yang besar kepada masjid akan membuat umat Islam memiliki rasa tanggung jawab
yang besar terhadap pemakmurannya.
Sejarah pembangunan masjid didunia pertama kali
ditandai dengan berdirinya masjid yang dibangun oleh Nabi Muhammad SAW. Ketika
beliau melakukan hijrah ke Madinah tepatnya didaerah Quba’. Landasan pemikiran
beliau saat itu adalah bagaimana melakkan impowering terhadap umatnya
dalam mengawal dan membangun sebuah masyarakat yang mutamaddin yaitu
sebuah masyarakat yang mempunyai peradaban yang tinggi dengan berbagai khazanah
budaya keilmuan yang Islami.
Pembangunan masjid Quba’ merupakan starting
point dari sebuah skenario besar
nabi Muhammad untuk melakukan sebuah perubahan dan perencanaan akhlak
manusia. Pencerahan akhlak ini dilakukan oleh nabi dengan menjadikan masjid
sebagai pusat dari segala pusat pergerakan, transformasi keilmuan, ekonomi,
pertahanan dan keamanan, kepemudaan, keorganisasian, strategi politik dan
masalah lain yang berkaitan dengan pemberdayaan umat, sehingga ketika pilot
project didaerah Quba’ ini berhasil, maka nabi menganjurkan kepada seluruh
sahabatnya untuk membangun masjid-masjid lain yang difungsikan sebagai pusat
pergerakan umat Islam. Darisini kemudian masjid menjadi pusat kegiatan
masyarakat, bahkan pusat peradaban umat Islam dan memiliki makna yang universal.
Tidak ada aturan baku dalam mengatur langgam maupun bentuk arsitektur masjid, nabi
memberikan kebebasan kepada umat dalam mengapresiasikan wajah masjid sesuai
budaya setempat. Sepeninggal Rasulullah saw, tampuk kekuasaan Islam dalam hal
pemeliharaan Masjid dipegang oleh Sahabat Abu Bakar, kemudian dilanjutkan oleh
Umar Bin Khattab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Setelah itu di masa
Umayyah, pelopor pemeliharaan masjid
adalah Al Walid Al Umawy dan dizaman Abbasiyah pemeliharaan masjid di pimpin
oleh Khalifah Al.Mahdi yang pada akhirnya muncul istilah masjid jami’ dan masjid non jami’ ( masjid
Biasa ). ( Ilyas, 2004 : 53 ).
Setelah Islam tersebar luas ke seantero dunia,
istilah masjid jami’ menggema kemana-mana termasuk ke Indonesia. Sehingga
banyak masyarakat Indonesia yang mengadopsi istilah masjid jami’. Namun ketika Islam masuk
ke tanah Jawa Istilah masjid jami’ agak tergeser ketika Sultan Agung raja
Mataram Islam mendeklarasikan Istilah baru dalam labeling masjid di
tanah Jawa dengan Istilah Masjid Gedhe ( Masjid Agung ). Sultan Agung
dengan pendekatan kekuasaaanya mentradisikan istilah masjid agung ini keseluruh
kadipaten ( kabupaten ) yang masuk wilayah kekuasaannya. Mulai saat
inilah istilah masjid agung menjadi tradisi masyarakat Jawa dan istilah masjid
agung banyak diadopsi oleh masyarakat Islam luar Jawa. ( Yunus, 1983:222 )
B. Pengertian Masjid
Kata
masjid terulang sebanyak dua puluh delapan kali di dalam Al-Qur’an. Dari segi
bahasa, kata tersebut terambil dari akar kata sajada-sujud, yang berarti
patuh, taat, serta tunduk dengan penuh hormat dan takzim. Meletakkan dahi,
kedua tangan, lutut, dan kaki ke bumi, yang kemudian dinamai sujud oleh
syariat, adalah bentuk lahiriah yang paling nyata dari makna-makna di atas.
Itulah sebabnya mengapa bangunan yang dikhususkan untuk melaksanakan shalat dinamakan masjid,
yang artinya “tempat sujud” Sebagaimana di terangkan Quraisy Sihab yang di
kutip Saiful, bahwa: “Dari
segi bahasa, kata masjid
terambil dari akar kata sajada – sujud, yang
berarti patuh, taat, serta dengan penuh hormat dan ta’dzim”. (1998: 1) (Shihab,
1997: 459).
Sujud
adalah pengakuan ibadat, yaitu pernyataan pengabdian lahir yang dalam sekali.
Setelah iman dimiliki jiwa, maka lidah mengucapkan ikrar keyakinan sebagai
pernyataan dari milik rohaniah itu. Setelah lidah menyatakan kata keyakinan,
jasmani menyatakan gerak keyakinan dengan sujud. Sujud juga memberikan makna
bahwa apa yang diucapkan oleh lidah bukanlah kata-kata kosong belaka. Kesaksian
atau pengakuan lidah itu diakui oleh seluruh jasmani manusia dalam bentuk gerak
lahir menyambung gerak batin yang mengakui dan meyakini iman (Gazalba: 1994:
118).
Dalam pengertian sehari-hari, masjid merupakan bangunan
tempat shalat kaum muslim. Tetapi, karena akar katanya mengandung makna tunduk
dan patuh, hakikat masjid adalah tempat melakukan segala aktivitas yang
mengandung kepatuhan kepada Allah semata (Shihab, 1997: 459).
Sebagaimana di terangkan Team
Panita Da’i Muda Indonesia diterangkang bahwa: “Masjid adalah suatu institusi
umat Islam yang tidak dapat dipisahkan keberadaanya dengan kegiatan keagamaan
baik yang bersifat ibadah kepada Allah maupun sarana pertemuan kemasyarakatan
dan kemaslahatan bersama. (1995: 23)
Karena itu, sesuai yang ditegaskan dalam
Al-Qur’an surat al-Jin (72): 18:
وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا
Artinya:
“Sesungguhnya masjid-masjid itu adalah miliki Allah, karena janganlah
menyembah selain Allah sesuatupun”.
Di samping itu, Rasulullah Saw.juga
pernah bersabda “Telah dijadikan untukku (dan untuk umatku)
bumi sebagai masjid dan sarana penyucian diri (HR. Bukhari dan Muslim
melalui Jabir bin Abdullah).
Jika dikaitkan dengan bumi ini, masjid
bukan hanya sekedar tempat sujud dan sarana penyucian. Di sini kata masjid juga
tidak lagi hanya berarti bangunan tempat shalat, atau bahkan bertayammum
sebagai cara bersuci pengganti wudlu tetapi kata masjid di sini berarti juga
tempat melaksanakan segala aktivitas manusia yang mencerminkan kepatuhan kepada
Allah Swt. Dengan demikian, masjid menjadi pangkal tempat muslim bertolak,
sekaligus pelabuhan tempatnya bersauh. Selanjutnya bagaimana masjid pada zaman
Rasulullah berikut perkembangan selanjutnya.
Kalau
kita membaca sejarah Islam, bahwa ketika Rasulullah Saw. berhijrah ke Madinah
langkah pertama yang beliau lakukan adalah membangun masjid kecil yang
berlantaikan tanah, dan beratapkan pelepah kurmah. Dari sana beliau membangun
masjid yang besar, membangun dunia ini, sehingga kota tempat beliau membangun
itu benar-benar menjadi Madinah, (seperti namanya) yang arti harfiahnya adalah
“tempat peradaban’, atau paling tidak, dari tempat tersebut lahir benih
peradaban baru umat manusia.
C. Fungsi-fungsi Masjid
Masjid pertama yang dibangun Rasulullah Saw.
adalah Masjid Quba’, kemudian disusul Masjid Nabawi di Madinah. Terlepas dari
perbedaan pendapat ulama tentang masjid
yang dijuluki Allah Swt. Sebagai masjid yang dibangun atas dasar taqwa (QS.
Al-Taubah: 108) yang jelas bahwa keduanya --Masjid Quba dan Masjid
Nabawi—dibangun atas dasar ketakwaan, dan setiap masjid seharusnya memiliki
landasan dan fungsi seperti itu. Itulah sebabnya mengapa Rasulullah meruntuhkan
bangunan kaum munafik yang juga mereka sebut masjid, dan menjadikan lokasi itu
tempat pembuangan sampah dan bangkai binatang, karena masjid tersebut
dibangun tidak sesuai dengan fungsi
masjid yang sebenarnya, yakni ketakwaan. Al-Qur’an melukiskan bangunan kaum
munafik itu sebagaimana diisebutkan dalam Surat al-Taubah 107:
وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مَسْجِدًا ضِرَارًا وَكُفْرًا وَتَفْرِيقًا
بَيْنَ الْمُؤْمِنِينَ وَإِرْصَادًا لِمَنْ حَارَبَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ مِنْ
قَبْلُ وَلَيَحْلِفُنَّ إِنْ أَرَدْنَا إِلَّا الْحُسْنَى وَاللَّهُ يَشْهَدُ
إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ
Artinya:
Dan (di antara orang-orang munafik) itu) ada
orang-orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemadlaratan (pada orang
mukmin) dank arena kekafiran-(nya), dan untuk memecah belah antara orang-orang
mukmin, serta menunggu mengamat-amati kedatangan orang-orang yang memerangi
Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. (QS al-Tawbah: 107)
Masjid Nabawi di Madinah telah menjabarkan fungsinya
sehingga lahir peranan masjid yang beraneka ragam. Sejarah mencatat tidak
kurang dari sepuluh peranan yang telah diemban masjid Nabawi, yaitu sebagai
berikut:
1.
Tempat ibadah (shalat, zikir)
2.
Tempat konsultasi dan komunikasi (masalah
ekonomi-sosial budaya)
3.
Tempat pendidikan
4.
Tempat santunan sosial.
5.
Tempat latihan militer dan persiapan alat-alatnya.
6. Tempat pengobatan para korban perang.
7. Tempat perdamaian dan pengadilan sengketa.
8. Aula dan tempat menerima tamu.
9.
Tempat menawan tahanan, dan
10. Pusat penerangan atau pembelaan agama
(Shihab, 1997: 462).
Shihab,
(2003: 79) menjelaskan fungsi masjid dalam sejarah peradaban Islam zaman
Rasulullah sebagai berikut:
1. Tempat mensucikan jiwa kaum muslimin,
melalui berbagai bentuk ibadah makhdloh seperti shalat.
2. Tempat membaca dan mengajarkan Al-Qur’an.
3. Tempat berkonsultasi dan bersilaturrahmi.
4. Tempat musyawarah untuk menyelesaikan
berbagai persoalan kaum muslimin termasuk mencari berbagai upaya peningkatan
kesejahteraan umat.
5. Tempat mendamaikan kelompok-kelompok yang
bertikai
6. Tempat mengadili persengketaan di antara
intern umat Islam
7. Tempat membina sikap dasar kaum muslim
terhadap orang yang berbeda agama dan ras.
8. Tempat konsulidasi dan koordinasi pasukan
perang melawan musuh Islam.
9. Tempat merawat dan mengobati para korban
perang, dan lain-lain.
Agaknya masjid
pada masa silam mampu berperan sedemikian luas, disebabkan antara lain:
1. Keadaan masyarakat yang masih berpegang
teguh kepada nilai, norma dan jiwa agama.
2.
Kemampuan pembina-pembina masjid menghubungkan kondisi
sosial dan kebutuhan masarakat dengan uraian dan kegiatan masjid.
3.
Manifestasi pemerintahan terlaksana di dalam masjid,
baik pada pribadi-pribadi pemimpin pemerintahan yang menjadi imam/khatib maupun
di dalam ruangan-ruangan masjid yang dijadikan tempat-tempat kegiatan
pemerintahan dan syura (musyawarah) (Shihab: 462).
Lebih lanjut
Ayub (1996: 7) menjelaskan fungsi-fungsi masjid menurut fakta sejarah:
1. Masjid merupakan tempat kaum muslimin
beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah
2. Masjid adalah tempat kaum muslimin
beri’tikaf, membersihkan diri, menggembleng batin/keagamaan sehingga selalu
terpelihara keseimbangan jiwa raga serta keutuhan kepribadian.
3. Masjid adalah tempat bermusyawarah kaum
muslimin guna memecahkan persoalan-persoalan yang timbul di masyarakat.
4. Masjid adalah tempat untuk membina keutuhan/ikatan jamaah dan kegotong-royongan
di dalam mewujudkan kesejahteraan bersama.
5. Masjid dengan majlis taklimnya meruapakan
wahana untuk meningkatkan kecerdasan dan ilmu pengetahuan.
6. Masjid adalah tempat pembinaan dan
pengembangan kader-kader pimpinan umat.
7. Masjid adalah tempat menghimpun dana,
menyimpan dan membagikannya.
8. Masjid adalah tempat melaksanakan
pengaturan dan supervise sosial.
Keadaan
itu kini telah berubah, sehingga timbullah lembaga-lembaga baru yang mengambil
alih sebagian peranan masjid masa lalu, yaitu organisasi keagamaan swasta dan
lembaga-lembaga pemerintah, sebagai pengarah kehidupan duniawi dan ukhrawi umat
beragama. Lembaga-lembaga itu
memiliki kemampuan material dan teknis melebihi masjid.
Fungsi dan
peranan masjid besar seperti yang disebutkan pada masa keemasan Islam itu
tentunya sulit diwujudkan pada masa kini. Namun, ini tidak berarti bahwa masjid tidak dapat
berperan di dalam hal-hal tersebut.
Masjid harus mampu melakukan kesepuluh peran tadi. Paling
tidak melalui uraian para pembinanya guna mengarahkan umat pada kehidupan
duniawi dan ukhrawi yang lebih berkualitas.
Apabila masjid dituntut berfungsi membina umat, tentu sarana yang dimiliki
harus tepat, menyenangkan dan menarik semua umat, baik dewasa, kanak-kanak,
tua-muda, pria, wanita, yang terpelajar maupun tidak, sehat atau sakit, serta
kaya maupun miskin.
Hasil Muktamar Risalatul Masjid di Makkah pada 1975,
sebagaimana dikutip Shihab (1997), bahwa suatu masjid baru dapat dikatakan
berperan secara baik apabila memiliki ruangan dan peralatan yang memadai untuk:
- Ruang shalat yang memenuhi syarat-syarat kesehatan.
- Ruang khusus wanita yang memungkinkan mereka keluar masuk tanpa bercampur dengan pria baik digunakan untuk shalat maupun untuk pendidikan kesejahteraan keluarga.
- Ruang perteuan dan perpustakaan.
- Ruang poliklinik, dan ruang untuk memandikan dan mengkafankan mayat.
- Ruang bermain, berolaharaga, dan berlatih bagi remaja.
Hal
terakhir ini perlu mendapat perhatian, karena menurut pengamatan sementara
pakar, sejarah kaum muslim menunjukkan bahwa perhatian yang berlebihan terhadap
nilai-nilai arsitektur dan estetika suatu masjid sering ditandai kedangkalan,
kekurangan, bahkan kelumpuhannya dalam pemenuhan fungsi-fungsinya. Seakan-akan
nilai arsitektur dan estetika dijadikan kompensasi untuk menutup-nutupi
kekurangan atau kelumpuhan tersebut.
Dari uraian sejarah singkat itu terlihat bahwa masjid pada
dasarnya tidak hanya merupakan pusat
peribadatan seperti shalat, tetapi juga merupakan pusat kegiatan-kegiatan
sosial. Masjid dengan berbagai macam fungsinya itu, pada masa silam merupakan
pusat pembangunan umat Islam, bukan pada masa Nabi Muhammad saw di Madinah
saja, tetapi juga pada masa pembangunan umat Islam di luar Semenanjung Arabia,
seperti Syuriah, Irak, dan Mesir. Pembangunan yang memusatkan pimpinan dan
pengarahannya di masjid itu telah melahirkan peradaban Islam yang tinggi pada
abad kedelapan dan abad-abad selanjutnya.
Di
samping, fungsi-fungsi dari masjid sebagaimana dijelaskan di atas, ada fungsi
sosial lain yang tidak kalah penting yaitu bahwa fungsi masjid di
Indonesia dapat dijadikan sebagi media
peningkatan kerukunan hidup umat beragama, sebab sebagaimana dimaklumi bahwa
bangsa Indonesia terdiri atas berbagai suku, bahasa, adat-istiadat dan agama,
sehingga bangsa Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk. Keanekaragaman
suku, bahasa, adat-istiadat dan agama tersebut merupakan suatu kenyataan yang
harus kita syukuri sebagai kekayaan bangsa. Namun di samping itu, kemajemukan
atau keanekaragaman juga dapat mengandung kerawanan-kerawanan yang dapat
memunculkan konflik-konflik kepentingan antar kelompok yang berbeda-beda
tersebut.
D. Masjid di Indonesia
Pembangunan masjid di Indonesia yang berpenduduk mayoritas beragama Islam terbesar
di dunia, telah berhasil menghadirkan model dan arsitektur masjid yang
menggambarkan nilai universal dengan beragam bentuk. Ini disebabkan oleh
beragamnya budaya di bumi Nusantara. Kentalnya tipologi ruang dari budaya
setempat pada masjid di masa awal penyebaran agama Islam, tidak lepas dari
pemanfaatan konsep ruang yang ada pada kebanyakan tipologi rumah di Nusantara.
Konsep tata ruang masjid yang merupakan refleksi
dari pengetahuan masyarakat relegius, menginspirasi mereka untuk membangun
masjid dengan pijakan-pijakan filosofis yang mereka ketahui dan mereka alami.
Atap menggambarkan langit/surga dan ruang di bawahnya sebagai dunia tempat
manusia berkehidupan dan bagian paling bawah dari rumah (pondasi) sebagai dunia
bawah/neraka (Architecture, Indonesian Heritage: 1998).
Masjid di Nusantara memiliki bentuk atap sangat
menonjol karena bagian dari ritual budaya setempat yang menandakan tempat suci
untuk beribadah. Bentuk atap yang bertumpuk pun juga representasi dari
langit/surga yang bertingkat-tingkat. Bandingkan dengan Candi Borobudur, yang
berundak menuju ruang kehampaan di bagian paling atas.
Bagian paling penting dari masjid adalah ruang
utama untuk tempat beribadah, belajar, maupun kegiatan sosial masyarakat
lainnya. Ruang di bawah atap inilah sebagai mikro-kosmos representasi dari
dunia tempat manusia hidup dan berinteraksi. Faktor iklim dan budaya membuat
tipologi ruang utama kebanyakan masjid di Nusantara bersifat terbuka, tanpa
dinding.
Ciri lain pada ruang utama ini adalah adanya ruang
mihrab, tempat Imam memimpin sholat dan memberikan khotbah. Mihrab juga pemberi
arah kiblat. Bagian ini biasanya disatukan dengan bidang dinding masif di
sepanjang sisi arah kiblat ruang utama. Ini juga membantu para umat
berkonsentrasi dalam beribadah.
Pemanfaatan tipologi “pendopo” sebagai ruang utama
merupakan solusi cerdas dalam menghadirkan fungsi masjid yang lebih profan (M
Ichsan HN, Masjid 2000). Ini juga demokratis karena di sinilah para pemimpin
bertemu dengan umatnya dalam menyelesaikan berbagai masalah bersama di
masyarakat secara terbuka. Ruang terbuka di luar bangunan ruang utama masjid
biasanya sengaja dihadirkan untuk memberikan fleksibilitas pada pemakaian ruang
ibadah. Ruang terbuka yang biasa dikemas sebagai inner-courtyard ini bermanfaat
pada perayaan tertentu ketika umat akan berdatangan lebih ramai dari biasanya.
Menara di sisi masjid lebih berfungsi sebagai
tempat orang ber-adzan untuk memanggil dan memberitahu umat telah masuknya
waktu shalat. Kehadirannya saat ini cenderung hanya sebagai simbol karena
teknologi pengeras suara yang sudah berkembang tidak mengharuskan orang untuk
ber-adzan di atas menara lagi.
Sejak dulu, lokasi masjid selalu menempati posisi
strategis pada sebuah komunitas masyarakat (peradaban). Dalam tipologi “alun-alun” pun, tempat ibadah ini
dihadirkan pada salah satu sisi ruang terbuka tersebut. Dan dalam kawasan
tertentu, tidak jarang ia berfungsi pula sebagai community center.
E. Fenomena Masjid Jami’
Perkembangan masjid
sangat tergantung pada perkembangan yang terjadi di masyarakat. Terlebih lagi
pada saat masyarakat Islam mengalami kemajuan, perhatian masyarakat terhadap
masjid sangat komplek. Hal ini yang mengakibatkan karakteristik masjid
berkembang menjadi dua bentuk yaitu
masjid tempat shalat Jum’at atau jami’ dan masjid biasa. Jumlah masjid
jami’ lebih sedikit dibanding dengan masjid biasa.
Menurut Abuddin Nata : Pada
abad Ke- 11 Masehi, di masa daulah Abbasiyah Baghdad term masjid jami’merupakan
masjid yang seluruh pembiayaan operasionalnya didanai oleh khalifah, sedangkan
masjid biasa dibiayai oleh swadaya masyarakat murni. Di Baghdad saat itu hanya
ada enam masjid jami’, sedangkan masjid biasa jumlahnya mencapai ratusan.
Demikian juga di Damaskus Syiria, sedikit sekali jumlah masjid jami’ daripada
masjid biasa. Sedangkan di Kairo malah sebaliknya, jumlah masjid jami’ lebih
banyak daripada masjid biasa, masjid jami’ yang terkenal di Mesir saat itu adalah masjid Al. Azhar, masjid Amr bin Ash
dan masjid Abdullah bin Thoulon, namun masjid Thoulon saat ini hanya menjadi
museum Islam. ( Nata, 2004 : 38 )
Istilah masjid jami’
dan masjid biasa di zaman Abbasiyah digunakan sebagai sarana penyelenggaraan
pendidikan Islam, akan tetapi masjid jami’ biasanya memiliki halaqah-halaqah ( Club
Study ), Majlis ( College ), Khan ( Guest House), Kuttab ( Elementary School), Zawiyah (Pendidikan dasar Tasawuf ), Ribath/Rubath (
Pesantren ), Bayt al. Ulama’
( Leader House ),Maktabah
(Perpustakaan ), Mustashfa ( Hospital Education ) dan Saloon
Adaby ( Art Café ).
Perbedaan yang menyolok antara masjid jami’ dan
masjid biasa adalah, masjid jami’ selalu dimonitor secara ketat oleh penguasa
atau khalifah dalam hal pengelolaan seluruh aktifitas masjid jami’, seperti
kurikulum, tenaga pengajar, pembiayaan dan lain-lain. Kurikulum pendidikan
masjid jami’ merupakan tumpuan khalifah untuk mencari dan kaderisasi
pejabat-pejabat pemerintah, seperti Qodhi, Khatib, Imam dan Bilal.
Sementara masjid biasa tidak dimonitor secara ketat oleh khalifah. Melihat
keterkaitan antara masjid jami’ dan kekuasaan dalam hal ini dapat dikatakan
masjid jami’merupakan lembaga pendidikan formal.
Berawal dari fakta
sejarah, konsep masjid jami’ banyak di adopsi oleh masyarakat Indonesia
terutama didaerah serambi Makkah, Sumatera Barat serta sebagian masyarakat
Jawa, Banjar, Bugis dan Mandar. Secara
operasional masjid jami’ yang ada di nusantara ini dipegang oleh petinggi kaum
adat dan turunan ulama yang berpengaruh. pelaksanaannya sama dengan operasional
masjid jami’ dimasa Abbasiyah yaitu untuk kelanjtan dan kepentingan kekuasaan
yang dinamakan kekuasaan poltik kaum adat.( Nizar , 2007 : 117-118 ).
F. Fenomena Masjid Agung
Berawal dari
pemikiran Sultan Agung raja Mataram Islam dalam mendakwahkan Islam di tanah
Jawa yang sebagian masyarakatnya beragama Hindu yang masih berkeyakinan
animisme dan dinamisme, maka dengan pendekatan kekuasaanya ia melakukan
terobosan dengan membuat konsep pembangunan masjid disetiap kadipaten yang
masuk wilayahnya. Konsep pembangunan masjid versi Sultan Agung ini
dikonsultasikan dengan beberapa staf ahlinya untuk mempermudah pelaksanaannya
dilapangan. Beberapa hal yang sangat penting dari hasil rapat konsultasi ini
antara lain : konsep pembangunan masjid disetiap kadipaten, Struktur ta’mir dan
materi pendidikan yang akan ditransformasikan kepada warga Mataram. Setelah
dipertimbangkan dengan matang, kemudian Kebijaksanaan pembangunan masjid
dilaksanakan. ( Yunus, 1983:222)
Kebijakan
Sultan Agung akhirnya diwujudkan dalam sebuah surat perintah kepada seluruh
pemimpin kadipaten. Inti dari surat perintah itu adalah: seluruh kadipaten yang
masuk wilayah kekuasaan Mataram diharuskan membangun sebuah masjid yang
diberinama masjid “ gedhe” ( masjid agung ) dan menyiapkan 40 orang
ta’mir yang diseleksi secara ketat dan diberi kewenangan mengelola masjid
sesuai dengan bidang keahlian yang telah ditentukan oleh sultan Agung, antara
lain : 10 orang menjadi Imam/ Bilal
dengan syarat Fashihul Lisan ( fasih makhorijul hurf ), 10 orang menjadi
Khatibul Jum’ah, 10 orang menjadi Katibul Rasail, 10 orang menjadi Qadhi /
Modin( penghulu ). Empat puluh ta’mir ini sering berkonsultasi dengan beberapa susuhunan
( sunan ) dan badal sunan yang biasa disebut dengan kiai ageng.
Kata Susuhunan / Sunan dan Kiai Ageng dalam Javaansch Handwooenboek berarti
van waardigheid yang artinya “ paduka yang mulia “. ( Nasir, 1999 : 49 )
Kiai Ageng atau
Badal Sunan dibagi menurut wilayah dakwah yang disesuaikan dengan wilayah dakwah
Islam, contoh kongkritnya adalah : untuk wilayah kadipaten Ngampel denta
dibangun sebuah masjid yang para ta’mirnya berkonsultasi dengan susuhunan
rahmat atau Raden Rahmat yang dikenal sebagai Sunan Ampel. Beliau mempunyai tiga
orang badal. Untuk wilayah Ngampel denta ke Timur di bantu oleh Kiai Ageng
Grinsing, untuk Ngampel denta ke Selatan dibantu oleh Kiai Ageng Gribig dan
untuk wilayah Ngampel denta ke Barat dibantu oleh Kiai Ageng Tarub.( Yunus,
1983 : 219 )
Materi
pendidikan yang diajarkan lewat pendidikan masjid ini adalah dengan menggunakan
pendekatan mistisisme yaitu dengan menggunakan kitab Primbon dan Suluk
Sunan. Kitab Primbon berisikan tentang ilmu keagamaan, ilmu kesehatan dan ilmu
kanuragan. Primbon diajarkan karena
orang Jawa saat itu tidak mengenal Islam secara detail, maka pendekatannya
dengan ilmu Mistik.
Sementara pengajaran Suluk Sunan diberikan kepada
mereka yang sudah matang tentang pengetahuan Islam. Sehingga bisa dikatakan
bahwa pengajaran suluk adalah khusus pendidikan orang-orang yang mempuyai ilmu
keagamaan, ilmu kesehatan dan ilmu kanuragan yang sudah mumpuni. ( Yunus, 1983:
220 )
Berawal dari fakta sejarah, konsep masjid agung banyak di adopsi
oleh masyarakat Indonesia terutama didaerah Jawa, baik Jawa Timur, Jawa Tengah
ataupun Jawa Barat . Secara operasional
masjid Agung hampir sama dengan masjid Jami’ akan tetapi masjid Agung lebih
banyak bersentuhan dengan budaya dan tradisi Jawa.
Budaya dan tradisi Jawa diwujudkan dalam pemilihan
ragam hias. Wayang kulit purwa dan batik menghiasi beberapa bagian masjid.
Tepat di bagian tengah masjid terdapat empat tiang. Semua tiang itu dihubungkan
dengan lengkungan berwarna putih yang diilhami dari gaya Andalusia. Dasar dari
empat tiang itu dihiasi berbagai bentuk ragam hias batik, seperti tumpal, untu
walang, kawung, dan parang-parangan. Kesan teduh dan sederhana dihasilkan dari
pemilihan warna di bagian dalam masjid. Tiang di langit-langit masjid dan pintu
kayu dicat warna hijau. Pintu itu mirip pintu di rumah Jawa, memiliki lubang
sehingga angin leluasa keluar masuk. Selain hijau, warna yang mendominasi
adalah putih, cokelat, dan krem. Sebagian langit-langit yang berhiaskan bentuk
geometri bersegi delapan berwarna krem. Puncak kubah berwarna putih yang dihiasi
dengan kalimat "Laa ilaaha illallah" dari bahan tembaga. Leher kubah
masjid dihiasi kaligrafi ayat- ayat al.qur’an. Konsep Masjid Agung mengusung
paduan budaya Islam dan Jawa. Ciri pertama yang menunjukkan hal itu adalah
bentuk atap. Atap masjid berbentuk tajuk, khas masjid Agung yang bernuansa
Islam-Jawa, seperti yang ditemukan di Masjid Agung Demak dan Masjid Agung Jawa
Tengah di Semarang.
Konsep tajuk itu digabungkan dengan kubah dan
minaret, ciri khas masjid pada umumnya. Sementara itu, di plaza depan masjid
dipasang enam payung berdiameter 48 meter, seperti dilakukan di Masjid Nabawi,
Madinah. Ini untuk melindungi jamaah dari sengatan panas matahari.
G. Wajah Masjid Indonesia Masa Kini
Saat ini, pendirian masjid berkembang sangat pesat
dan memiliki wajah arsitektur yang semakin beragam dengan majunya sistem arus
informasi yang berkembang. Sudah banyak masjid yang berpatokan pada gaya
arsitektur Timur Tengah, tempat agama Islam berasal. Tampilannya tentu berbeda
dengan budaya dan iklim di bumi Nusantara.
Tapi, di sisi lain kehadiran wajah masjid
bernafaskan budaya lokal yang dipadukan dengan gaya arsitektur terbaru
(kontemporer) pun bermunculan kembali. Masjid Istiqlal di Jakarta Pusat, yang
dibuat oleh arsitek F. Silaban pada dekade 1960an, misalnya,
memiliki posisi yang sangat dekat dengan titik nol (Monas) Kota Jakarta. Wajah
bangunannya sangat kental dengan gaya arsitektur modern yang tegas, lugas, dan
tetap elegan. Berbeda dengan masjid lain, ruang utama yang cukup besar skalanya
ini tidak terlalu terbuka. Hanya ada pencahayaan dari lubang-lubang sempit pada
kulit bangunan. Hal ini menghadirkan ruang ibadah yang kondusif untuk beribadah
(kontempelasi) karena terasa lebih sakral dan khusyuk.
H. Kesimpulan
Dalam perjalanan sejarahnya, Masjid telah
mengalami perkembangan yang pesat, baik dalam bentuk bangunan maupun fungsi dan
perannya. Hampir dapat dikatakan dimana ada komunitas muslim di situ ada
Masjid. Memang umat Islam tidak bisa terlepas dari Masjid. Disamping menjadi
tempat beribadah, Masjid telah menjadi sarana berkumpul, menuntut ilmu,
bertukar pengalaman, pusat da’wah dan lain sebagainya.
Banyak Masjid didirikan umat Islam, baik Masjid
umum, Masjid Sekolah, Masjid Kantor, Masjid Kampus maupun yang lainnya.
Meskipun telah banyak didirikan oleh umat Islam, namun secara umum model Masjid ada di Nusantara merupakan hasil
adopsi dari Masjid Jami’ dan Masjid Agung atau kombinasi antara keduanya.
DAFTAR PUSTAKA
Depag RI., 1992, Al-Qur’an
dan Terjemahannya, Jakarta: Yayasan Penerbitan Kitab Suci
Gazalba, Sidi,
2001, Masjid Pusat Ibadah dan Kebudayaan Islam, Jakarta: PT. Al-Husna
Zikra
Harahap, Sofyan Syafri,
1996, Manajemen Masjid, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa
Ilyas Muhammad, 2004, Sejarah
Masjid Nabawi. Madinah . Mathabi’ Ar-Rasyidin
Moh. E. Ayub, dkk. 1996, Manajemen
Masjid, Jakarta: Gema Insani Press
Musthafa, Sejarah
Pendidikan Islam Indonesia
Nasir Ridlwan, 1999, Jejak
Kanjeng Sunan ( Perjuaangan Walisongo ). Surabaya : PT. SIC. Kerjasama
dengan Yayasan Festival Walisongo
Nata Abuddin, 2004.
Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Nizar Syamsul,2007, Sejarah
Pendidikan Islam ( Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah sampai
Indonesia ), Jakarta : PT. Kencana Prenada Media Group.
Saiful, Saifullah, 1998, Masjid:
Makna, Fungsi Dan Implikasinya Terhadap Pendewasaan Sosial, Bulettin,
Al-Baitul Amien
Supardi, 2001, Manajemen
Masjid dalam Pembangunan Masyarakat Optimalisasi Peran dan Fungsi Masjid, Yogyakarta:
PT. Puji Press
Team, 1995, Kamtibmas
Melalui Masjid, Kediri: Dewan Pengurus Pusat Ikatan Da’i Muda Indonesia
Yunus Mahmud, 1983 Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Penerbit Hidakarya Agung
1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar