Jumat, 17 Oktober 2014

MENELUSURI PENDIRIAN MASJID JAMI’ DAN MASJID AGUNG



MENELUSURI PENDIRIAN MASJID JAMI’ DAN MASJID AGUNG
DI NUSANTARA DALAM PRESPEKTIF SEJARAH[*]
Oleh. M. Syamsudini, M.Ag
A. Rasional
Masjid merupakan salah satu sarana pembinaan umat yang mendapat perhatian begitu besar dari Rasulullah Saw. Karena itu, pada saat singgah di Quba dalam perjalanan hijrah ke Madinah, beliau membangun masjid yang kemudian diberi nama dengan masjid Quba, bahkan ketika sampai di Madinah, bangunan pertama yang didirikan adalah masjid. Oleh karena itu, sebagai muslim, semestinya memiliki perhatian dan cinta yang besar kepada masjid. Kecintaan yang besar kepada masjid akan membuat umat Islam memiliki rasa tanggung jawab yang besar terhadap pemakmurannya.
Sejarah pembangunan masjid didunia pertama kali ditandai dengan berdirinya masjid yang dibangun oleh Nabi Muhammad SAW. Ketika beliau melakukan hijrah ke Madinah tepatnya didaerah Quba’. Landasan pemikiran beliau saat itu adalah bagaimana melakkan impowering terhadap umatnya dalam mengawal dan membangun sebuah masyarakat yang mutamaddin yaitu sebuah masyarakat yang mempunyai peradaban yang tinggi dengan berbagai khazanah budaya keilmuan yang Islami.
Pembangunan masjid Quba’ merupakan starting point dari sebuah skenario besar  nabi Muhammad untuk melakukan sebuah perubahan dan perencanaan akhlak manusia. Pencerahan akhlak ini dilakukan oleh nabi dengan menjadikan masjid sebagai pusat dari segala pusat pergerakan, transformasi keilmuan, ekonomi, pertahanan dan keamanan, kepemudaan, keorganisasian, strategi politik dan masalah lain yang berkaitan dengan pemberdayaan umat, sehingga ketika pilot project didaerah Quba’ ini berhasil, maka nabi menganjurkan kepada seluruh sahabatnya untuk membangun masjid-masjid lain yang difungsikan sebagai pusat pergerakan umat Islam. Darisini kemudian masjid menjadi pusat kegiatan masyarakat, bahkan pusat peradaban umat Islam dan memiliki makna yang universal. Tidak ada aturan baku dalam mengatur langgam maupun bentuk arsitektur masjid, nabi memberikan kebebasan kepada umat dalam mengapresiasikan wajah masjid sesuai budaya setempat. Sepeninggal Rasulullah saw, tampuk kekuasaan Islam dalam hal pemeliharaan Masjid dipegang oleh Sahabat Abu Bakar, kemudian dilanjutkan oleh Umar Bin Khattab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Setelah itu di masa Umayyah,  pelopor pemeliharaan masjid adalah Al Walid Al Umawy dan dizaman Abbasiyah pemeliharaan masjid di pimpin oleh Khalifah Al.Mahdi yang pada akhirnya muncul istilah  masjid jami’ dan masjid non jami’ ( masjid Biasa ).  (  Ilyas, 2004 : 53 ).
Setelah Islam tersebar luas ke seantero dunia, istilah masjid jami’ menggema kemana-mana termasuk ke Indonesia. Sehingga banyak masyarakat Indonesia yang mengadopsi  istilah masjid jami’. Namun ketika Islam masuk ke tanah Jawa Istilah masjid jami’ agak tergeser ketika Sultan Agung raja Mataram Islam mendeklarasikan Istilah baru dalam labeling masjid di tanah Jawa dengan Istilah Masjid Gedhe            ( Masjid Agung ). Sultan Agung dengan pendekatan kekuasaaanya mentradisikan istilah masjid agung ini keseluruh kadipaten ( kabupaten ) yang masuk wilayah kekuasaannya. Mulai saat inilah istilah masjid agung menjadi tradisi masyarakat Jawa dan istilah masjid agung banyak diadopsi oleh masyarakat Islam luar Jawa. ( Yunus, 1983:222 )
B. Pengertian Masjid
Kata masjid terulang sebanyak dua puluh delapan kali di dalam Al-Qur’an. Dari segi bahasa, kata tersebut terambil dari akar kata sajada-sujud, yang berarti patuh, taat, serta tunduk dengan penuh hormat dan takzim. Meletakkan dahi, kedua tangan, lutut, dan kaki ke bumi, yang kemudian dinamai sujud oleh syariat, adalah bentuk lahiriah yang paling nyata dari makna-makna di atas. Itulah sebabnya mengapa bangunan yang dikhususkan  untuk melaksanakan shalat dinamakan masjid, yang artinya “tempat sujud” Sebagaimana di terangkan Quraisy Sihab yang di kutip  Saiful, bahwa:  “Dari  segi bahasa,  kata  masjid  terambil  dari   akar kata sajada – sujud, yang berarti patuh, taat, serta dengan penuh hormat dan ta’dzim”. (1998: 1) (Shihab, 1997: 459).         
            Sujud adalah pengakuan ibadat, yaitu pernyataan pengabdian lahir yang dalam sekali. Setelah iman dimiliki jiwa, maka lidah mengucapkan ikrar keyakinan sebagai pernyataan dari milik rohaniah itu. Setelah lidah menyatakan kata keyakinan, jasmani menyatakan gerak keyakinan dengan sujud. Sujud juga memberikan makna bahwa apa yang diucapkan oleh lidah bukanlah kata-kata kosong belaka. Kesaksian atau pengakuan lidah itu diakui oleh seluruh jasmani manusia dalam bentuk gerak lahir menyambung gerak batin yang mengakui dan meyakini iman (Gazalba: 1994: 118).
Dalam pengertian sehari-hari, masjid merupakan bangunan tempat shalat kaum muslim. Tetapi, karena akar katanya mengandung makna tunduk dan patuh, hakikat masjid adalah tempat melakukan segala aktivitas yang mengandung kepatuhan kepada Allah semata (Shihab, 1997: 459).
Sebagaimana di terangkan Team Panita Da’i Muda Indonesia diterangkang bahwa: “Masjid adalah suatu institusi umat Islam yang tidak dapat dipisahkan keberadaanya dengan kegiatan keagamaan baik yang bersifat ibadah kepada Allah maupun sarana pertemuan kemasyarakatan dan kemaslahatan bersama. (1995: 23)
Karena itu, sesuai yang ditegaskan dalam Al-Qur’an surat al-Jin (72): 18:
وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا
 Artinya:  “Sesungguhnya masjid-masjid itu adalah miliki Allah, karena janganlah menyembah   selain Allah sesuatupun”.
            Di samping itu, Rasulullah Saw.juga pernah  bersabda  “Telah dijadikan untukku (dan untuk umatku) bumi sebagai masjid dan sarana penyucian diri (HR. Bukhari dan Muslim melalui Jabir bin Abdullah).
            Jika dikaitkan dengan bumi ini, masjid bukan hanya sekedar tempat sujud dan sarana penyucian. Di sini kata masjid juga tidak lagi hanya berarti bangunan tempat shalat, atau bahkan bertayammum sebagai cara bersuci pengganti wudlu tetapi kata masjid di sini berarti juga tempat melaksanakan segala aktivitas manusia yang mencerminkan kepatuhan kepada Allah Swt. Dengan demikian, masjid menjadi pangkal tempat muslim bertolak, sekaligus pelabuhan tempatnya bersauh. Selanjutnya bagaimana masjid pada zaman Rasulullah berikut perkembangan selanjutnya.
            Kalau kita membaca sejarah Islam, bahwa ketika Rasulullah Saw. berhijrah ke Madinah langkah pertama yang beliau lakukan adalah membangun masjid kecil yang berlantaikan tanah, dan beratapkan pelepah kurmah. Dari sana beliau membangun masjid yang besar, membangun dunia ini, sehingga kota tempat beliau membangun itu benar-benar menjadi Madinah, (seperti namanya) yang arti harfiahnya adalah “tempat peradaban’, atau paling tidak, dari tempat tersebut lahir benih peradaban baru umat manusia.
C.  Fungsi-fungsi Masjid
           Masjid pertama yang dibangun Rasulullah Saw. adalah Masjid Quba’, kemudian disusul Masjid Nabawi di Madinah. Terlepas dari perbedaan pendapat ulama tentang  masjid yang dijuluki Allah Swt. Sebagai masjid yang dibangun atas dasar taqwa (QS. Al-Taubah: 108) yang jelas bahwa keduanya --Masjid Quba dan Masjid Nabawi—dibangun atas dasar ketakwaan, dan setiap masjid seharusnya memiliki landasan dan fungsi seperti itu. Itulah sebabnya mengapa Rasulullah meruntuhkan bangunan kaum munafik yang juga mereka sebut masjid, dan menjadikan lokasi itu tempat pembuangan sampah dan bangkai binatang, karena masjid tersebut dibangun  tidak sesuai dengan fungsi masjid yang sebenarnya, yakni ketakwaan. Al-Qur’an melukiskan bangunan kaum munafik itu sebagaimana diisebutkan dalam Surat al-Taubah 107:
وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مَسْجِدًا ضِرَارًا وَكُفْرًا وَتَفْرِيقًا بَيْنَ الْمُؤْمِنِينَ وَإِرْصَادًا لِمَنْ حَارَبَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ مِنْ قَبْلُ وَلَيَحْلِفُنَّ إِنْ أَرَدْنَا إِلَّا الْحُسْنَى وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ

Artinya:
Dan (di antara orang-orang munafik) itu) ada orang-orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemadlaratan (pada orang mukmin) dank arena kekafiran-(nya), dan untuk memecah belah antara orang-orang mukmin, serta menunggu mengamat-amati kedatangan orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. (QS al-Tawbah: 107)
           Masjid Nabawi di Madinah telah menjabarkan fungsinya sehingga lahir peranan masjid yang beraneka ragam. Sejarah mencatat tidak kurang dari sepuluh peranan yang telah diemban masjid Nabawi, yaitu sebagai berikut:
1.      Tempat ibadah (shalat, zikir)
2.      Tempat konsultasi dan komunikasi (masalah ekonomi-sosial budaya)
3.      Tempat pendidikan
4.      Tempat santunan sosial.
5.      Tempat latihan militer dan persiapan alat-alatnya.
6.      Tempat pengobatan para korban perang.
7.      Tempat perdamaian dan pengadilan sengketa.
8.      Aula dan tempat menerima tamu.
9.      Tempat menawan tahanan, dan
10.   Pusat penerangan atau pembelaan agama (Shihab, 1997: 462).
           
            Shihab, (2003: 79) menjelaskan fungsi masjid dalam sejarah peradaban Islam zaman Rasulullah sebagai berikut:
1.      Tempat mensucikan jiwa kaum muslimin, melalui berbagai bentuk ibadah makhdloh seperti shalat.
2.      Tempat membaca dan mengajarkan Al-Qur’an.
3.      Tempat berkonsultasi dan bersilaturrahmi.
4.      Tempat musyawarah untuk menyelesaikan berbagai persoalan kaum muslimin termasuk mencari berbagai upaya peningkatan kesejahteraan umat.
5.      Tempat mendamaikan kelompok-kelompok yang bertikai
6.      Tempat mengadili persengketaan di antara intern umat Islam
7.      Tempat membina sikap dasar kaum muslim terhadap orang yang berbeda agama dan ras.
8.      Tempat konsulidasi dan koordinasi pasukan perang melawan musuh Islam.
9.      Tempat merawat dan mengobati para korban perang, dan lain-lain.       
Agaknya masjid pada masa silam mampu berperan sedemikian luas, disebabkan antara lain:
1.      Keadaan masyarakat yang masih berpegang teguh kepada nilai, norma dan jiwa agama.
2.      Kemampuan pembina-pembina masjid menghubungkan kondisi sosial dan kebutuhan masarakat dengan uraian dan kegiatan masjid.
3.      Manifestasi pemerintahan terlaksana di dalam masjid, baik pada pribadi-pribadi pemimpin pemerintahan yang menjadi imam/khatib maupun di dalam ruangan-ruangan masjid yang dijadikan tempat-tempat kegiatan pemerintahan dan syura (musyawarah) (Shihab: 462).
Lebih lanjut Ayub (1996: 7) menjelaskan fungsi-fungsi masjid menurut fakta sejarah:
1.      Masjid merupakan tempat kaum muslimin beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah
2.      Masjid adalah tempat kaum muslimin beri’tikaf, membersihkan diri, menggembleng batin/keagamaan sehingga selalu terpelihara keseimbangan jiwa raga serta keutuhan kepribadian.
3.      Masjid adalah tempat bermusyawarah kaum muslimin guna memecahkan persoalan-persoalan yang timbul di masyarakat.
4.      Masjid adalah tempat untuk membina  keutuhan/ikatan jamaah dan kegotong-royongan di dalam mewujudkan kesejahteraan bersama.
5.      Masjid dengan majlis taklimnya meruapakan wahana untuk meningkatkan kecerdasan dan ilmu pengetahuan.
6.      Masjid adalah tempat pembinaan dan pengembangan kader-kader pimpinan umat.
7.      Masjid adalah tempat menghimpun dana, menyimpan dan membagikannya.
8.      Masjid adalah tempat melaksanakan pengaturan dan supervise sosial.
Keadaan itu kini telah berubah, sehingga timbullah lembaga-lembaga baru yang mengambil alih sebagian peranan masjid masa lalu, yaitu organisasi keagamaan swasta dan lembaga-lembaga pemerintah, sebagai pengarah kehidupan duniawi dan ukhrawi umat beragama. Lembaga-lembaga itu memiliki kemampuan material dan teknis melebihi masjid.
Fungsi dan peranan masjid besar seperti yang disebutkan pada masa keemasan Islam itu tentunya sulit diwujudkan pada masa kini. Namun, ini tidak berarti bahwa masjid tidak dapat berperan di dalam hal-hal tersebut.
           Masjid harus mampu melakukan kesepuluh peran tadi. Paling tidak melalui uraian para pembinanya guna mengarahkan umat pada kehidupan duniawi dan ukhrawi yang lebih berkualitas.
           Apabila masjid dituntut berfungsi  membina umat, tentu sarana yang dimiliki harus tepat, menyenangkan dan menarik semua umat, baik dewasa, kanak-kanak, tua-muda, pria, wanita, yang terpelajar maupun tidak, sehat atau sakit, serta kaya maupun miskin.
           Hasil Muktamar Risalatul Masjid di Makkah pada 1975, sebagaimana dikutip Shihab (1997), bahwa suatu masjid baru dapat dikatakan berperan secara baik apabila memiliki ruangan dan peralatan yang memadai untuk:
  1. Ruang shalat yang memenuhi syarat-syarat kesehatan.
  2. Ruang khusus wanita yang memungkinkan mereka keluar masuk tanpa bercampur dengan pria baik digunakan untuk shalat maupun untuk pendidikan kesejahteraan keluarga.
  3. Ruang perteuan dan perpustakaan.
  4. Ruang poliklinik, dan ruang untuk memandikan dan mengkafankan mayat.
  5. Ruang bermain, berolaharaga, dan berlatih bagi remaja.
Hal terakhir ini perlu mendapat perhatian, karena menurut pengamatan sementara pakar, sejarah kaum muslim menunjukkan bahwa perhatian yang berlebihan terhadap nilai-nilai arsitektur dan estetika suatu masjid sering ditandai kedangkalan, kekurangan, bahkan kelumpuhannya dalam pemenuhan fungsi-fungsinya. Seakan-akan nilai arsitektur dan estetika dijadikan kompensasi untuk menutup-nutupi kekurangan atau kelumpuhan tersebut.
           Dari uraian sejarah singkat itu terlihat bahwa masjid pada dasarnya tidak hanya merupakan  pusat peribadatan seperti shalat, tetapi juga merupakan pusat kegiatan-kegiatan sosial. Masjid dengan berbagai macam fungsinya itu, pada masa silam merupakan pusat pembangunan umat Islam, bukan pada masa Nabi Muhammad saw di Madinah saja, tetapi juga pada masa pembangunan umat Islam di luar Semenanjung Arabia, seperti Syuriah, Irak, dan Mesir. Pembangunan yang memusatkan pimpinan dan pengarahannya di masjid itu telah melahirkan peradaban Islam yang tinggi pada abad kedelapan dan abad-abad selanjutnya.
            Di samping, fungsi-fungsi dari masjid sebagaimana dijelaskan di atas, ada fungsi sosial lain yang tidak kalah penting yaitu bahwa fungsi masjid di Indonesia  dapat dijadikan sebagi media peningkatan kerukunan hidup umat beragama, sebab sebagaimana dimaklumi bahwa bangsa Indonesia terdiri atas berbagai suku, bahasa, adat-istiadat dan agama, sehingga bangsa Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk. Keanekaragaman suku, bahasa, adat-istiadat dan agama tersebut merupakan suatu kenyataan yang harus kita syukuri sebagai kekayaan bangsa. Namun di samping itu, kemajemukan atau keanekaragaman juga dapat mengandung kerawanan-kerawanan yang dapat memunculkan konflik-konflik kepentingan antar kelompok yang berbeda-beda tersebut.
D. Masjid di Indonesia
Pembangunan masjid di Indonesia yang  berpenduduk mayoritas beragama Islam terbesar di dunia, telah berhasil menghadirkan model dan arsitektur masjid yang menggambarkan nilai universal dengan beragam bentuk. Ini disebabkan oleh beragamnya budaya di bumi Nusantara. Kentalnya tipologi ruang dari budaya setempat pada masjid di masa awal penyebaran agama Islam, tidak lepas dari pemanfaatan konsep ruang yang ada pada kebanyakan tipologi rumah di Nusantara.
Konsep tata ruang masjid yang merupakan refleksi dari pengetahuan masyarakat relegius, menginspirasi mereka untuk membangun masjid dengan pijakan-pijakan filosofis yang mereka ketahui dan mereka alami. Atap menggambarkan langit/surga dan ruang di bawahnya sebagai dunia tempat manusia berkehidupan dan bagian paling bawah dari rumah (pondasi) sebagai dunia bawah/neraka (Architecture, Indonesian Heritage: 1998).
Masjid di Nusantara memiliki bentuk atap sangat menonjol karena bagian dari ritual budaya setempat yang menandakan tempat suci untuk beribadah. Bentuk atap yang bertumpuk pun juga representasi dari langit/surga yang bertingkat-tingkat. Bandingkan dengan Candi Borobudur, yang berundak menuju ruang kehampaan di bagian paling atas.
Bagian paling penting dari masjid adalah ruang utama untuk tempat beribadah, belajar, maupun kegiatan sosial masyarakat lainnya. Ruang di bawah atap inilah sebagai mikro-kosmos representasi dari dunia tempat manusia hidup dan berinteraksi. Faktor iklim dan budaya membuat tipologi ruang utama kebanyakan masjid di Nusantara bersifat terbuka, tanpa dinding.
Ciri lain pada ruang utama ini adalah adanya ruang mihrab, tempat Imam memimpin sholat dan memberikan khotbah. Mihrab juga pemberi arah kiblat. Bagian ini biasanya disatukan dengan bidang dinding masif di sepanjang sisi arah kiblat ruang utama. Ini juga membantu para umat berkonsentrasi dalam beribadah.
Pemanfaatan tipologi “pendopo” sebagai ruang utama merupakan solusi cerdas dalam menghadirkan fungsi masjid yang lebih profan (M Ichsan HN, Masjid 2000). Ini juga demokratis karena di sinilah para pemimpin bertemu dengan umatnya dalam menyelesaikan berbagai masalah bersama di masyarakat secara terbuka. Ruang terbuka di luar bangunan ruang utama masjid biasanya sengaja dihadirkan untuk memberikan fleksibilitas pada pemakaian ruang ibadah. Ruang terbuka yang biasa dikemas sebagai inner-courtyard ini bermanfaat pada perayaan tertentu ketika umat akan berdatangan lebih ramai dari biasanya.
Menara di sisi masjid lebih berfungsi sebagai tempat orang ber-adzan untuk memanggil dan memberitahu umat telah masuknya waktu shalat. Kehadirannya saat ini cenderung hanya sebagai simbol karena teknologi pengeras suara yang sudah berkembang tidak mengharuskan orang untuk ber-adzan di atas menara lagi.
Sejak dulu, lokasi masjid selalu menempati posisi strategis pada sebuah komunitas masyarakat (peradaban). Dalam tipologi “alun-alun” pun, tempat ibadah ini dihadirkan pada salah satu sisi ruang terbuka tersebut. Dan dalam kawasan tertentu, tidak jarang ia berfungsi pula sebagai community center.
E. Fenomena Masjid Jami’
Perkembangan masjid sangat tergantung pada perkembangan yang terjadi di masyarakat. Terlebih lagi pada saat masyarakat Islam mengalami kemajuan, perhatian masyarakat terhadap masjid sangat komplek. Hal ini yang mengakibatkan karakteristik masjid berkembang menjadi  dua bentuk yaitu masjid tempat shalat Jum’at atau jami’ dan masjid biasa. Jumlah masjid jami’ lebih sedikit dibanding dengan masjid biasa.
Menurut Abuddin Nata : Pada abad Ke- 11 Masehi, di masa daulah Abbasiyah Baghdad term masjid jami’merupakan masjid yang seluruh pembiayaan operasionalnya didanai oleh khalifah, sedangkan masjid biasa dibiayai oleh swadaya masyarakat murni. Di Baghdad saat itu hanya ada enam masjid jami’, sedangkan masjid biasa jumlahnya mencapai ratusan. Demikian juga di Damaskus Syiria, sedikit sekali jumlah masjid jami’ daripada masjid biasa. Sedangkan di Kairo malah sebaliknya, jumlah masjid jami’ lebih banyak daripada masjid biasa, masjid jami’ yang terkenal di Mesir saat itu  adalah masjid Al. Azhar, masjid Amr bin Ash dan masjid Abdullah bin Thoulon, namun masjid Thoulon saat ini hanya menjadi museum Islam. ( Nata, 2004 : 38 )

Istilah masjid jami’ dan masjid biasa di zaman Abbasiyah digunakan sebagai sarana penyelenggaraan pendidikan Islam, akan tetapi masjid jami’ biasanya memiliki halaqah-halaqah   ( Club Study ), Majlis ( College ), Khan ( Guest House),  Kuttab ( Elementary School), Zawiyah   (Pendidikan dasar Tasawuf ), Ribath/Rubath ( Pesantren ), Bayt al. Ulama’ ( Leader House ),Maktabah  (Perpustakaan ), Mustashfa ( Hospital Education ) dan Saloon Adaby ( Art Café ).
Perbedaan yang menyolok antara masjid jami’ dan masjid biasa adalah, masjid jami’ selalu dimonitor secara ketat oleh penguasa atau khalifah dalam hal pengelolaan seluruh aktifitas masjid jami’, seperti kurikulum, tenaga pengajar, pembiayaan dan lain-lain. Kurikulum pendidikan masjid jami’ merupakan tumpuan khalifah untuk mencari dan kaderisasi pejabat-pejabat pemerintah, seperti Qodhi, Khatib, Imam dan Bilal. Sementara masjid biasa tidak dimonitor secara ketat oleh khalifah. Melihat keterkaitan antara masjid jami’ dan kekuasaan dalam hal ini dapat dikatakan masjid jami’merupakan lembaga pendidikan formal.
Berawal dari fakta  sejarah, konsep masjid jami’ banyak di adopsi oleh masyarakat Indonesia terutama didaerah serambi Makkah, Sumatera Barat serta sebagian masyarakat Jawa, Banjar, Bugis dan Mandar.  Secara operasional masjid jami’ yang ada di nusantara ini dipegang oleh petinggi kaum adat dan turunan ulama yang berpengaruh. pelaksanaannya sama dengan operasional masjid jami’ dimasa Abbasiyah yaitu untuk kelanjtan dan kepentingan kekuasaan yang dinamakan kekuasaan poltik kaum adat.( Nizar , 2007 : 117-118 ).
F. Fenomena Masjid Agung
Berawal dari pemikiran Sultan Agung raja Mataram Islam dalam mendakwahkan Islam di tanah Jawa yang sebagian masyarakatnya beragama Hindu yang masih berkeyakinan animisme dan dinamisme, maka dengan pendekatan kekuasaanya ia melakukan terobosan dengan membuat konsep pembangunan masjid disetiap kadipaten yang masuk wilayahnya. Konsep pembangunan masjid versi Sultan Agung ini dikonsultasikan dengan beberapa staf ahlinya untuk mempermudah pelaksanaannya dilapangan. Beberapa hal yang sangat penting dari hasil rapat konsultasi ini antara lain : konsep pembangunan masjid disetiap kadipaten, Struktur ta’mir dan materi pendidikan yang akan ditransformasikan kepada warga Mataram. Setelah dipertimbangkan dengan matang, kemudian Kebijaksanaan pembangunan masjid dilaksanakan. ( Yunus, 1983:222)
Kebijakan Sultan Agung akhirnya diwujudkan dalam sebuah surat perintah kepada seluruh pemimpin kadipaten. Inti dari surat perintah itu adalah: seluruh kadipaten yang masuk wilayah kekuasaan Mataram diharuskan membangun sebuah masjid yang diberinama masjid “ gedhe” ( masjid agung ) dan menyiapkan 40 orang ta’mir yang diseleksi secara ketat dan diberi kewenangan mengelola masjid sesuai dengan bidang keahlian yang telah ditentukan oleh sultan Agung, antara lain : 10 orang  menjadi Imam/ Bilal dengan syarat Fashihul Lisan ( fasih makhorijul hurf ), 10 orang menjadi Khatibul Jum’ah, 10 orang menjadi Katibul Rasail, 10 orang menjadi Qadhi / Modin( penghulu ). Empat puluh ta’mir ini sering berkonsultasi dengan beberapa susuhunan ( sunan ) dan badal sunan yang biasa disebut dengan kiai ageng. Kata Susuhunan / Sunan dan Kiai Ageng dalam Javaansch Handwooenboek berarti van waardigheid yang artinya “ paduka yang mulia “. ( Nasir, 1999 : 49 )
Kiai Ageng atau Badal Sunan dibagi menurut wilayah dakwah yang disesuaikan dengan wilayah dakwah Islam, contoh kongkritnya adalah : untuk wilayah kadipaten Ngampel denta dibangun sebuah masjid yang para ta’mirnya berkonsultasi dengan susuhunan rahmat atau Raden Rahmat yang dikenal sebagai Sunan Ampel. Beliau mempunyai tiga orang badal. Untuk wilayah Ngampel denta ke Timur di bantu oleh Kiai Ageng Grinsing, untuk Ngampel denta ke Selatan dibantu oleh Kiai Ageng Gribig dan untuk wilayah Ngampel denta ke Barat dibantu oleh Kiai Ageng Tarub.( Yunus, 1983 : 219 )
Materi pendidikan yang diajarkan lewat pendidikan masjid ini adalah dengan menggunakan pendekatan mistisisme yaitu dengan menggunakan kitab Primbon dan Suluk Sunan. Kitab Primbon berisikan tentang ilmu keagamaan, ilmu kesehatan dan ilmu kanuragan. Primbon diajarkan karena orang Jawa saat itu tidak mengenal Islam secara detail, maka pendekatannya dengan ilmu Mistik.
Sementara pengajaran Suluk Sunan diberikan kepada mereka yang sudah matang tentang pengetahuan Islam. Sehingga bisa dikatakan bahwa pengajaran suluk adalah khusus pendidikan orang-orang yang mempuyai ilmu keagamaan, ilmu kesehatan dan ilmu kanuragan yang sudah mumpuni. ( Yunus, 1983: 220  )
Berawal dari fakta  sejarah, konsep masjid agung banyak di adopsi oleh masyarakat Indonesia terutama didaerah Jawa, baik Jawa Timur, Jawa Tengah ataupun Jawa Barat .  Secara operasional masjid Agung hampir sama dengan masjid Jami’ akan tetapi masjid Agung lebih banyak bersentuhan dengan budaya dan tradisi Jawa.
Budaya dan tradisi Jawa diwujudkan dalam pemilihan ragam hias. Wayang kulit purwa dan batik menghiasi beberapa bagian masjid. Tepat di bagian tengah masjid terdapat empat tiang. Semua tiang itu dihubungkan dengan lengkungan berwarna putih yang diilhami dari gaya Andalusia. Dasar dari empat tiang itu dihiasi berbagai bentuk ragam hias batik, seperti tumpal, untu walang, kawung, dan parang-parangan. Kesan teduh dan sederhana dihasilkan dari pemilihan warna di bagian dalam masjid. Tiang di langit-langit masjid dan pintu kayu dicat warna hijau. Pintu itu mirip pintu di rumah Jawa, memiliki lubang sehingga angin leluasa keluar masuk. Selain hijau, warna yang mendominasi adalah putih, cokelat, dan krem. Sebagian langit-langit yang berhiaskan bentuk geometri bersegi delapan berwarna krem. Puncak kubah berwarna putih yang dihiasi dengan kalimat "Laa ilaaha illallah" dari bahan tembaga. Leher kubah masjid dihiasi kaligrafi ayat- ayat al.qur’an. Konsep Masjid Agung mengusung paduan budaya Islam dan Jawa. Ciri pertama yang menunjukkan hal itu adalah bentuk atap. Atap masjid berbentuk tajuk, khas masjid Agung yang bernuansa Islam-Jawa, seperti yang ditemukan di Masjid Agung Demak dan Masjid Agung Jawa Tengah di Semarang.
Konsep tajuk itu digabungkan dengan kubah dan minaret, ciri khas masjid pada umumnya. Sementara itu, di plaza depan masjid dipasang enam payung berdiameter 48 meter, seperti dilakukan di Masjid Nabawi, Madinah. Ini untuk melindungi jamaah dari sengatan panas matahari.
G. Wajah Masjid Indonesia Masa Kini
Saat ini, pendirian masjid berkembang sangat pesat dan memiliki wajah arsitektur yang semakin beragam dengan majunya sistem arus informasi yang berkembang. Sudah banyak masjid yang berpatokan pada gaya arsitektur Timur Tengah, tempat agama Islam berasal. Tampilannya tentu berbeda dengan budaya dan iklim di bumi Nusantara.
Tapi, di sisi lain kehadiran wajah masjid bernafaskan budaya lokal yang dipadukan dengan gaya arsitektur terbaru (kontemporer) pun bermunculan kembali. Masjid Istiqlal di Jakarta Pusat, yang dibuat oleh arsitek F. Silaban pada dekade 1960an, misalnya, memiliki posisi yang sangat dekat dengan titik nol (Monas) Kota Jakarta. Wajah bangunannya sangat kental dengan gaya arsitektur modern yang tegas, lugas, dan tetap elegan. Berbeda dengan masjid lain, ruang utama yang cukup besar skalanya ini tidak terlalu terbuka. Hanya ada pencahayaan dari lubang-lubang sempit pada kulit bangunan. Hal ini menghadirkan ruang ibadah yang kondusif untuk beribadah (kontempelasi) karena terasa lebih sakral dan khusyuk.
H. Kesimpulan
Dalam perjalanan sejarahnya, Masjid telah mengalami perkembangan yang pesat, baik dalam bentuk bangunan maupun fungsi dan perannya. Hampir dapat dikatakan dimana ada komunitas muslim di situ ada Masjid. Memang umat Islam tidak bisa terlepas dari Masjid. Disamping menjadi tempat beribadah, Masjid telah menjadi sarana berkumpul, menuntut ilmu, bertukar pengalaman, pusat da’wah dan lain sebagainya.
Banyak Masjid didirikan umat Islam, baik Masjid umum, Masjid Sekolah, Masjid Kantor, Masjid Kampus maupun yang lainnya. Meskipun telah banyak didirikan oleh umat Islam, namun secara umum model  Masjid ada di Nusantara merupakan hasil adopsi dari Masjid Jami’ dan Masjid Agung atau kombinasi antara keduanya.












































DAFTAR PUSTAKA

Depag RI., 1992, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: Yayasan Penerbitan Kitab Suci
Gazalba, Sidi, 2001, Masjid Pusat Ibadah dan Kebudayaan Islam, Jakarta: PT. Al-Husna Zikra
Harahap, Sofyan Syafri, 1996, Manajemen Masjid, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa
Ilyas Muhammad, 2004, Sejarah Masjid Nabawi. Madinah . Mathabi’ Ar-Rasyidin
Moh. E. Ayub, dkk. 1996, Manajemen Masjid, Jakarta: Gema Insani Press
Musthafa, Sejarah Pendidikan Islam Indonesia
Nasir Ridlwan, 1999, Jejak Kanjeng Sunan ( Perjuaangan Walisongo ). Surabaya : PT. SIC. Kerjasama dengan Yayasan Festival Walisongo
Nata Abuddin, 2004. Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Nizar Syamsul,2007, Sejarah Pendidikan Islam ( Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah sampai Indonesia ), Jakarta : PT. Kencana Prenada Media Group.
Saiful, Saifullah, 1998, Masjid: Makna, Fungsi Dan Implikasinya Terhadap Pendewasaan Sosial, Bulettin, Al-Baitul Amien
Supardi, 2001, Manajemen Masjid dalam Pembangunan Masyarakat Optimalisasi Peran dan Fungsi Masjid, Yogyakarta: PT. Puji Press
Team, 1995, Kamtibmas Melalui Masjid, Kediri: Dewan Pengurus Pusat Ikatan Da’i Muda Indonesia
Yunus Mahmud, 1983 Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Penerbit Hidakarya Agung


[*] Makalah disampaikan pada Diskusi Periodik Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Jember Tanggal  2007                                                                 
1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar