Kamis, 24 Mei 2018

Sejarah Pesantren















PESANTREN
Asal-Usul Pesantren
Istilah pesantren/pondok pesantren lebih dikenal di kalangan masyarakat Jawa-Madura, sedangkan di Minangkabau lembaga pendi-di-kan sejenis pesantren disebut surau dan di Aceh disebut rangkah meunasah. Tentang asal usul istilah pesantren dapat dilacak dari beberapa sumber. Zamakhsyari Dhofier mengatakan, istilah pondok barangkali berasal dari pengertian asrama para santri yang disebut pondok atau tempat tinggal yang terbuat dari bambu, atau mungkin ber-asal dari bahasa Arab funduq yang berarti hotel atau asrama. Sedangkan istilah pesantren diambil dari kata dasar santri ditambah awalan pe dan akhiran an, yang menunjukkan tempat sehingga pesantren berarti tem-pat tinggal para santri. 
Anthony H. Johns berpendapat bahwa istilah santri berasal dari bahasa Tamil yang berarti guru mengaji. Sedangkan menurut C.C. Berg istilah santri berasal dari bahasa India, shastri, yang berarti orang yang mengetahui kitab-kitab suci agama Hindu, atau seorang sarjana yang ahli kitab-kitab suci agama Hindu. Clifford Geertz juga berpendapat berbeda. Menurutnya, istilah santri berasal dari bahasa Sansekerta, shastri, yang berarti ilmuwan Hindu yang pandai menulis. Pendapat Geertz ini juga didukung oleh Abu Hamid kendati dengan makna berbeda. Menurutnya, kata santri berasal dari bahasa Sansekerta sant dan tra. Sant berarti orang baik, tra berarti suka menolong. Dengan demikian, kata santri berarti orang baik yang suka menolong.
Terlepas dari perbedaan pendapat di atas, asal usul kata santri dan pesantren agaknya terkait erat dengan dari mana asal usul tradisi pe-santren itu sendiri. Satu hal yang dapat dipastikan, pesantren bukanlah sebuah “makhluk asing” yang muncul tiba-tiba. Ada semacam kontinu-itas dan perubahan (continuity and change) dalam sejarah perkembangan pesantren. Kontinyuitas tersebut dapat dilihat dua teori tentang asal usul pesantren. Pertama, pendapat sekelompok sejarawan seperti Soe-garda Poerbakawatja yang mengatakan bahwa pesantren merupakan kelanjutan dari lembaga pendidikan Hindu-Budha pra-Islam yang ber-asal dari India. Berdasar teori ini, berarti jauh sebelum Islam datang dan berkembang, di wilayah Nusantara sudah ada lembaga pendidikan yang memiliki karakteristik mirip pesantren, baik dalam bentuk maupun sistemnya. Setelah Islam datang dan tersebar di Jawa, sistem tersebut lalu diadopsi oleh umat Islam.
Teori pertama ini didukung oleh sejumlah istilah teknis pesantren yang berasal dari India, seperti mengaji dan istilah pesantren sendiri. Alasan lain yang memperkuat teori ini sebagaimana dijelaskan Soegarda, adanya kesamaan tradisi antara sistem pendidikan Hindu dengan sistem pendidikan pesantren, seperti materi pendidikannya bersifat agama, guru tidak mendapat gaji, penghormatan yang tinggi terhadap guru, dan para pelajar meminta-minta untuk memperoleh nafkah.
Teori kedua, sebagaimana dikemukakan M. Dawam Rahardjo, pe-san-tren merupakan kesinam-bungan dari pendidikan asli Islam di Mekah yang berakar dari tradisi Nabi Muhammad SAW dan para Sahabat-Nya. Sebelum Nabi menyebarkan Islam secara terbuka, beliau terlebih dahulu membentuk kelompok-kelompok pengajian. Mula-mula mengambil tem-pat di suatu bukit di luar kota Mekah, kemudian pindah ke rumah se-orang pemuda bernama al-Arqam ibn Abi al-Arqam. Pengikut pengajian inilah yang kemudian menjadi ujung tombak penyebaran Islam ke berbagai penjuru. Atas dasar hal tersebut, dimungkin-kan bahwa pesan-tren merupakan “fotokopi” dari tradisi pendidikan masa Nabi. Teori ini didukung sebuah hipotesis bahwa Islam telah ada di Nusantara pada abad ke-1 H dan dibawa langsung dari Mekah. Beberapa istilah teknis pesantren memang tidak ditemukan dalam bahasa Arab, namun—seba-gai-mana dikatakan Karel A. Steembrink—terlalu sederhana apabila istilah yang tidak diberi cap Arab bukan berasal dari Islam.
Kedua teori di atas dapat dicarikan titik temu. Dari mana pun asal usul tradisi pesantren, tampak adanya kesinambungan dan perubahan. Letak kesinambungan-nya, antara “Teori India” dan “Teori Mekah” menyi-rat--kan sebuah mata rantai sejarah sehingga memunculkan lembaga yang bernama pesantren. Sedangkan letak perubahannya, pada “Teori India” misalnya dapat dilihat dari proses islamisasi terhadap pesantren. Pada “Teori Mekah” hal tersebut dapat dilihat dari aspek-aspek yang membuat pesantren menjadi subkultur seperti cara hidup, tata nilai yang dianut serta hirarki kekuasaan internal. Dengan kata lain, asal usul pesantren merupakan persenyawaan antara tradisi Islam yang berakar dari tradisi Nabi di Mekah dan tradisi asli Nusantara (indi-ge-nous).
Kesinambungan dua teori di atas dapat digunakan untuk mema-hami pernyataan Martin Van Bruinessen bahwa ada paradoks pada tradisi pesantren. Di satu sisi ia berakar kuat di bumi Nusantara sehingga ia dianggap sebagai lembaga khas Indonesia, namun pada sisi yang lain berorientasi internasional, dengan Mekah sebagai pusatnya. Martin memperkuat pernyataannya dengan mengambil contoh tradisi kitab kuning yang jelas bukan berasal dari Indonesia. Semua kitab klasik yang dipelajari di pesantren berbahasa Arab dan sebagian besar ditulis sebelum Islam masuk ke Nusantara. Hampir semua kiai besar menyelesaikan tahap akhir studinya di pusat-pusat pengajaran Islam prestisius di Arabia. Mereka bisa dianggap sebagai perantara antara tradisi besar keilmuan Islam yang internasional dengan varian tradisi lokal yang masih relatif sederhana di Indonesia.

Sistem Pendidikan Pesantren
Secara filosofis, kelahiran pesantren tengah-tengah masyarakat ti-dak jauh berbeda dengan filosofi terbentuknya pasar sebagai tempat jual beli. Antara pembeli dan penjual tidak dapat begitu saja dipaksa menem-pati pasar tertentu. Interaksi antara pembeli dan penjuallah yang men-cip-takan tempat, yang kemudi-an disebut pasar.Demikian pula dengan pesantren, lembaga ini tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil “dialog” dengan masyarakat sekitarnya. 
Secara umum berdirinya sebuah pesantren di suatu wilayah ber-mu-la dari kehadiran seorang kiai di wilayah tersebut. Mula-mula ia mendirikan musolla untuk menampung masyarakat sekitar yang datang mengaji. Kepiawaian dan kepandaian kiai semakin hari kian tersebar ke berbagai daerah. Substansi pengajian-pun semakin meningkat dan padat, dari hanya sekedar bisa membaca syahadat meningkat ke belajar al-Qur’an,  kitab-kitab fiqh, hingga akhirnya seluruh khasanah Islam yang dimiliki kiai disuguhkan dalam forum pengajian tersebut. Se-mangat yang tinggi dari para jamaah untuk terus menerus belajar agama pada kiai,  terutama di kalangan anak-anak dan pemuda, mendo-rong mereka untuk tetap berada di samping kiai agar dapat mewarisi ilmu darinya secara lebih intensif. Karena daya tampung rumah kiai sangat terbatas, para santri bersama wali santri dan masyarakat sekitar secara bergotong royong mendirikan asrama (pondok) sebagai tempat tinggal mereka selama menuntut ilmu kepada kiai. Sejak itulah komu-nitas pesantren mulai dikenal masyarakat. 
Sebagai sebuah lembaga pendidikan, pesantren memiliki sistem pendidikan yang terdiri atas beberapa komponen. Zamakhsyari Dhofier menyebut lima komponen yang membentuk sebuah sistem pendidikan pesantren, yang terdiri atas; kiai, santri, pondok, masjid, dan kitab-kitab klasik.
Dalam perkembangan selanjutnya, kelima kompo-nen pesantren ter-se-but mengalami transformasi seiring perkembangan zaman. Menurut Azyumardi Azra, transformasi yang terjadi di pesantren pada mulanya merupakan respon atas tantangan sistem pendidikan modern, baik dari sistem pendidikan kolonial yang datang lebih awal maupun dari sistem pendidikan modern Islam yang datang kemudian. Kendati awalnya kalangan pesantren menyambut dingin dan penuh curiga terhadap dua model pendidikan modern tersebut, secara perlahan pesantren mulai membuka diri terhadap perubahan.
Secara umum perubahan yang terjadi pada lembaga pesantren tampak pada aspek-aspek berikut; pertama, perubahan menyangkut kondisi fisik pesantren, dengan dibangunnya gedung dan fasilitas baru. Sebagan malah sudah dilengkapi dengan peralatan modern semisal komputer, internet, dan sejenisnya. Kedua, perubahan pola kepemim-pinan dan kepengasuhan pesantren, dari pola kepemimpinan individual menjadi pola kepemimpinan kolektif. Ketiga, perubahan menyangkut program dan penyelenggaraan pendidikan, dari program pendidikan agama murni berkembang ke program pendidikan umum dan kete-rampilan, dari sistem non-klasikal dengan pola sorogan dan bandongan ke sistem kelas. Dari aspek tempat, telah mengalami perluasan, jika sebelumnya menempati wilayah pedesaan, kini pesantren telah mela-kukan ekspansi ke kota. Tidak sulit menemukan pesantren yang berdiri megah di tengah-tengah kota.
Khusus perubahan di bidang kurikulum dan program pendidikan, berikut akan diulas lebih lengkap.

Perkembangan Pesantren
Al-Muhâfadhah ‘alâ al-qadîm al-shâlih wa al-akhdzu bi al-jadîd al-ashlah (memelihara nilai-nilai lama yang baik dan mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik). Kaidah yang sangat akrab dengan dunia pesan-tren ini menjadi salah satu motor penggerak para kiai untuk melakukan transformasi pengelolaan pesantren sejalan dengan tuntutan zaman. Salah satu aspek penting yang mengalami perubahan dalam lembaga pendidi-kan pesantren adalah aspek kurikulum, dari kurikulum lama yang sederhana dan luwes menjadi lebih beragam dan kompleks. Namun, perubahan tersebut tidak berlaku umum bagi semua pesantren. Sejumlah pesantren bahkan tetap bertahan dengan kuriku-lum lama. Demikian pula bagi pesantren-pesantren yang melakukan perubahan, aspek-aspek peruba-han-nya tidak sama antara pesantren yang satu dengan pesantren lainnya.
Dengan beragamnya aspek perubahan yang terjadi pada lembaga pesantren, berarti tipe dan karakter pesantren tidak lagi homogen seperti semula. Di masa sekarang terdapat beragam jenis pesantren, terutama jika dilihat dari kurikulum yang diterapkan. Tipe dan karakter pesantren yang ada sekarang, secara sederhana di-bagi ke dalam dua kelompok besar, yakni pesan-tren tradisional dan pesantren modern. Penge-lom--pok--an ini, sebenarnya terlalu simplistis dan merupakan bentuk penyederhanaan dari masalah yang belum tuntas. Lebih-lebih apabila istilah tradisional dikontraskan dengan istilah modern, pasti akan semakin rumit dan membingungkan. Sebab dalam konteks sosiologis, apa yang disebut modern sebenarnya tidak pernah menciptakan suatu komunitas yang baru sama sekali, pasti terkait dan merupakan kelan-jutan dari pola tradisi-onal. Lebih-lebih apabila mencermati gerak per-ubahan yang terjadi pada kurikulum pesantren, model perubahannya tidak berlangsung secara radikal tercerabut dari akarnya. Perubahannya terjadi secara bertahap dan hati-hati di atas landa-san tradisi masa lampaunya. Oleh karena itu, antara tradisi lama dengan yang terjadi belakangan tidak bisa dipisahkan secara tegas, ada semacam ke-sinam-bungan di tengah-tengah perubahan (continuity and change).

Pesantren Lama
Pada pesantren lama, kurikulum yang diterapkan sangat seder-hana, luwes dan memiliki banyak keunikan. Sifat kesederhanaan-nya sangat dipengaruhi oleh tujuan pendidikan yang semata-mata li wajhillâh, dan tidak pernah dihubungkan dengan tujuan tertentu dalam urusan dunia. Materi pelajaran yang diberikan hanya terbatas pada masalah-masalah agama dalam wujud kitab-kitab Islam klasik, al-kutub al-mu’tabarah, yang lebih dikenal dengan sebutan kitab kuning. Pada umumnya kitab-kitab yang diajarkan di tiap-tiap pesantren memiliki kesamaan jenis, yakni kitab-kitab yang berhaluan ahl al-sunnah wa al-jamâ’ah.
Kendati jenis kitab yang diajarkan di pesantren lama relatif tidak jauh berbeda, biasanya tiap-tiap pesantren memiliki ciri khas dan keis-timewaan sendiri-sendiri terhadap kitab-kitab tertentu sesuai keahlian masing-masing pengasuh pesantren. Misalnya pesan-tren--pesantren yang terkenal dengan kajian Fiqh dan Ilmu Hadits adalah Tebuireng (K.H. Hasyim Asy’ari), Tambak Beras (K.H. A. Wahab Hasbullah), Denanyar (K.H. Bisri Syamsuri), Termas (K.H. Dimjati), dan Lasem (K.H. Halil). Pesantren yang terkenal dengan kajian ilmu alat adalah Lasem (K.H. Maksum), Nglirap (Banyumas), Lirboyo (K.H. Mahrus Ali), dan pesantren Bendo (Jampes). Pesantren yang terkenal dengan kajian qira’ah al-qur’an adalah Krapyak (K.H. Munawir dan K.H. Ali Maksum), Cintapada Tasik-malaya (K.H. Dimjati), Wonokromo (K.H. Abd. Azis dan K.H. Hasbullah), dan pesantren-pesantren di Cirebon dan Banten. Pesantren yang dikenal dengan kajian tasawuf adalah Rejoso Jombang (K.H. Musta’in Ramli), Tegal Rejo (K.H. Hudhori), Al-Falak Pagantongan (K.H. Falak), dan Watucowol (K.H. Dalhar). Kemudian pesantren yang terkenal dengan kajian tafsir al-qur’an adalah Lasem (K.H. Baidowi), dan Jam-sarem (K.H. Abu Amar). Ciri khas tersebut semakin lama kian memu-dar, terutama setelah ditinggalkan kiai sepuh sedangkan generasi be-rikut-nya tidak lagi memiliki kemampuan dan keahlian sebagaimana pengasuh sebelumnya.
Dalam kegiatan belajar mengajar, metode utama yang dipakai di pon-dok pesantren adalah metode weton atau bandongan (bi al-sam’i). Melalui metode ini seorang kiai membaca dan menjelaskan suatu kitab tertentu, sedangkan para santri--dengan membawa kitab masing-masing--mendengarkan dan mencatat hal-hal yang penting pada kitab-nya masing-masing. Di sela-sela pengajian, kadang-kadang kiai melon-tar-kan pertanyaan untuk dijawab para santri. Tapi secara umum bisa dikatakan tidak ada tanya jawab di dalamnya, sehingga sulit diperoleh informasi lengkap apakah santri sudah mengerti atau belum terhadap kitab yang diajarkan.
Menurut Sahal Mahfud, proses pengajaran dengan metode ban-do-ngan ini biasanya dilakukan dengan dua tahap. Tahap pertama melalui cara “utawi iki iku” dengan rumus huruf mim, kha’, dan seterusnya. Cara ini dimaksudkan untuk menguraikan arti tiap kalimat dan huruf yang bermakna sekaligus juga menguraikan kedudukan susunan (tarkib) dari sisi kaidah nahwu dan sarraf-nya. Tahap berikutnya adalah penjelasan dan ulasan dari isi kandungan kitab, baik secara tekstual maupun kontekstual. Tahap pertama, walaupun kelihatan agak rumit serta me-ma-kan waktu agak lama, sangat membantu santri untuk memahami kandungan kitab pada tahap berikutnya. Memahami kandungan suatu kitab sangat bergantung pada pemahaman atas makna masing-masing kalimat dan huruf-huruf ber-makna, serta kedudukannya menurut kaidah nahwu-sarraf, lengkap dengan konteksnya. Pada tahap kedua merupakan penjabaran tuntas secara analisis dari yang bersifat man-thūqāt sampai dengan mafhūmāt. Cara-cara di atas, menurut Sahal Mahfud, lebih praktis dan relatif lebih cepat jika dibandingkan dengan cara pengajaran kitab kuning di Masjidil Haram Mekah. Di sana Sheikh mengawali pengajarannya dengan membaca seluruh lafadz sampai batas tertentu kemudian menguraikan arti masing-masing kalimat. Baru menerangkan kedudukannya menurut kaidah nahwu-sarraf.
Selain metode bandongan, pesantren juga mengguna-kan pola bela-jar mengajar dengan metode sorogan (bi al-qirā’ah). Metode ini ber-sifat individual. Seorang santri, biasanya para santri senior, membaca kitab tertentu di hadapan kiai, sedangkan kiai mendengarkan dengan seksa-ma sambil membetulkan dan memberi penjelasan apabila terdapat ke-salahan atau masalah pada kitab yang dibaca santri.
Di samping kedua metode di atas, ada satu metode lagi yang tetap dilestarikan dalam tradisi pesantren, yaitu metode pemberian “ijāzah” pa-da san-tri-santri tertentu. Ijāzah yang dimaksud adalah pengakuan oleh kiai bahwa seorang santri telah menguasai suatu kitab tertentu dan perkenan dari kiai untuk mengajarkannya pada orang lain. Tradisi “ijāzah” ini berkaitan erat dengan sistem sanad yang terdapat dalam tradisi pesantren. Melalui sistem sanad para kiai mempunyai sam-bu-ngan langsung dan berturut-turut melalui guru-gurunya dengan pe-ngarang kitab-kitab yang diajarkan di pesantren. Sistem ini menjamin materi yang diajarkan dapat dipertanggungjawabkan sebagai sesuatu yang benar-benar didapat dari sumber-sumber terpercaya. Dengan sis-tem sanad tersebut, maka seseorang baru bisa mengajarkan suatu kitab pada orang lain, apabila yang bersangkutan telah belajar dan memper-oleh “ijāzah” pada kiai yang memiliki jalur sanad.
Di mana dan kapan kegiatan belajar mengajar pada pesantren dilaksanakan? Secara umum kegiatan belajar mengajar dipusatkan di masjid/mushalla, sebagian pesan-tren malah menggunakan ruangan depan rumah kiai sebagai tempat belajar. Penentuan waktu belajar sa-ngat unik, karena menggunakan waktu salat sebagai ukuran. Sehingga pengajian diadakan, minimal, sebanyak 5 kali sehari semalam, yaitu sesudah shalat shubuh, dhuhur, ashar, maghrib dan sesudah isya’. Dimensi waktu yang unik tersebut juga terlihat pada lamanya masa belajar di pesantren. Selama santri merasa masih memerlukan bim-bingan pengajian dari kiainya, selama itu pula ia tidak merasakan ada-nya keharusan menyelesaikan masa belajarnya di pesantren. Dengan demikian, sebenarnya tidak ada ukuran tertentu tentang berapa lama masa belajar di pesantren, karena penentuannya diserahkan sepe-nuh-nya kepada masing-masing santri. Karena itu tidak jarang ditemukan santri yang sudah belasan tahun mengaji, namun belum juga berhenti dari pesantren. Sebaliknya tidak sedikit santri yang hanya mondok dalam waktu yang relatif singkat.
Keunikan lain yang terdapat dalam pesantren terdahulu adalah tidak adanya ujian tertentu untuk mengukur keberhasilan belajar santri. Satu-satunya ukuran yang digunakan adalah ketundukan santri pada kiai yang kemampuannya untuk “ngelmu” dari sang kiai. Dengan demikian, kebesaran seorang kiai tidak ditentukan oleh jumlah santri yang telah lulus, melainkan dari jumlah bekas santri yang dikemudian hari menjadi kiai atau menjadi orang-orang yang berpengaruh di masya-rakat.
Satu hal lagi yang perlu dijelaskan berkenaan dengan kurikulum lama pesantren adalah pola hubungan kiai-santri. Penje-las-an pola hubungan ini sangat penting, karena akan menentukan kegiatan belajar mengajar di pesantren. Dalam tradisi pesantren, santri sangat hormat, setia, dan patuh kepada kiai. Sikap-sikap tersebut tidak hanya terbatas pada kiai, tapi juga berlaku terhadap anak-anak dan semua sanak keluarga kiai. Demikian besarnya kesetiaan dan kepatuhan santri kepada kiainya sehingga seumur hidupnya akan selalu merasa terikat dengan kiainya, minimal sebagai sumber inspirasi dan penunjang moral dalam kehidupan pribadinya.
Menurut Zamakhsyari Dhofir, kesetiaan dan kepatuhan santri kepada kiai bukan sebagai manivestasi dari penyerahan total kepada kiai yang dianggap memiliki otoritas, tetapi karena keyakinan santri kepada kedudukan kiai sebagai “penyalur” kemurahan Tuhan yang di-lim-pahkan kepada santrinya, baik kemurahan duniawi maupun ukhrawi. Ideologi kepatuhan dan kesediaan santri pada kiai, antara lain, dikukuhkan di dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim, yang menjadi salah satu kitab utama yang harus dipelajari dan kemudian dipraktik-kan di kalangan santri. Dalam bab Menghormati Ilmu dan Ilmuan kitab tersebut menerangkan sebagai berikut:
“Dan sebagian dari tatacara menghormati guru adalah hendaknya jangan berjalan di depannya, jangan sekali duduk dikursi yang biasa ditempati guru, jangan memulai pembicaraan kecuali dengan ijinnya, jangan banyak bicara dihadapannya, jangan menanyakan sesuatu sekiranya hal itu tidak begitu berkenaan di hati guru, … Tegasnya setiap murid harus mencari ke-ridlo-annya, menghindari hal-hal yang membuat guru tidak berkenan (marah), melakukan segala perintah (selain hal-hal yang dilarang agama) …. Dan sebagian dari menghormati guru adalah menghormati putra-putri dan semua sanak keluarga-nya.” 

Penghormatan terhadap guru juga berlaku pada karya-karya ulama klasik yang menjadi kajian utama di pesantren. Bagi kalangan santri, bukan hanya al-qur’an dan sunnah yang merupakan kitab suci, tapi karya-karya ulama klasik juga dianggap sebagai “kitab suci” yang tidak boleh dipertanyakan keabsahannya (ghairu qābilin li al-taghayyur  wa al-nuqas). Mereka sudah yakin bahwa guru mereka tidak akan meng-a-jarkan hal-hal yang salah, dan mereka juga yakin bahwa isi kitab yang dipelajari adalah benar. Kalaupun ada diskusi-diskusi antar santri, masalah yang dibicarakan bukan mempertanyakan kemungkinan benar-salah isi kitab, tapi untuk memahami maksud yang terkandung dalam isi kitab tersebut.
Penyelenggaraan pendidikan pada pesantren lama, sebagai-mana penjelasan di atas, dalam beberapa hal mengandung nilai-nilai positif, seperti; pertama, dengan mengkhususkan diri pada murni kajian ke-agamaan karya ulama klasik (kitab kuning) para santri akan memiliki kesempatan yang lebih luas mempelajari materi tersebut secara lebih mendalam. Kedua, penyelenggaraan pembelajaran gaya tradisional tidak memelukan peralatan belajar yang bermacam-macam sebagaimana la-yak-nya gaya modern. Ketiga, metode belajar mengajar sorogan yang diterapkan pada pesantren lama jika dilihat dari segi didaktik-metodik, termasuk metode yang ideal. Sebab antara guru-murid saling mengenal, guru menguasai benar materi yang akan diajarkan, dan murid membuat persiapan dengan serius materi yang akan diajukan kepada kiai. Di samping itu pola sorogan juga dilakukan secara bebas tanpa paksaan dan bebas dari hambatan-hambatan formalitas.
Di samping nilai-nilai positif di atas, pola pengajaran pada pe-santren terdahulu juga memiliki kelemahan-kelemahan, antara lain; pertama, materi pengajaran yang hanya terfokus pada kajian karya ulama klasik/kitab kuning (tanpa dilengkapi dengan materi pelajaran umum), menjadikan santri memiliki wawasan “sempit” dan “ketinggalan zaman”. Tak heran apabila dalam aspek keduniaan alumni pesantren tidak mampu bersaing dengan alumni lembaga pendidikan lain, karena kemampuan dalam aspek ini sangat membutuhkan kecakapan bidang umum (ilmu pengetahuan dan teknologi). Kedua, efektifitas penye-leng-garaan pendidikan kurang diperhatikan, terbukti dengan tidak adanya batasan waktu yang jelas kapan santri harus mengakhiri masa belajarnya di pesantren. Ketiga, metode pengajaran yang diterapkan kurang memberi peluang kepada santri untuk bertanya, menyampaikan ide-ide apalagi mengajukan kritik kepada guru. Metode tersebut semakin dikukuhkan oleh pola hubungan kiai santri yang paternalistik.

Pesantren Baru
Agak berbeda dengan kurikulum pesantren lama, kurikulum pada pesan-tren sekarang lebih bersifat heterogen dan kompleks. Kurikulum mulai disusun berdasarkan kebutuhan anak, masyarakat dan perkem-bangan  zaman. Pesantren mulai mengadopsi sejumlah mata pelajaran umum seperti; ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, mate-matika, sejarah umum, bahasa asing dan lain-lain. Metode pengajaran bandongan dan sorogan mulai ditinggalkan atau didampingi dengan sistem klasikal dengan pendekatan modern. Alat peraga mulai diguna-kan dalam kegiatan belajar mengajar, evaluasi dengan berbagai variasi mulai dilakukan, juga latihan-latihan serta keteram-pilan. Prinsip-prinsip Psikologi Perkembangan dan Psikologi Pendidikan dalam proses belajar mengajar mulai diterapkan, metode pengajaran modern mulai dikenal-kan, kenaikan tingkat/kelas, pembagian kelas dan pembatasan masa belajar sudah ditentukan secara jelas, administrasi pesantren mulai dilaksanakan dalam bentuk organisasi yang lebih tertib.
Perubahan kurikulum yang terjadi pada pasantren tidak sama an-tara pesantren yang satu dengan pesantren lainnya. Keberadaannya di lapangan sangat bervariasi tergantung seberapa jauh pesantren memperbaharui komponen kurikulumnya. Jika dibuat klasifikasi ada sekitar sembilan model “pesantren baru,” yaitu :
1. Model pertama, adalah pesantren yang mengkom-bi-nasi-kan pengajian kitab kuning dengan penyeleng-ga--raan madrasah diniyah dan madrasah umum. Mad-ra-sah umum maksudnya, jenis penyeleng-garaan madra-sah  (MI, MTs, MA) dengan mengikuti kurikulum pemerintah.
2. Model kedua, adalah sama dengan model pertama ditambah dengan penyelenggaraan sekolah umum (SLTP, SMU) atau kejuruan.
3. Model ketiga, adalah sama dengan model kedua minus madrasah diniyah.
4. Model keempat, adalah pesantren yang hanya meng-kombinasikan pengajian kitab kuning dengan sekolah umum. Artinya, para santri setiap hari belajar di sekolah umum yang diselenggarakan di luar pesantren, dan mendapat tambahan pelajaran berupa pengkajian kitab kuning.
5. Model kelima, adalah pesantren yang penyeleng-garaan pendidi-kannya dipusatkan dalam bentuk klasikal/-mad-rasah (MI, MTs, MA), kurikulumnya bersifat lokal, namun materinya disusun berdasar-kan perimbangan antara pengetahuan agama dan umum serta keteram-pilan.
6. Model keenam, adalah sama dengan model pertama ditambah dengan keterampilan.
7. Model ketujuh, adalah sama dengan model kedua ditambah dengan keterampilan.
8. Model delapan, adalah sama dengan model ketiga ditambah dengan keterampilan.
9. Model kesembilan, adalah sama dengan model keempat ditambah dengan keterampilan.
Perubahan kurikulum pesantren, dari kurikulum lama menjadi kurikulum baru, dalam beberapa hal telah memberikan dampak positif antara lain; pertama, dengan penambahan materi umum (termasuk keteram-pilan), wawasan keilmuan santri semakin luas, dan mereka me-mi-liki keterampilan tertentu yang bisa menjadi bekal ketika mereka kembali ke masyarakat. Keterampilan ini sangat penting bagi para santri, mengingat tidak semua alumni pesantren bisa menjadi kiai pengasuh pesantren. Kedua, dengan metode belajar mengajar yang lebih beragam, seperti metode tanya jawab, diskusi, penugasan dan seje-nisnya, pesantren telah “lebih serius” melatih pola pikir santri kearah yang lebih kreatif dan dinamis. Ketiga, dengan adanya pembatasan masa belajar yang jelas, pembagian kelas dan kenaikan tingkat, efektifitas menyelenggarakan pendidikan pesantren lebih terjaga.