ANAK
LAHIR DILUAR KAWIN DALAM SOROTAN
Kajian
Yuridis Terhadap Putusan MK NO. 46/PUU-VII/2012.
Oleh
: M. Syamsudini
I. LATAR BELAKANG
Pada
Februari 2012 lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) membuat putusan yang cukup
mengejutkan banyak pihak, yaitu dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK)
Nomor 46/PUU-VIII/2010 terkait kedudukan hukum bagi anak luar kawin. Putusan
ini lantas mengundang pro dan kontra dari berbagai pihak, baik dari kalangan
praktisi hukum, akademisi, LSM, MUI, bahkan masyarakat. Putusan MK mengenai
pengakuan anak di luar perkawinan “mengejutkan”. Walaupun melegakan sejumlah
pihak, tapi akan ada permasalahan baru yang timbul dari putusan mahkamah
konstitusi tersebut.
Atas
dasar hal tersebut diatas, penulis hendak mencoba membedah kedudukan anak lahir
di luar nikah pasca putusan MK sebagaimana telah disebut sebelumnya. Jika
menggunakan analisis hukum, putusan MK dalam kasus Hj. Aisyah Mochtar alias
Machica si pelantun lagu “Ilalang” itu, maka ada beberapa hal yang patut menjadi
catatan. Pertama, persoalan status anak yang lahir di luar perkawinan dari
kasus Machica itu bermuara pada masalah pernikahan yang tidak tercatat. Kedua,
pengembangan analisis selanjutnya adalah seputar anak yang lahir di luar
perkawinan, dan anak yang sah dalam perspektif bahasa, Undang-undang dan
perspektif kasus posisi dari kasus Machica. Ketiga, menyangkut kewenangan
Pengadilan Agama. Bagaimana aspek yuridis dari pernikahan yang tidak tercatat,
disini akan menjurus pada persoalan yuridis materiil dan yuridis formil.
Bagaimana pengertian anak yang lahir di luar perkawinan sebelum dan sesudah
putusan MK, di sini akan tampak pergeseran makna.
Perkawinan
di Indonesia, ada perkawinan yang tercatat dan yang tidak tercatat. Pencatatan
perkawinan di Indonesia senantiasa menjadi topik menarik karena ragam pendapat
senantiasa muncul, baik sebelum terbentuk UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan maupun sesudahnya. Berdasarkan kitab-kitab yang dijadikan pedoman
oleh Departemen Agama[1]
dalam menyelesaikan perkara dalam lingkungan Peradilan Agama, tidak terdapat
ulama yang menetapkan bahwa salah satu syarat perkawinan adalah pencatatan,
baik sebagai syarat sah maupun sebagai syarat pelengkap. Akan tetapi, dalam
undang-undang perkawinan yang diberlakukan, pasal yang mengatur pencatatan
perkawinan itu ada, sebagai bagian dari pengawasan perkawinan yang diamanatkan
oleh undang-undang.[2]
II. ANAK YANG LAHIR DI LUAR PERKAWINAN
A. Perkawinan
Yang Tidak Tercatat Menurut Kompilasi Hukum Islam ( KHI )
Dalam
konteks pencatatan perkawinan, banyak istilah yang digunakan untuk menunjuk
sebuah perkawinan yang tidak tercatat, ada yang menyebut kawin di bawah tangan,
kawin syar'i, kawin modin, dan kerap pula disebut kawin kiyai.[3]
Perkawinan tidak tercatat ialah perkawinan yang secara material telah memenuhi
ketentuan syari'at sesuai dengan maksud pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tetapi tidak memenuhi ketentuan ayat 2 pasal tersebut jo pasal 10 ayat
3 PP Nomor 9 Tahun 1975.[4]
Pada
umumnya yang dimaksud perkawinan tidak tercatat adalah perkawinan yang tidak
dicatat oleh PPN. Perkawinan yang tidak berada di bawah pengawasan PPN,
dianggap sah secara agama tetapi tidak mempunyai kekuatan hukum karena tidak
memiliki bukti-bukti perkawinan yang sah menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku.[5]
Perkawinan
tidak tercatat termasuk salah satu perbuatan hukum yang tidak dikehendaki oleh
undang-undang; karena terdapat kecenderungan kuat dari segi sejarah hukum
perkawinan, bahwa perkawinan tidak tercatat termasuk perkawinan ilegal.
Meskipun demikian, dalam Pasal 5 ayat (1) KHI terdapat informasi implisit bahwa
pencatatan perkawinan bukan sebagai syarat sah perkawinan; tetapi sebagai alat untuk
menciptakan ketertiban perkawinan. Oleh karena itu, dalam Pasal 7 ayat (3) KHI
diatur mengenai itsbat nikah bagi perkawinan tidak tercatat.
Dengan
kata lain, perkawinan tidak tercatat adalah sah; tetapi kurang sempurna.
Ketidaksempurnaan itu dapat dilihat dari ketentuan Pasal 7 ayat (3) KHI. Dalam
penjelasan umum Pasal 7 KHI bahwa pasal ini diberlakukan setelah berlakunya
undang-undang peradilan agama. Aqad pada perkawinan tidak tercatat biasanya
dilakukan di kalangan terbatas, di muka Pak Kiai atau tokoh agama, tanpa
kehadiran petugas KUA, dan tentu saja tidak memiliki surat nikah yang resmi.
Dalam Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 ditegaskan
bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Perkawinan tidak tercatat secara agama adalah sah manakala memenuhi
syarat dan rukun perkawinan.
Meskipun
demikian, karena pernikahan tersebut tidak tercatat maka dalam hukum positif
dianggap tidak sah karena tidak diakui negara (dasarnya Pasal 1 ayat 2 UU No. 1
Tahun 1974).[6] Suatu
perkawinan yang tidak tercatat akan menghilangkan hak istri untuk menuntut
secara hukum. Dengan kata lain, wanita tidak mendapat perlindungan hukum.
Perkawinan yang demikian bertentangan dengan aspek kesetaraan jender. Karena
itu menurut M. Quraish Shihab, perkawinan yang tidak tercatat merupakan salah
satu bentuk pelecehan terhadap perempuan karena dapat menghilangkan hak-hak
kaum perempuan.[7]
Pernikahan apa pun selain yang tercatat secara resmi di negara hukumnya tidak
sah.[8]
Permasalahannya
jika perkawinan harus tercatat maka kaum pria merasa keberatan terutama pria
yang sudah memiliki istri, karena untuk poligami prosedurnya dianggap terlalu
memberatkan. Sebaliknya bagi kaum wanita perkawinan tidak tercatat bukan saja
merugikan yaitu tidak memiliki hak menuntut harta gono gini, juga akan
kehilangan hak-haknya untuk menuntut kewajiban suami. Kondisi ini dianggap
dilematis, di satu pihak keharusan pencatatan perkawinan memberatkan kaum pria,
di lain pihak perkawinan tidak tercatat merugikan kaum wanita dan anak.
B. Anak Lahir Di
Luar Perkawinan Dalam Perspektif Bahasa
Kenyataan
yang ada di masyarakat luas, anak Indonesia terdapat tiga (3) macam status
kelahirannya, yaitu :
1.
Anak yang lahir
dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah ;
2.
Anak yang lahir
di luar perkawinan ;
3.
Anak yang lahir
tanpa perkawinan (anak hasil zina).
(1) Anak yang lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan
yang sah, adalah anak yang lahir dari perkawinan yang sah, perkawinan yang mengikuti
prosedur Pasal 2 ayat 1 dan ayat 2 UU Nomor 1 Tahun 1974. Kedudukan anak yang
sah dapat dilihat dari ketentuan-ketentuan antara lain:
a.
Undang-undang
Dasar Negara RI Tahun 1945, pada Pasal 28-B ayat (1), yaitu : " Setiap
orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan
yang sah " ;
b.
Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pada Pasal 42, yaitu : " Anak sah
adalah anak yang lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah " ;
c.
Pasal 2 ayat (1),
yaitu : " Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu";
d.
Pasal 2 ayat (2),
yaitu : " Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku "
Oleh karena anak yang lahir dalam atau akibat
perkawinan yang sah ini bukan merupakan titik pembahasan, maka penulis memandang
tidak perlu diperluas pembahasannya, kecuali dua macam anak yang akan diuraikan
dibawah ini.
(2). Anak yang
lahir di luar perkawinan, adalah anak yang lahir dari perkawinan yang dilakukan
menurut masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Pengertian ini menunjukkan
adanya perkawinan, dan jika dilakukan menurut agama Islam, maka perkawinan yang
demikian ”sah” dalam perspektif fikih Islam sepanjang memenuhi syarat dan rukun
perkawinan. Dengan demikian anak tersebut sah dalam kacamata agama, yaitu sah
secara materiil, namun karena tidak tercatat baik di Kantor Urusan Agama (KUA)
maupun di Kantor Catatan Sipil (anak hasil nikah sirri, seperti halnya Machica
Mochtar dengan Moerdiono), maka tidak sah secara formil.
Untuk istilah ”anak yang lahir di luar perkawinan”,
maka istilah ini yang tepat untuk kasus Machica, mengingat anak yang lahir itu
sebagai hasil perkawinan dengan memenuhi syarat dan rukun secara agama, namun
tidak tercatat. Jadi bukanlah sebagaimana berkembangnya persepsi yang salah yang
menganggap kasus anak dari Machica dengan Moerdiono sebagai anak hasil zina.
Kasus tersebut merupakan anak yang dilahirkan ” di luar perkawinan ” karena
perkawinannya hanya memenuhi Pasal 2 ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1974, dan tidak
memenuhi Pasal 2 ayat 2 UU Nomor 1 Tahun 1974.
Pada dasarnya perkawinan di Indonesia harus
dilaksanakan dengan prosedur sesuai dengan pasal 2 ayat 1 dan 2 Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, itulah yang dimaksud dengan perkawinan
yang sesungguhnya menurut UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Jika
perkawinan dilakukan hanya mengikuti pasal 2 ayat 1 saja, maka perkawinan itu
disebut ”luar perkawinan”, oleh karena itu pasal 43 ayat 1 Undang-undang Nomor
1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan itu tidak berdiri sendiri, sangat berkaitan
dengan adanya perkawinan sebagaimana diatur oleh pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan. Disebut luar perkawinan, karena perkawinan itu dilakukan di luar prosedur
pada pasal 2 ayat 2. Tidak bisa "luar perkawinan" itu diartikan sebagai
perzinaan, karena perbuatan zina itu dilakukan sama sekali tanpa ada
perkawinan, beda sekali antara luar perkawinan dengan tanpa perkawinan.
Analoginya bandingkan dengan kata-kata : saya tidur di luar rumah, artinya
rumahnya ada tetapi saya tidur di luarnya, tetapi kalau saya tidur tanpa rumah,
berarti rumahnya tidak ada. Oleh karena itu jika disebut "perkawinan"
sudah pasti perkawinan itu sudah dilakukan minimal sesuai dengan pasal 2 ayat 1
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, itulah yang disebut "
luar perkawinan ", sedangkan perzinaan sama sekali tidak tersentuh dengan
term ”perkawinan”.
(3) Anak yang lahir tanpa perkawinan, adalah anak
yang dilahirkan dari hubungan antara pria dengan wanita tanpa ada ikatan
perkawinan. Inklusif anak yang lahir atas pertemuan ovum dengan sperma dari pasangan
suami istri yang menikah secara sah keberadaan anak melalui Bayi Tabung, namun
anak tersebut ketika dalam masa kandungan dititipkan kepada rahim selain ibunya
yang sah. Anak yang lahir demikian tidak sah secara materiil juga tidak sah
secara formil.
Pemahaman yang
keliru terhadap putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 terutama
terhadap kalimat “anak yang dilahirkan di luar perkawinan” membawa kepada
perdebatan panjang. Frasa “di luar perkawinan” sangat berbeda maknanya dengan
frasa “tanpa perkawinan”. Anak yang dilahirkan di luar perkawinan atau anak
yang lahir dari perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan agama dan kepercayaannya
tapi tidak tercatat pada KUA atau Kantor Catatan Sipil merupakan anak yang sah
secara materiil tapi tidak sah secara formil.
Sedangkan anak yang
dilahirkan tanpa perkawinan orang tuanya atau anak yang dilahirkan dari
hubungan antara lelaki dengan perempuan tanpa adanya ikatan perkawinan
merupakan anak yang tidak sah secara materiil juga tidak sah secara formil
(anak zina). “Jadi putusan MK ini tidak bisa dihubungkan dengan perzinahan atau
akibat perzinahan, kasus yang putusan ini hanya berkaitan dengan ”pencatatan perkawinan”.
C.
Tinjauan Hukum Islam Perspektif Fiqh
Penetapan
asal usul anak dalam perspektif hukum Islam memiliki arti yang sangat penting,
karena dengan penetapan itulah dapat diketahui hubungan mahram (nasab) antara
anak dengan ayahnya. Kendatipun pada hakikatnya setiap anak yang lahir berasal
dari sperma seorang laki-laki dan sejatinya harus menjadi ayahnya, namun hukum
Islam memberikan ketentuan lain. Seorang anak dapat dikatakan sah memiliki
hubungan nasab dengan ayahnya jika terlahir dari perkawinan yang sah.
Sebaliknya anak yang lahir di luar perkawinan yang sah, tidak dapat disebut
dengan anak yang sah, biasa disebut dengan anak zina atau anak di luar
perkawinan yang sah dan ia hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya. Dengan demikian
membicarakan asal usul anak sebenarnya membicarakan anak yang sah.
Tampaknya
fikih menganut pemahaman yang cukup tegas berkenaan dengan anak yang sah.
Kendatipun tidak ditemukan definisi yang jelas dan tegas berkenaan dengan anak
yang sah, namun dilihat dari definisi ayat-ayat al-Qur'an dan Hadis, dapat
diberikan batasan, anak yang sah adalah anak yang lahir oleh sebab dan di dalam
perkawinan yang sah.
Selain
itu, disebut sebagai anak zina (walad al-zina) yang hanya memiliki hubungan
nasab dengan ibunya. Secara implisit al-Qur'an, 23/ 5-6 menyatakan: Artinya:
Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka
atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada
tercela (QS. al- Mu'minun: 5-6).[9]
Selanjutnya
di dalam surah al-Isra', 17/ 32 juga dijelaskan: Artinya: Jangan kamu dekati
zina, sesungguhnya zina adalah perbuatan yang keji dan seburuk-buruk jalan (QS.
al-Isra': 32).[10] Larangan-larangan
al-Qur'an di atas, tidak saja dimaksudkan agar setiap orang menjaga kehormatan
dirinya, tetapi juga yang lebih penting menghindarkan dampak terburuk dari
pelanggaran larangan itu. Lahirnya anak zina, sebenarnya adalah akibat dari
pelanggaran larangan-larangan Allah tersebut.
Selanjutnya,
kendatipun fikih tidak memberikan definisi yang tegas tentang anak yang sah, namun
para ulama mendefinisikan anak zina sebagai kontra anak yang sah. Anak zina
adalah anak yang dilahirkan ibunya dari hubungan yang tidak sah. Dan anak li'an
adalah anak yang secara hukum tidak dinasabkan kepada bapaknya, setelah suami
istri saling meli'an dengan sifat tuduhan yang jelas.[11]
Definisi
di atas membicarakan dua jenis status anak. Anak zina yang lahir dari hubungan
yang tidak sah (zina) dan anak li'an. Apabila terjadi perkawinan antara suami
dan istri secara sah, kemudian istri mengandung dan melahirkan anaknya, maka
suami dapat mengingkari kesahan anak itu apabila:
a Istri melahirkan
anak sebelum masa kehamilan.
b Melahirkan anak
setelah lewat batas maksimal masa kehamilan dari masa perceraian.[12]
Berkenaan
dengan batas minimal masa kehamilan, jumhur ulama telah menetapkannya selama
enam bulan. Dasarnya adalah firman Allah surah al-Ahqaf: 15 yang artinya: Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat
baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah,
dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya
adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai
empat puluh tahun ia berdo'a: "Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri
ni'mat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan
supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan
kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat
kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orangorang yang berserah
diri". (QS. al-Ahqaf: 15).[13]
Selanjutnya
di dalam surah Luqman: 14, Allah SWT. berfirman: Artinya: Dan kami perintahkan
kepada manusia terhadap dua orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya
dalam keadaan lemah dan bertambah lemah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah
kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Ku lah kembalimu (QS.
Luqman: 14).[14]
Dalam
surah al-Ahqaf ayat 15 dijelaskan secara kumulatif, jumlah mengandung dan
menyapih yaitu 30 (tiga puluh) bulan. Sedangkan dalam surat Luqman dijelaskan
batas maksimal menyapih adalah 2 tahun (24 bulan). Jadi masa hamil yang paling
sedikit adalah 30 puluh bulan dikurangi 24 bulan sama dengan enam bulan.[15]
Informasi ini
diberikan oleh Ibn Abbas dan disepakati para ulama yang menafsirkan bahwa ayat
pertama menunjukkan bahwa tenggang waktu mengandung dan menyapih adalah 30
bulan. Ayat kedua menerangkan bahwa menyapihnya setelah bayi disusukan secara sempurna
membutuhkan waktu dua tahun atau dua puluh empat bulan. Berarti bayi membutuhkan
waktu 30-24 = 6 bulan di dalam kandungan.[16]
Pendapat
ini agaknya disepakati oleh ahli fikih yang diperoleh dengan dalil isyarah
al-Qur'an. Bahkan Wahbah al-Zuhaily menyebutnya sebagai satu bentuk pengambilan
hukum yang sahih.[17]
Jika dianalisis pandangan fikih berkenaan dengan anak sah ini dapatlah dipahami
bahwa anak sah dimulai sejak terjadinya konsepsi atau pembuahan sel telur
(ovum) oleh sperma yang terjadi pada rahim wanita calon ibu dan konsepsi ini
haruslah terjadi di dalam perkawinan yang sah. Dari sinilah penetapan anak sah
tersebut dilakukan.[18]
Dengan
demikian Hukum Islam menegaskan bahwa seorang anak supaya dapat dianggap sebagai
anak yang sah dari suami ibunya, anak itu harus lahir sekurangkurangnya enam
bulan sesudah pernikahan atau di dalam tenggang 'iddah selama empat bulan
sepuluh hari sesudah perkawinan terputus.[19]
Mengenai
tenggang waktu ini ada aliran di antara ahli fikih yang berpendapat seorang
anak lahir setelah melampaui tenggang 'iddah sesudah perkawinan terputus,
adalah anak sah dari bekas suaminya asal dapat dianggap bahwa kelahirannya
disebabkan oleh perbuatan bersetubuh antara bekas suami istri itu. Dengan
adanya perbedaan pandangan tersebut, ditetapkanlah tenggang waktu maksimun
selama empat tahun, asal saja nyata bahwa dalam waktu empat tahun tadi ibunya
tidak ada mengeluarkan kotoran.[20]
Dengan demikian, apabila bayi lahir kurang dari enam bulan sejak masa
perkawinan, maka anak tersebut tidak dapat dihubungkan kekerabatannya dengan
bapaknya kendatipun lahir dalam perkawinan yang sah. la hanya memiliki hubungan
nasab dengan ibunya saja.
Disinilah
perbedaannya, antara pandangan figh dengan dengan Undang-undang Perkawinan di
Indonesia, oleh karena pandangan figh tidak mengenal pencatatan nikah, maka
pengertian luar perkawinan sama pengertiannya dengan zina, sedangkan
Undang-undang Perkawinan Indonesia karena mengharuskan pencatatan, maka tidak
dapat di samakan antara luar perkawainan dengan zina. Luar perkawinan di Indonesia
menurut figh adalah sah sedangkan zina menurut pandangan figh adalah tidak
pernah tersentuh dengan istilah perkawinan.
D.
Anak Sah Dalam Perspektif Undang-undang
Pembahasan
“ anak sah “ ditinjau dari undang-undang dapat dilihat dari beberapa ketentuan,
antara lain : Pasal 28-B ayat 1 Undang-undang Dasar Tahun 1945 berbunyi : “ Setiap
orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan
yang sah “. Kata-kata “ melanjutkan keturunan “ apapun pengertian pasti terjemahan
konkritnya adalah “ anak “ yakni kehadirannya melalui pertemuan antara ovum dan
spermatozoa baik berdasarkan perkembangan teknologi yang menyebabkan terjadinya
pembuahan, yang keberadaannya harus dilakukan melalui perkawinan yang sah, hal
ini dipertegas dengan Pasal 42 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan, yang berbunyi : “ anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam
atau sebagai akibat perkawinan yang sah “.
Pasal
ini tidak termasuk yang dilakukan uji materiil oleh MK, oleh karena itu
keberadaannya masih eksis dan keberlakuannya masih harus dipedomani, jika menurut
putusan MK memandang tidak tepat jika menetapkan bahwa anak yang lahir dari
suatu kehamilan karena lembaga seksual di luar perkawinan, hanya memiliki
hubungan dengan ibunya, itu sudah benar tetapi tidak dapat melepaskan diri dari
Pasal 28-B ayat 1 UUD 1945 dan Pasal 42 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974.
Oleh
karena putusan MK tersebut tidak dapat melepaskan diri dari ketentuan
pasal-pasal tersebut diatas, maka kata-kata anak diluar perkawinan tidak dapat
dikatakan anak hasil perzinahan, karena anak hasil perzinahan bertentangan
dengan kedua pasal tersebut diatas, begitu juga jika yang dimaksudkan oleh
undang-undang adalah “ zina “ maka bahasanya jelas yaitu zina, bukan luar
perkawinan, seperti tercantum dalam Pasal 44 ayat (1) Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974, yaitu berbunyi “ Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang
dilahirkan oleh isterinya, bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina
dan anak itu akibat dari perzinaan tersebut. “ Pasal itu jelas membedakan
antara zina dengan luar perkawinan, Oleh karena itu tidak pada tempatnya jika
kata-kata anak luar pekawinan dimaknai dengan anak hasil perzinahan.
E. Tinjauan
Posisi Kasus
Bahwa
pada tanggal 20 Desember 1993, di Jakarta telah berlangsung pernikahan antara
Pemohon (Hj. Aisyah Mochtar alias Machica binti H. Mochtar Ibrahim) dengan
seorang laki-laki bernama Drs. Moerdiono, dengan wali nikah almarhum H. Mochtar
Ibrahim, disaksikan oleh 2 orang saksi, masing-masing bernama almarhum KH. M.
Yusuf Usman dan Risman, dengan mahar berupa seperangkat alat shalat, uang 2.000
Riyal (mata uang Arab), satu set perhiasan emas, berlian dibayar tunai dan
dengan ijab yang diucapkan oleh wali tersebut dan qobul diucapkan oleh
laki-laki bernama Drs. Moerdiono. Lebih jelas lagi, Moerdiono seorang suami yang
sudah beristri menikah lagi dengan istri kedua, Hj. Aisyah Mokhtar, dengan akad
nikah secara Islam tetapi tidak di hadapan PPN/KUA Kec. yang berwenang sehingga
tidak dicatat dalam buku akta nikah dan tidak memiliki kutipan akta nikah. Dari
perkawinan tersebut dilahirkan seorang anak laki-laki bernama Muhammad Iqbal
Ramadhan bin Moerdiono. Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan menyatakan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku." Kemudian Pasal 43 ayat (1) UUP tersebut
menetapkan bahwa: 'Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Oleh sebab itu, Hj. Aisyah
maupun Iqbal merasa dirugikan hak konstitusionalnya oleh ketentuan Pasal 2 ayat
(2) dan Pasal 43 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan tersebut
karena perkawinan HJ, Aisyah tidak diakui menurut hukum dan anaknya (Iqbal) tidak
mempunyai hubungan perdata dengan ayahnya (Moerdiono) dan keluarga ayahnya.
Para
Pemohon yang berkedudukan sebagai perorangan warga negara Indonesia mengajukan
permohonan pengujian ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU
Perkawinan), yang pada intinya sebagai berikut;
1.
Bahwa menurut
para Pemohon ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan
menimbulkan ketidakpastian hukum yang mengakibatkan kerugian bagi para Pemohon,
khususnya yang berkaitan dengan status perkawinan dan status hukum anak yang
dihasilkan dari hasil perkawinan Pemohon 1;
2.
Bahwa hak
konstitusional para Pemohon telah dicederai oleh norma hukum dalam
Undang-Undang Perkawinan. Norma hukum ini jelas tidak adil dan merugikan karena
perkawinan Pemohon 1 adalah sah dan sesuai dengan rukun nikah dalam islam.
Merujuk ke norma konstitusional yang termaktub dalam Pasal 28 B ayat (1) UUD
1945 maka perkawinan Pemohon 1 yang dilangsungkan sesuai rukun nikah adalah sah
tetapi terhalang oleh Pasal 2 ; UU Perkawinan, akibatnya menjadi tidak sah
menurut norma hukum. Akibatnya, pemberlakuan norma hukum ini berdampak terhadap
status hukum anak (Pemohon II) yang dilahirkan dari perkawinan Pemohon I
menjadi anak di luar nikah berdasarkan ketentuan norma hukum dalam Pasal 34
ayat (1) Undang-Undang Perkawinan. Disisi lain, perlakuan diskriminatif ini sudah
barang tentu menimbulkan permasalahan karena status seorang anak di muka hukum
menjadi tidak jelas dan sah.
3.
Singkatnya
menurut Pemohon, ketentuan a quo telah menimbulkan perlakuan yang tidak sama di
hadapan hukum serta menciptakan perlakuan yang bersifat diskrimintaif, karena
itu menurut para Pemohon ketentuan a quo dianggap bertentangan dengan ketentuan
Pasal 28 B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Menurut
Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012, menyatakan, bahwa
Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara RI. No.
3019) yang menyatakan, " Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang dimaknai
menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan
berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut
hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya ; Pasal 43 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3019) yang menyatakan, " Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya", tidak
memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata
dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan
teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hokum ternyata mempunyai hubungan
darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus dibaca, "Anak yang
dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan
keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan
berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hokum
mempunyai hubungan darah termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya
". Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17
Februari 2012,itu: ~ In abstracto, yaitu bersifat abstrak, Yang Inkonkrito
adalah putusan Pengadilan.
Berdasarkan
hal tersebut, menurut penulis bahwa putusan MK tidak perlu dipertentangkan atau
dinyatakan sesuai dengan syari’ah karena secara hakiki tidak ada yang sesuai
dan tidak ada yang bertentangan dengan syari’ah. Sehubungan dengan itu, Ketua
MK Mahfud M.D., mengklarifikasi putusan tersebut dengan menyatakan: Bahwa yang
dimaksud majelis dengan frasa “anak di luar perkawinan” bukan anak hasil zina,
melainkan anak hasil nikah sirri. Hubungan perdata yang diberikan kepada anak
di luar perkawinan tidak bertentangan dengan nasab, waris, dan wali nikah. Hak
yang dapat dituntut anak di luar perkawinan yang tidak diatur fikih, antara
lain, berupa hak menuntut pembiayaan pendidikan atau hak menuntut ganti rugi
karena perbuatan melawan hukum yang merugikan orang lain seperti yang diatur
dalam Pasal 1365 KUH Perdata atau hak untuk menuntut karena ingkar janji.
Intinya adalah hak-hak perdata selain hak nasab, hak waris, wali nikah, atau
hak perdata apa pun yang tidak terkait dengan prinsip-prinsip munakahat sesuai
fikih.[21]
Klarifikasi
Mahfud M.D itu sudah benar, karena putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17
Februari 2012, memberikan putusan atas permohonan Machica yang telah menikah
dengan Moerdiono sesuai Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, Pasal 2 ayat 1, jadi
oleh karena putusan MK tersebut mengabulkan permohonan Machica yang sudah menikah
dengan Moerdiono sangat naïf bila diterapkan untuk kasus perzinahan, hal ini
sesuai dengan Kaidah Ushul Figh[22]
yang mengatakan bahwa : Perintah pada sesuatu maka perintah juga atas sarananya
dan bagi sarananya hukumnya sama dengan hal yang dituju. Kasus ini adalah
pernikahan yang tidak tercatat dan dapat diterapkan dalam kasus lain sepanjang
kasus posisinya sama dengan kasus itu, jika kasus Machica diterapkan pada kasus
perzinahan maka penerapannya menjadi salah.
III. KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA
Kekuasaan
mengadili bagi Pengadilan Agama ditentukan oleh Pasal 49 Undang-undang Nomor 7
Tahun 1989, yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006, dan
diubah lagi dengan Undangundang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama. Dalam
penjelasan Pasal 49 tersebut, terdapat dua (2) butir kekuasaan Pengadilan Agama
di antara 22 butir kekuasaan mengadili bagi pengadilan agama, yang terdapat
pada penjelasan angka 37 Pasal 49 huruf a Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 yang
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006, dan diubah lagi dengan
Undangundang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama, yakni : 1. Angka 14
mengenai “ putusan sah tidaknya seorang anak” , dan 2. angka 20 mengenai “
penetapan asal usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan
hukum Islam”
Sehubungan
dengan kewenangan tersebut diatas, untuk menyikapi putusan MK Nomor
46/PUU-VIII/2010, ini khusus untuk Pengadilan Agama se-Jawa Tengah Pengadilan
Tinggi Agama Jawa Tengah telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor
W11-A/863/HK.00.8/III/2012 yang berisi memberi petunjuk bahwa Pengadilan Agama
dapat menerima permohonan tentang pengesahan anak, penetapan asal usul anak dan
penetapan pengangkatan anak sepanjang memenuhi syarat-syarat yang berpedoman
kepada :
a.
Pasal 28-B ayat 1
UUD tahun 1945 yang berbunyi “ Setiap orang berhak membentuk keluarga dan
melanjutkan keturunan melalui Perkawinanan yang sah “.
b.
Pasal 42
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang berbunyi “Anak yang sah
adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.”
c.
Pasal 2 ayat 1
dan 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yang berbunyi “ Perkawinan adalah sah,
apabila dilakukan menurut hokum masing-masing agamanya dan kepecayaannya itu ”;
dan ayat (2), yaitu : “ Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundangundangan yang berlaku “. Jika hanya memenuhi Pasal 2 ayat 1 saja,
dapat mengajukan permohonan Itsbat Nikah di Pengadilan Agama.
d.
Putusan MK Nomor
46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012 yang berbunyi : harus dibaca,
"Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan
ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat
dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut
hukum mempunyai hubungan darah termasuk hubungan perdata dengan keluarga
ayahnya ".
Persyaratan-persyaratan yang dipedomani tersebut
diatas bersifat kumulatif. Penetapan / putusan Pengadilan Agama tentang
pengesahan anak dan asal usul anak itu akan menjadi dasar bagi Kantor Catalan
Sipil untuk menerbitkan Akta Kelahiran. Dapat dimaklumi bahwa sebelum lahirnya Undang-undang
No. 7 tahun 1989 bahwa dalam hal kekuasaan untuk menetapkan pengesahan anak
oleh Pengadilan Agama dianggap belum berlaku efektif sebab berdasar Pasal 43
ayat 2 Undang-undang No. 1 tahun 1974 bahwa ketentuan dalam undang-undang, baru
berlaku efektif hanya setelah diatur oleh Peraturan Pemerintah. Namun setelah
lahirnya Undang-undang No. 7 tahun 1989, segala ketentuan dalam undangundang tersebut
sejak diundangkan tanggal 29 Desember 1989 telah berlaku efektif tanpa menunggu
pengaturan oleh Peraturan Pemerintah kecuali yang tegas-tegas dalam pasal yang
bersangkutan disebutkan demikian. Ini berarti kekuasaan Pengadilan Agama
terhadap penetapan pengesahan anak, asal-usul anak dan pengangkatan telah
sepenuhnya berlaku secara efektif.
IV. KESIMPULAN
Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012 terutama
kalimat “ anak yang dilahirkan di luar perkawinan “ tidak dapat diartikan
sebagai anak yang lahir dari perzinahan, karena perzinahan sama sekali tidak
tersentuh dengan perkawinan. Hal ini didasarkan dengan alasan-alasan sebagai
berikut :
1.
Perkawinan di
Indonesia harus dilaksanakan sesuai dengan prosedur Pasal 2 ayat 1 dan 2
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, itulah perkawinan yang
sesungguhnya, tetapi jika perkawinan itu hanya dilaksanakan sesuai Pasal 2 ayat
1 saja berarti perkawinan itu dilakukan di luar prosedur Pasal 2 ayar 2, itulah
yang disebut “ luar perkawinan “
2.
Ketentuan yang
mengatur tentang kehadiran anak yang sah adalah harus melalui perkawinan yang
sah sesuai dengan Pasal 28-B ayat 1 UUD 1945, dan Pasal 42 Undang-undang Nomor
1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, dengan demikian tidak ada dasarnya bahwa anak hasil
perzinahan itu dihukumkan sebagai anak yang sah.
3.
Uji Materi yang
dilakukan oleh MK melalui putusan Nomor 46/PUU/VIII/2010, adalah kasus yang
diajukan oleh Machica Mochtar yang dinikahi oleh Drs. Moerdiono, keduanya
menikah secara Islam, oleh karena itu Machica dan Moerdiono tidak dapat
dikelompokkan sebagai pasangan yang melakukan perzinahan. Dengan demikian putusun
MK tidak dapat diterapkan untuk kausu-kasus perzinahan, dapat diterapkan untuk
kasus lain sepanjang kasus posisinya sama dengan kasus Machica ;
4.
Jika Luar
perkawinan diartikan perzinahan, berarti anak yang lahir di Indonesia semuanya
menjadi anak sah tidak pandang bulu, karena sama artinya antara anak yang sah
dengan anak yang tidak sah, hal ini sulit diterima oleh akal sehat, bahwa yang
benar sama dengan yang salah, yang halal sama dengan yang haram, uang gaji
pegawai sama dengan uang hasil pencurian. Ini berarti kiamat sebelum kiamat. Semoga
saja benar, jika tidak benar berarti salah.
Wallahu A’lam bi al showab.
v. DAFTAR PUSTAKA
Abdul
Khamid Hakim, Kitab Al-Bayan. 1983.
Amir
Syarifuddin, Hukum Perkawinan islam Di Indonesia Antara Figh Munakahat dan
Undang-undang Perkawinan, Kencana, Jakarta. 2007
Ahmad
Amrullah, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional (Mengenang 65 tahun
Prof. Dr. Bustanul Arifin, S.H), Jakarta: Gema Insani Press, 1996,
Buah
Simalakama Putusan MK dalam Harian Surat Kabar Jawa Pos, Rabu, 28 Maret 2012
Fathurrahman
Djamil, “ Pengakuan Anak Luar Nikah dan Akibat Hukumnya", dalam Chuzaimah T.
Yanggo dan Hafiz Anshary, Problematika Hnkum Islam Komtemporer, Buku Pertaama,
Jakarta: Firdaus, 2002.
Dadang
Hawari, Marriage Counseling (Konsultasi Perkawinan), Jakarta: FKUI, 2006.
Jaih
Mubarok, Modernisasi Hukum Perkawinan di Indonesia, Bandung: Pustaka Bani
Quraisy, 2005.
Mukhlisin
Muzarie, Kontroversi Perkawinan Wanita Hamil, Yogyakarta: Pustaka Dinamika,
2002.
Wirjono
Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, Bandung: Sumur, 2010.
Moh
Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-undang Nomor. 1 Tahun 1974 dari
Segi Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2002.
Ahmad
Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 1998.
M.
Quraish Shihab, Perempuan, Jakarta: Lentera Hati, 2006.
Yayasan
Penterjemah / Pentafsir al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya: DEPAG
RI, 1978.
Undang-undang
Dasar RI Tahun 1945.
Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Putusan
MK Nomor 46/PUU-VIII/2010, tanggal 17 Febuari 2012.
Inpres
Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam.
Surat
Edaran PTA Semarang Nomor W11-A/863/HK.00.8/III/2012 tanggal 19 Maret 2012.
[1]Pada tahun 1953, Departemen Agama menetapkan 13 (tiga
belas) kitab fikih yang dijadikan pedoman dalam memutuskan perkara di
Pengadilan Agama. Tiga belas kitab tersebut adalah: (1) al-Bajuri, (2)
Fathal-Mu'in, (3) Syarqawi 'ala al-Tahrir, (4) al-Mahalli, (5) Fath al-Wahab,
(6) Tuhfat, (7) Tagrib al-Musytaq (8) Qawanin al- Syar'iyyat Utsman Ibn Yahya,
(9) Qawanin. al-Syar'iyyat Shadaqat Di'an, (10) Syamsuri fi al-Fara'idh, (11)
Bugyat al-Mustarsyidin, (12) al-Fiqh 'ala Madzahib al-Arba'ah, dan (13) Mugni
al-Muhtaj. Lihat Amrullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum
Nasional (Mengenang 65 tahun Prof. Dr. Bustanul Arifin, S.H), Jakarta: Gema
Insani Press, 1996, hlm. 11. Jaih Mubarok, Modernisasi Hukum Perkawinan di
Indonesia, Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2005, hlm. 33.
[2] Ibid., hlm. 69.
[3] Mukhlisin Muzarie, Kontroversi Perkawinan Wanita
Hamil, Yogyakarta: Pustaka Dinamika, 2002, hlm. 110.
[4] Ibid., hlm. 110.
[5]Jaih Mubarok, op.cit., hlm. 87.
[6]Moh Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-undang
Nomor. 1Tahun 1974 dari Segi Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: PT Bumi Aksara,
2002, hlm.224.
[7] M. Quraish Shihab, Perempuan, Jakarta: Lentera Hati,
2006, hlm. 216.
[8] Dadang Hawari, Marriage Counseling (Konsultasi
Perkawinan), Jakarta: FKUI, 2006, hlm. 83.
[9] Yayasan Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, Al-Qur’an dan
Terjemahnya, Surabaya: DEPAG RI, 1978, hlm. 526.
[10]Ibid., hlm. 429.
[11]Fathurrahman Djamil, "Pengakuan Anak Luar Nikah
dan Akibat Hukumnya", dalam Chuzaimah T. Yanggo dan Hafiz Anshary, Problematika
Hnkum Islam Komtemporer, Buku Pertaama, Jakarta: Firdaus, 2002, hlm. 129.
[12] 14 Ibid.,
[13]Yayasan Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, op.cit.,
hlm.824.
[14] Ibid., hlm. 654.
[15]Ibid
[16] Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta:
Rajawali Pers, 1998,hlm. 224.
[17] Musthafa Rahman, Anak Luar Nikah: Status dan Implikasi
Hukumnya, Jakarta: Atmaja, 2003, hlm. 45.
[18] Ibid.
[19] 21 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di
Indonesia, Bandung: Sumur,2010, hlm. 72.
[20] Ibid., hlm. 72.
[21] Buah Simalakama Putusan MK dalam Harian Surat Kabar
Jawa Pos, Rabu,28 Maret 2012
[22] Abdul Khamid Hakim, 1983, Kitab Al-Bayan, h, 21.